Rakyat yang solid menjadi fondasi utama bagi keberhasilan seorang pemimpin karismatik, yang mampu menginspirasi dan memengaruhi banyak orang. Pemimpin seperti ini dihormati bukan hanya karena jabatannya, melainkan karena karakter pribadinya yang kuat serta visinya yang jelas. Ia menunjukkan keteladanan, integritas, dan kecintaan yang tulus terhadap kebenaran serta keadilan.
Salah satu contoh pemimpin karismatik adalah Salahuddin al-Ayyubi, panglima Muslim pada masa Perang Salib. Ia memimpin pasukan Muslim dengan keberanian, kecerdasan, dan kegigihan. Selain itu, ia dikenal adil dan penuh kasih, bahkan terhadap musuh dan penduduk kota yang ditaklukkan. Tidak mengherankan jika Salahuddin sering dijadikan teladan kepemimpinan, terutama di kalangan Muslim. Ia dianggap sebagai manifestasi cemerlang seorang pemimpin Muslim. Dengan mempelajari kisah kepahlawanannya, seorang Muslim diharapkan dapat meneladani dan menumbuhkan semangat Islami dalam dirinya.
Namun, sering kali orang hanya fokus pada keberhasilan seorang pemimpin tanpa mempertimbangkan peran besar rakyat atau masyarakat dalam mendukung kepemimpinan tersebut. Padahal, dukungan rakyat memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan seorang pemimpin. Hal ini dikritik oleh Majid ‘Irsan al-Kilani dalam bukunya Haakadzaa Zhahara Jiil Shalaah al-Diin wa Haakadzaa ‘Aadaat al-Quds (terjemahan: Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib).
Rakyat dan Bahaya Memandang Pemimpin Ideal
Al-Kilani menyoroti pola berulang yang muncul ketika para peneliti, dai, dan cendekiawan memandang Salahuddin al-Ayyubi sebagai teladan pemimpin Muslim. Pola ini cenderung hanya berfokus pada sosok pemimpin dan mengabaikan faktor pendukung lainnya, termasuk peran rakyat. Narasi umumnya dimulai dengan invasi tentara Salib yang menyebabkan kekacauan di kalangan Muslim. Kemudian, narasi melompat ke masa sekitar setengah abad kemudian, ketika keluarga Zanki memimpin jihad militer. Di bawah kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi, pasukan Muslim berhasil merebut kembali Tanah Suci dan membebaskan wilayah-wilayah yang dijajah.
Menurut al-Kilani, pola narasi yang hanya menonjolkan sosok pemimpin ini berbahaya (hal. 1). Ia mengidentifikasi dua faktor penyebabnya:
- Pengabaian terhadap penyakit internal umat Muslim. Banyak masalah internal, seperti mentalitas terbelakang, sering diabaikan. Padahal, kelemahan ini membuat umat Muslim rentan kalah. Alih-alih fokus pada perbaikan internal, mereka justru sibuk membahas ancaman eksternal. Al-Kilani menegaskan bahwa rakyat yang lemah dari dalam tidak akan mampu menghadapi bahaya dari luar. Oleh karena itu, sebelum mengatasi ancaman eksternal, umat Muslim harus menyembuhkan penyakit internal mereka terlebih dahulu.
- Kurangnya sikap kolektif dalam perjuangan. Fokus berlebihan pada keberhasilan seorang pemimpin menumbuhkan ketergantungan pada figur tersebut. Akibatnya, peran rakyat dalam mendukung perjuangan sering terabaikan. Padahal, keberhasilan suatu gerakan sangat bergantung pada aksi nyata dan dukungan masyarakat. Pemimpin dan rakyat harus bergerak bersama demi kepentingan kolektif.
