Review

Saat “Laut Bercerita” tentang Kejamnya Pemerintah Orde Baru

4 Mins read

Sekilas melihat cover dari novel “”Laut Bercerita” karya Leila S. Chudori ini mungkin tak akan terbesit di pikiran bahwa apa yang diceritakan di dalamnya berlatarkan kehidupan para aktivis pergerakan di akhir masa orde baru. Walaupun dalam alur ceritanya, benar adanya bahwa Laut yang bercerita – tentang masa-masa akhir kehidupannya.

Biru Laut, sebagai tokoh utama dalam novel ini merupakan seorang mahasiswa sastra Inggris di salah satu kampus di Yogyakarta. Dalam ceritanya ia tergabung ke dalam sebuah kelompok pergerakan mahasiswa bernama Winatra. Dalam organisasinya tersebut, ia bersama rekan-rekannya dengan berbagai latar belakang karakter yang berbeda-beda sebagaimana aktivitas mahasiswa pada masanya kerap melakukan kegiatan-kegiatan seperti; menulis, berdiskusi buku-buku tertentu, dan juga melakukan aksi.

Apa yang dilakukan oleh Laut – panggilan tokoh utama dalam novel tersebut – bersama kawan-kawan aktivis lainnya dalam organisasi tersebut tidaklah berhenti hanya pada tataran diskusi, melainkan mereka sering juga menyuarakan berbagai ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu – 1991-1998. Salah satu yang dituangkan dalam novel ini ialah tentang Laut dan para aktivis dari Yogya saat itu yang memperjuangkan rakyat Belangguan pada tahun 1993 yang mana ladang jagung masyarakat setempat diratakan paksa dan dialihfungsikan menjadi area latihan tempur tentara.

Berbeda dengan mahasiswa dewasa ini yang orientasinya ketika duduk di bangku perkuliahan hanya memikirkan bagaimana dirinya bisa segera lulus dan melamar ke sebuah perusahaan untuk mendapatkan pekerjaan. Apa yang ditulis oleh Chudori dalam novel “Laut Bercerita” ini justru menggambarkan kehidupan para mahasiswa yang mempunyai nafas perjuangan, menyuarakan ketidakadilan, dan tidur dalam bayang-bayang kejaran aparat.

Tentang Represifnya Aparatur Pemerintah

Menikmati masa muda dengan bersenang-senang dan banyak menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan kesana kemari, merupakan keniscayaan yang pasti diinginkan oleh siapapun khususnya mahasiswa. Namun hal tersebut nampaknya alur cerita yang tak akan kita jumpai dalam kehidupan mahasiswa yang dikisahkan dalam novel “Laut Bercerita” ini. Justru berbanding terbalik. Apa yang dituangkan Chudori dalam karyanya tersebut akan lebih memunculkan rasa geram, sedih, dan pilu dari siapapun yang membacanya.

Baca Juga  Setiap Orang Perlu Berfilsafat!

Berlatar belakang kehidupan di akhir masa orde baru (1991-1998), kita sebagai pembaca dalam novel ini turut dipaksa untuk merasakan bagaimana ‘kebebasan’ berekspresi itu dikekang di negara yang menganut asas demokrasi. Bagaimana tidak, kelompok Winatra yang dalam cerita kerap kali membahas karya-karya tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer saja tak lepas dari pengawasan dan intaian aparat pemerintah saat itu.

Hal tersebut tertulis dalam sebuah kalimat dalam novel ini yang berbunyi, “Karena peristiwa penangkapan para aktivis masih saja menggelayuti Yogyakarta, membawa-bawa fotokopi buku karya Pramoedya Ananta Toer sama saja dengan menenteng bom: kami akan dianggap berbahaya dan pengkhianat bangsa,”. – Biru Laut (p. 20). Demikian terjadi memang tak lepas dari peristiwa G30S/PKI yang memunculkan paradigma bahwa apa saja dan siapa saja yang terhendus berbau unsur komunis atau paham kiri akan dianggap musuh oleh negara.

***

Akan tetapi bukan hanya soal kebebasan berekspresi yang ditampilkan sebagai latar pada alur cerita “Laut Bercerita” ini, melainkan juga soal tindakan para aparatur negara yang digambarkan begitu sensitif, agresif, represif, hingga sadis. Laut dan beberapa rekannya dikisahkan menjadi borunan aparat karena tindakan-tindakan dan aksi mereka – yang dianggap melawan pemerintahan pada masa orde baru tersebut. Sehingga dalam pergerakannya Laut dan rekan-rekan Winatra kerap menggunakan nama julukan agar identitas asli mereka tidak terhendus.

Hingga pada ujung pelariannya, Laut berhasil ditangkap oleh para aparat di sebuah dusun di Klender, dan kisah memilukan itu pun dimulai. Tidak hanya gertakan-gertakan keras yang keluar dari mulut aparat yang dalam cerita disebut ‘si Mata Merah’, ‘si Perokok’, dan ‘si Manusia Pohon’, tapi juga penyiksaan turut dilakukan terhadap Laut dan teman-temannya. Dari mulai pencambukkan, setruman, hingga dipaksa berbaring di atas balok es selama berjam-jam. Sebuah cerita pergerakan yang lebih terasa seperti film bergenre psikopat. Di mana klimaks dari penyiksaan yang tiada tara itu ialah ditenggelamkannya Laut beserta tiga temannya ke dalam lautan secara hidup-hidup.

Baca Juga  Perjumpaan Jawa dan Islam dalam Lokalitas Budaya Nusantara

Sebuah Ketidakpastian Keberadaan Mereka

Tak hanya menghadirkan drama penyiksaan yang cukup membuat siapapun pembacanya akan merasa geram kepada sosok aparat di dalam cerita ini, di akhir bab ini kita akan dibawa pada rasa kekhawatiran serta ketidakpastian dari para orang tua yang anaknya tak kunjung kembali ke rumah. Kisah pilu yang dirasakan para orang tua dari anak-anaknya yang hilang entah kemana itu dibawakan dengan kisah sang ibu dari Laut yang insomnia dan tak pernah mau untuk memulai makan malam yang sudah dihidangkan di meja makan dengan penuh harap bahwa – Laut – anaknya akan segera datang, dan menyantap bersama makan malam itu.

Kita lagi-lagi dipaksa masuk dalam perasaan yang dialami tokoh dalam novel ini. Kali ini bagaimana perasaan seorang ibu dan ayah yang mendengar langsung bagaimana penyiksaan yang dirasakan oleh anaknya tanpa tau kelanjutan nasib sang anak apakah masih hidup atau sudah dipanggil oleh sang Kuasa. Bertahun-tahun pencarian yang sudah diupayakan pun tak kunjung membuahkan hasil. Begitupun dengan pemerintah yang dalam cerita seakan tak acuh dengan hilangnya para mahasiswa oleh aparatur negaranya sendiri.

Dari kebuntuan itulah Asmara – adik dari Laut – beserta temannya menilik kejadian serupa yang pernah terjadi di Argentina. Ketika para mahasiswa di tahun 1977-1978 berhasil membuat demonstrasi besar-besaran yang menjadi isu internasional sampai akhirnya beberapa dari mereka hilang. Yang mana para orang tua disana melakukan aksi protes dengan berdiri mengenakan pakaian dan kain penutup serba putih dan berdiri tepat di depan istana kenegaraan Argentina setiap hari Kamis.

Langkah tersebutlah yang kemudian dalam novel ini menjadi cikal bakal dari aksi Kamisan yang dilakukan oleh para orang tua yang tak kunjung mengetahui keberadaan anaknya yang diculik pada Maret 1998. Dengan melakukan aksi hampir serupa, mengenakan pakaian, kain penutup mata, dan payung serba hitam, mereka dengan para simpatisan lain berdiri setiap hari Kamis di depan istana negara untuk meminta kepastian dari pimpinan negara akan keberadaan anak-anaknya.

Baca Juga  Mendedah Kitab Wabah dan Taun dalam Islam

Identitas Buku

Judul Buku: Laut Bercerita

Penulis: Leila S. Chudori

Tebal Buku: 379 halaman

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tahun Terbit: 2017

ISBN: 978-602-424-694-5

Editor: Ahmad

Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds