Tafsir

Sab’ah Ahruf: Konsep Al-Qur’an Merawat Perbedaan

3 Mins read

Ketika mendengar istilah sab’ah ahruf, kita sering mengira itu sama dengan qira’ah sab’ah. Istilah sab’ah ahruf dan qira’ah sab’ah merupakan pembahasan dalam ulumul Qur`an. Kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, namun saling berkaitan.

Istilah sab’ah ahruf bermula ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sementara qira’ah sab’ah muncul karena dilatarbelakangi beragamnya bacaan imam qurra’ dalam membaca Al-Qur’an yang dihimpun menjadi tujuh imam.

Konsep ini sudah baku (mutawatirah). Dalam artian, jelas periwayatannya dari nabi serta tak terdapat cacat di setiap sanadnya. Karena itu, jika kemudian setiap dialek dan bahasa yang ada di dunia ini membuat konsep yang serupa, maka itu tidak dapat diterima.

Pengertian Sab’ah Ahruf

Secara etimologis, sab’ah ahruf berarti tujuh huruf. Secara terminologis, dapat dipahami bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh dialek bahasa Arab, sehingga melahirkan ragam cara baca Al-Qur’an atau yang dikenal qira’ah sab’ah (tujuh cara baca), dalam versi lain ada qira’ah ‘asyirah (sepuluh cara baca).

Dari istilah di atas mengindikasikan bahwa sejak awal kehadirannya, Al-Qur’an menjadi kitab universal yang tidak serta-merta menolak pluralitas yang ada. Spirit ini mengajarkan kita bahwa persatuan umat dibangun atas kesadaran bahwa kita sama-sama berbeda, dengan begitu lahir sikap terbuka dan saling menerima.

Realitas Masyarakat Arab

Jauh sebelum Islam datang, bangsa Arab adalah bangsa yang terbagi dari berbagai kabilah, itu sebabnya mereka memiliki keragaman bahasa dan budaya. Pada satu sisi, mereka dikenal dengan wataknya yang keras juga fanatik. Tetapi pada sisi yang lain, masyarakat Arab sangat identik dengan dunia teks. Kesenangan mereka tercurahkan pada syair–syair ataupun puisi yang memiliki nilai–nilai kesastraan bahasa yang tinggi.

Baca Juga  Al-Qur’an Rusak, Baiknya Dikubur atau Dibakar?

Syair-syair tersebut dijadikan sebagai identitas keahlian, kehormatan, dan simbol glorifikasi kabilah masing-masing. Salah satu tradisi mereka misalnya, mengadakan kontes keindahan syair di pasar yang dikenal Suq ‘Ukaz. Nantinya setiap syair yang terindah akan ditempelkan di dinding Ka’bah.

Dinamika kontestasi juga saling mengkritisi bahasa bukanlah hal yang tabu pada waktu itu, melainkan sebuah keharusan yang sudah membudaya. Para kritikus bahasa dan sastra sangat gemar mengkritik setiap kemunculan bahasa dan syair baru.

Budaya kritis ini terus berlangsung sampai Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak bisa dipungkiri, bahwa kemudian Al-Qur’an juga mendapat kritikan pedas dari orang-orang Arab. Walau demikian, i’jaz lughawi Al-Qur’an mampu menundukkan para kritikus sastra Arab. Bahkan Al-Qur’an men-callenge balik mereka, dan buktinya tidak ada yang mampu menandingi keistimewaan uslub bahasa Al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2: 23).

Interaksi Al-Qur’an dengan Realitas

Dengan banyaknya kabilah yang ada, maka dialek pun beragam, karena setiap kabilah memiliki perbedaan dialek bahasa. Beberapa sahabat nabi membaca Al-Qur’an dengan dialek kabilah mereka sendiri. Hal ini menjadi latar belakang munculnya perbedaan cara membaca Al-Qur’an. Namun kendati demikian, setiap bacaan yang diriwayatkan dari sahabat memiliki dasar hukum, karena mereka men-talaqqi-kan bacaan itu di hadapan nabi secara langsung.

Realitas tersebut membawa konsekuensi terhadap Al-Qur’an yang mengafirmasi dan pada tahap selanjutnya menggunakan ragam dialek bahasa kabilah Arab. Indikasi yang menuturkan bahwa Al-Qur’an berinteraksi dengan bahasa-bahasa kabilah Arab (lokal) adalah hadits nabi yang menyebut “sab’ah ahruf”. Banyak interpretasi yang diapresiasikan oleh para pakar ulumul Qur’an mengenai sabda nabi tersebut.

Namun di antara pendapat yang kuat seperti al-Suyuthi (w. 1505) dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an, dan al-Qaththan (w. 1999) dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan sab’ah ahruf adalah beberapa bahasa kabilah Arab yang terbilang paling fasih, sedang angka tujuh dalam redaksi hadits itu bertujuan sebagai isyarat dari banyaknya jumlah dialek bahasa yang dimuat.

