Kehadiran bulan Ramadan setiap tahun, sepertinya perlu kita lirik lebih dalam sebagai ‘miniatur’ agenda transformasi sosial. Namun sayangnya, selama ini kita tidak menyadari hal itu akibat tabiat formalitas agama. Sehingga, Ramadan yang mulia tidak berimplikasi dalam menyibak mistifikasi agama dengan orientasi gerakan transformatif jangka panjang.
Padahal, kemuliaan satu bulan dalam setiap tahun ini ternyata tidak hanya karena setiap amal ibadah yang dilakukan di dalamnya diberi nilai istimewa. Tapi, mampu memberikan gambaran agenda transformasi sosial yang harus dilakukan secara totalitas dan kontinu.
Bertolak kepada landasan epistemologi pensyariatan ibadah puasa yang termanifestasi dalam
QS Al-Baqarah ayat 183, bahwa puasa diharapkan dapat membentuk insan yang bertakwa.
‘La’allakum Tattaqun’ kalimat penutup dalam akhir ayat itu secara jelas menyimpulkan bahwa out put yang diharapkan dari ibadah puasa adalah ketakwaan pada diri orang yang beriman. Iman dalam makna filosofisnya adalah tauhid yang menancap dalam diri seorang hamba.
Takwa secara bahasa dapat kita artikan sebagai bentuk ketakutan kepada Allah Swt yang berwujud ketaatan. Dalam terminologi akidahnya dapat diartikan sebagai sikap mawas diri dalam rangka melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhkan diri dari segala larangannya.
Takwa adalah wujud paripurna dari implementasi ketauhidan seorang insan. Dalam ayat yang lain, Allah Swt juga berfirman bahwa manusia yang paling sempurna adalah yang paling bertakwa.
Membumikan Tauhid
Beragam agenda Ramadan yang kita temui selama bulan ini; puasa, tarawih, zakat, kultum, berbagi takjil, kegiatan pemuda, dan ragam agenda lainnya, perlu kita lihat sebagai manifesto gerakan membumikan tauhid yang transformatif. Agenda-agenda ketauhidan ini jelas sangat berorientasi pada peningkatan kapasitas ketakwaan kita sebagai seorang hamba.
Islam sebagai agama yang sempurna tidak akan pernah kehilangan identitasnya. Tauhid yang menjadi pondasi utama dalam kehidupan seorang hamba, harus dapat dibumikan dalam agenda-agenda kemanusiaan yang utuh. Sehingga, tauhid tidak dipahami secara sempit dan juga pragmatis. Melainkan dipahami secara menyeluruh (vertikal – horizontal) dan menyentuh.
Tauhid sebagai tonggak awal menuju ketakwaan kepada Allah Swt mesti melewati ‘wahana’ hablun min allah dan hablun min naas, tanpa pernah menegasikan salah satunya.
Manifestasi ketauhidan bulan Ramadan sangat jelas menyentuh semua itu melalui agenda-agenda dalam meningkatkan kapasitas ketakwaan seorang hamba tadi. Maka, tidaklah berlebihan jika kita mengatakan bahwa agenda itu adalah agenda transformatif.
Parameter itu dapat kita lihat dari Ilmu Sosial Profetik yang digagas Kuntowijoyo (2006) dalam banyak karyanya, terutama ‘Islam Sebagai Ilmu’ sebagai landasan epistimologi, metodologi, dan etika.
Pendekatan Islam melalui integralisasi ilmu pengetahuan guna menafsirkan tauhid agar dapat menyentuh wajah realitas dengan tiga pilar utamanya yaitu; humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Ramadan Sebagai Lembaga Pendidikan
Sebagai mahasiswa pendidikan, penulis masih percaya bahwa pendidikan adalah bagian fundamental dalam mewujudkan transformasi sosial. Ramadan adalah lembaga pendidikan informal yang ada dalam tubuh masyarakat melalui tindakan masyarakatnya.
Ramadan secara tidak langsung mendidik kita untuk melakukan perubahan, baik itu dari tindakan individu, maupun yang digerakkan secara kolektif.
Satu bulan dalam setiap tahun ini memberikan kita kesan yang berbeda dengan bulan lainnya. Tidak hanya sebatas kesan yang secara terus menerus dirindukan begitu saja. Namun, atmosfer yang berbeda itu secara tidak langsung mengatakan bahwa inilah wujud perubahan signifikan jika membumikan tauhid secara totalitas dalam rangka mencapai ketakwaan.
Maka, layaknya sebuah pendidikan sebagai basis fundamental dalam mewujudkan perubahan tentu tidak berdampak besar jika hanya diagendakan dalam waktu satu bulan.
Pemuda Sebagai Aktor Agenda Ramadan
Agenda-agenda Ramadan sepertinya sangat erat dengan antusias dan peran kaum mudanya. Ini perlu kita apresiasi sebagai wujud kesadaran. Lagi-lagi kita berbicara tentang pemuda dan perannya sebagai subjek dalam sejarah perubahan.
Kesadaran kaum muda yang muncul dalam bulan Ramadan mestinya dirawat secara terus menerus agar manifesto ketauhidan tidak hanya berlaku dalam satu bulan. Kaum muda harus mampu mengambil momentum ini sebagai sebuah pelajaran bahwa keterlibatan secara masif memberikan dampak yang besar terhadap perubahan.
Kesadaran ini seharusnya dapat menjadi etos dalam agenda-agenda pasca-ramadhan. Kesadaran sebagai subjek dalam sejarah, maupun kesadaran kolektif sebagai bentuk esensial dari ukhuwah islamiah nan kolaboratif dalam agenda besar kemanusiaan.
Akhirul Kalam
Ramadan perlu menjadi role model dalam mewujudkan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Agenda-agenda membumikan tauhid dalam rangka meningkatkan kapasitas ketakwaan selama bulan ini perlu dilihat sebagai upaya transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu, agenda itu perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan nantinya.
Tidak hanya itu saja, kita juga perlu melihat bahwa ramadan adalah lembaga pendidikan informal di masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa pendidikan adalah ‘pabrik’ utama pembentukan kualitas SDM. Sehingga, dengan SDM yang berkualitaslah perubahan sosial itu dapat diwujudkan.
Begitupun kaum muda islam harus memiliki kesadaran sebagai subjek dalam sejarah. Kesadaran sebagai subjek yang kemudian membentuk kesadaran kolektif dan kesadaran akan fakta sosial.
Kesadaran yang mendalam terhadap esensi tauhid yang kemudian dibumikan melalui tindakan individu dengan tuhan dan tindakan individu dengan masyarakat. Sehingga, ramadan benar-benar mampu mengantarkan orang beriman kepada sebuah ketakwaan yang diidam-idamkan.
Referensi Bacaan:
Kuntowijoyo. 2006. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Editor: Yahya FR