Sehebat apa pun kebijakan seorang pemimpin, dampaknya akan terbatas jika tidak didukung oleh aksi nyata rakyat. Contoh sederhana adalah kebijakan larangan membuang sampah di sungai untuk mencegah banjir. Banyak masyarakat yang mengabaikan aturan ini, tetapi ketika banjir terjadi, mereka menyalahkan pemerintah. Hal ini menunjukkan pentingnya peran aktif rakyat dalam mendukung kebijakan pemimpin.
Rakyat dan Perubahan dari Diri Sendiri
Rakyat memiliki peran penting dalam memulai perubahan, sebagaimana diingatkan oleh Jalaluddin Rumi: “Kemarin aku orang yang pandai, maka aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku orang yang bijak, maka aku akan mengubah diriku sendiri.” Kalimat ini menegaskan pentingnya introspeksi diri. Sebelum berupaya mengubah faktor eksternal, perubahan internal pada diri sendiri merupakan langkah awal yang krusial untuk mendukung perubahan yang lebih besar.
Transformasi suatu kelompok tidak akan berjalan mulus jika hanya bergantung pada pemimpin. Keterlibatan aktif setiap anggota rakyat memberikan dampak positif bagi perubahan. Perubahan sejati menuntut kontribusi dari setiap individu, mulai dari disiplin diri, kepedulian sosial, hingga tanggung jawab kolektif.
Menurut al-Kilani (hal. 6), proses perubahan sosial atau kelompok telah diajarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Dalam surah Al-Ra’d ayat 11, Allah SWT berfirman, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka…” Firman lain dalam surah Al-Anfal ayat 53 menyatakan, “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Transformasi Kelompok Masyarakat
Secara filosofis, al-Kilani menafsirkan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Al-Kilani menjelaskan bahwa kata “hati” (al-qalb) dalam hadis ini merujuk pada dua kekuatan: kekuatan pikiran dan kemauan. Ketika kedua kekuatan ini terwujud, maka akan muncul kekuatan ketiga, yaitu kekuatan praktis yang terlihat melalui tindakan nyata.
Berdasarkan ayat-ayat dan hadis tersebut, al-Kilani menyimpulkan bahwa transformasi kelompok memerlukan tiga pola perubahan berikut:
- Perubahan dimulai dari internal individu. Perubahan harus dimulai dari pemikiran, nilai-nilai, kebiasaan, dan perbuatan individu. Setelah itu, perubahan dapat meluas ke aspek eksternal seperti ekonomi, sosial, dan politik.
- Perubahan dilakukan secara kolektif. Perubahan besar, baik pada tingkat kelompok maupun negara, hanya dapat tercapai jika dilakukan bersama-sama oleh rakyat. Ketergantungan pada satu atau beberapa pemimpin tidak akan cukup untuk mewujudkan perubahan yang efektif.
- Perubahan cepat terjadi jika individu memulai dari diri sendiri. Ketika setiap individu di kalangan rakyat mampu mengubah pemikiran dan tindakan mereka, perubahan yang lebih besar akan mengikuti. Proses ini membutuhkan komitmen untuk memperbaiki diri sebelum mengubah lingkungan sekitar.
Dukungan dan Tindakan Kolektif Rakyat
Keberhasilan kepemimpinan dalam sejarah tidak dapat dipahami secara utuh jika hanya berfokus pada sosok pemimpin. Dukungan nyata dari rakyat melalui tindakan kolektif merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Untuk meneladani model kepemimpinan seperti Salahuddin al-Ayyubi, kita perlu menyadari bahwa keberhasilan tidak hanya bergantung pada pemimpin, tetapi juga pada kesiapan dan keterlibatan aktif rakyat.
Perubahan besar dimulai dari langkah kecil, yaitu perubahan dalam diri sendiri. Dengan memperbaiki pemikiran, nilai-nilai, dan tindakan individu, serta bekerja sama secara kolektif, transformasi yang signifikan dapat tercapai. Seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadis, perubahan sejati berawal dari hati dan tindakan setiap individu yang berkontribusi pada kebaikan bersama.
Editor: Assalimi

