“Ini kenapa kita masih zam zoom saja, sedangkan banyak kader tak terurus”. Kira-kira itu bunyi whatsApp (WA) Pak Husni Amriyanto di group MPK PP Muhammadiyah. Agak lama saya renungkan WA Bang Choen—begitu biasa kami menyapanya. Benarlah apa yang digelisahkan oleh Bang Choen, sekarang orang seperti berlomba menggelar webinar (seminar online) melalui platform Zoom. Sampai lupa bahwa di satu titik webinar memungkinkan mencekik orang miskin.
Webinar Mencekik Orang Miskin
Undangan webinar hampir setiap hari ada beredar di gruop WA. Bahkan, seringkali pada hari yang sama lebih dari tiga undangan diskusi. Di awal saat masih belum merenungkan apa yang ditulis oleh Bang Choen saya meladeni diskusi itu.
Ternyata diskusi webinar menyenangkan. Kita bisa bertemu dengan banyak orang, berdiskusi, bahkan tertawa lepas bersama. Namun, di tengah keriangan webinar ada hal yang mungkin luput dari perhatian kita. Yaitu tersedotnya pulsa/kuota internet.
Webinar menyedot kuota yang tak sedikit. Jika setiap pemakaian durasi diskusi satu jam, maka kuota kita akan tersedot sekitar 1GB. Sekiranya webinar itu dalam sehari terselenggara oleh 4 host misalnya, berarti kuota sudah tersedot 4GB. Jika perhitungan 1GB itu Rp. 10.000,- maka sehari menghabiskan uang Rp. 40.000. Dari sini bisa dibilang bahwa webinar mencekik orang miskin.
Dana itu mungkin sedikit, kan cuma 40.000. Tunggu dulu, jika itu dilakukan oleh 100 orang. Maka dana yang terkumpul ada 4 juta. Sekiranya dana itu dikumpulkan dalam waktu sepuluh hari, berarti ada dana 40 juta, wow besar sekali.
Besaran dana itulah yang dulu pernah diincar oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dana pajak Zoom saya kira cukup besar dan dapat untuk membantu keuangan negara menghadapi Covid-19.
Kisah Pilu
Dana sebesar itu saya yakin dapat digunakan untuk pemberdayaan sosial di tengah pandemi. Covid-19 telah banyak meluluh lantakkan ekonomi masyarakat. Tersiar kabar warga di Klaten menawarkan ginjalnya karena pilihan hidup yang semakin sulit. Tidak bekerja di tengah keluarga yang masih membutuhkan makan dan biaya hidup seringkali mendorong seseorang berbuat nekat.
Sebelumnya media juga menyorot tentang seorang ayah di Batam, Kepulauan Riau, yang menjual handphone bekas dengan harga Rp10.000. usaha itu demi kehidupan anak dan istrinya yang belum makan. Dia terpaksa menjual HP demi kebutuhan utama umat yaitu makan.
Saya kira banyak kisah miris lainnya yang dapat kita googling. Jika di sebuah wilayah ada yang dengan mudah mengeluarkan uang untuk diskusi dengan biaya lebih dari Rp10.000, dan di lain tempat ada yang kelaparan karena tidak punya uang, saya jadi ingat surat al-Maun. Surat yang sering menjadi rujukan warga Muhammadiyah. Surat yang menginspirasi Kiai Dahlan melakukan perubahan sosial dengan membangun Roemah Miskin, Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), dan sekolah.
Di mana spirit al-Maun di tengah pandemi Covid-19? Atau mungkin sudah lupa dengan itu? Atau memang kita dengan sengaja melakukan perbuatan yang jauh dari spirit ta’awun (tolong menolong)?
Menyelamatkan Kehidupan
Ta’awun saat ini penting, demi hajat hidup orang banyak. Dalam bahasa agama ini untuk menyelamatkan kehidupan (hifdz nafs). Kehidupan perlu diselamatkan dengan aksi nyata, bukan dengan sering webinar.
Misalnya, kemarin saya mendapat kiriman permohonan bantuan untuk sebuah desa. Warga desa di sana sekitar 2500 kepala bergantung pada sektor informal. Dari jumlah itu yang sangat membutuhkan sekitar 500 jiwa. 500 jiwa itu membutuhkan uluran bantuan, karena mereka benar-benar tidak mempunyai penghasilan. Kerja hari ini, untuk makan saat ini juga.
Belum lagi cerita teman yang kini mendampingi dan berusaha untuk menyelamatkan kehidupan guru honorer. Dia mencatat guru honorer tingkat SMA/SMK/MA yang digaji di bawah Rp. 600.000,- ada hampir 1000 orang. Saat ini dia sedang pusing untuk menyelamatkan biduk hidup mereka.
Data di atas saya kira akan semakin panjang dan menyedihkan jika terus diperpanjang. Apa yang dilakukan masyarakat saat ini? Banyak orang gandrung dengan zam zoom (webinar), tanpa sadar mereka telah menghabiskan banyak uang untuk itu. Kalau toh sadar mereka tenang dan tak ada beban karena memang simpanan uang masih banyak.
Saya berharap teman-teman yang suka webinar juga telah menyisihkan hartanya untuk kehidupan orang miskin. Semua itu untuk menjawab tantangan Allah agar kita tidak termasuk orang-orang yang mendustakan agama. Mendustakan agama karena kita masih bisa tertawa di tengah tangis pilu orang lain. Kita masih bisa bermain dan berkumpul dengan riang, di tengah kegundahan dan kelaparan masyarakat miskin.
Praktik webinar yang melupakan kiprah sosial hanya akan semakin menyuburkan kesenjangan sosial. Orang dengan mudah mengeluarkan uang, namun di sisi lain banyak orang sudah mendapatkan Rp10.000 saja.
Webinar saat ini telah menjadi dewa pencekik rakyat miskin. Artinya, ada potret kesalahan dalam praktik modern hari ini. Wallahu a’lam.
Editor: Nabhan