Baca Juga  Toleransi Beragama dalam Membangun Keutuhan NKRI

Dengan demikian, kehadiran Al-Qur’an dengan keragaman dialek bahasa yang ada di dalamnya, melahirkan sebuah konsep yang menyatukan seluruh kabilah–kabilah Arab yang menampakkan jarak antara satu sama lain. Ini menjadi bagian dari i’jaz lughawi Al-Qur’an. Rasa senang dan kedekatan emosional karena dialek bahasanya yang dipakai menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Arab untuk menerima kehadiran Al-Qur’an.

Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan

Konsep sab’ah ahruf dalam kajian Al-Qur’an ini menegaskan bahwa risalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw bukan hanya untuk satu golongan saja, juga bertujuan meniadakan subjektivitas kultural dan fanatisme kesukuan.

Disadari atau tidak oleh kita, bahwa umumnya kalangan komunitas agama menganut paham eksklusif, yaitu menganggap hanya pandangan dan kelompoknyalah yang paling benar. Pemahaman yang eksklusif ini telah meninggalkan jejak sejarah yang kelam, membawa citra buruk agama yang bercorak konflik dan kekerasan. Hal tersebut sungguh menyalahi spirit Al-Qur’an membebaskan manusia dari belenggu fanatisme dan klaim kebenaran berdasarkan subjektivitas kultural.

Dengan beragamnya dialek bahasa kabilah yang dirangkul oleh Al-Qur’an, melahirkan pandangan bahwa kitab ini mengandung ajaran yang inklusif untuk semua kalangan tanpa mempermasalahkan perbedaan sebagaimana misi Al-Qur’an sendiri yaitu rahmatan lil ‘alamin. Spirit ini mengajarkan bahwa perbedaan bukanlah sebuah masalah yang dapat menjerumuskan kita pada sikap fanatik dan saling membenci sesama.

Demikian pula menegaskan bahwa bahasa Al-Qur’an juga bukanlah bahasa milik satu golongan (Arab) saja, sebab setiap kabilah merasa memiliki Al-Qur’an dikarenakan terdapat dialek bahasa mereka di dalamnya. Dari kenyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab universal bagi umat Islam dari berbagai bangsa, ras, suku, dan golongan.

Lisanun ‘Arabiyyun dalam surah an-Nahl/16 ayat 103, menurut para pakar, tidak dalam rangka mengkultuskan satu bahasa, tetapi lebih kepada mempertegas bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab ini bukanlah bahasa non-Arab, juga sekaligus menyangkal tuduhan bahwa Al-Qur’an bagian dari hasil tangan nabi meniru kitab-kitab suci sebelumnya.

Baca Juga  Tafsir Al-Qur’an Tidak Cocok dengan Konsep Hermeneutika

Refleksi

Konsep sab’ah ahruf ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an sesungguhnya merawat perbedaan (yang menjadi sebuah keniscayaan) dalam rangka fastabiqul khairat (mengamalkan kebaikan yang plural), dengan cara menghormati setiap perbedaan dan mengedepankan dialektika konstruktif-positif antara kearifan lokal dengan nilai-nilai Al-Qur’an itu sendiri.

Hal ini juga memberikan kekuatan tersendiri bagi umat Islam untuk menjalin sebuah hubungan satu kesatuan dalam ruang ukhuwah islamiyah dan insaniyah, khususnya dalam konteks ke-Indonesia-an kita yang majemuk, kini hingga nanti.

Editor: Soleh

Muhammad Abdul Ghaniy Morie
11 posts

About author
Penulis di Sarangge Kahawa Institut, minat kajian Al-Qur’an dan Humaniora
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir al-Muyassar: Panduan Praktis Memahami Al-Qur’an untuk Kalangan Awam

3 Mins read
Pemahaman terhadap Al-Qur’an merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap Muslim. Namun, banyak kitab tafsir ditulis dengan gaya bahasa dan pendekatan ilmiah yang sulit…
Tafsir

Tafsir Al-Tibyan, Tafsir Kontemporer Asal Malaysia Karya Haji Hadi Awang

3 Mins read
Malaysia ikut andil dalam perkembangan Khazanah keilmuan tafsir. Hal ini dibuktikan dengan ditulisnya tafsir kontemporer asal Malaysia yang ditulis oleh Haji Hadi…
Tafsir

QS al-Mu'minun Ayat 18: Tiga Watak Hujan

4 Mins read
Ramadhan 1446 kali ini dan Idul Fitri 1446 yang akan datang, masyarakat Muslim di wilayah Indonesia masih berada di musim penghujan. Jika…

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *