Hari Santri
Judul di atas adalah tema hari santri tahun ini. Tema ini sangat relevan untuk dibincangkan. Karena, santri itu punya kontribusi yang besar terhadap kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Eksistensi santri sangat menentukan lahirnya Negara Kesatuan NKRI.
Para pendiri bangsa kebanyakan berasal dari santri. Mereka punya wawasan kebangsaan yang luas. Rumusan Pancasila yang menjadi dasar negara, tidak terlepas dari campur tangan tokoh-tokoh bangsa yang berlatar belakang santri. Ketika sila pertama dari Pancasila dalam rumusan piagam Jakarta ada anak kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, oleh tokoh-tokoh santri disepakati supaya dihilangkan sehingga menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Ini suatu prestasi kebangsaan yang sangat luar biasa.
Pemikiran Maju para Pendiri Bangsa
Pemikiran-pemikiran para pendiri bangsa adalah sangat maju, demi eksistensi bangsa Indonesia ke depan yang baru saja diproklamirkan. Seandainya para tokoh bangsa pada waktu itu dari kalangan Islam tidak mengakomodir usulan supaya kalimat yang dianggap diskriminatif bagi golongan di luar Islam, mungkin Indonesia tidak seperti sekarang ini.
Para pendiri bangsa sudah sangat maju dalam pemikiran dan mampu membaca Indonesia ke depan. Bahwa Indonesia yang sangat pluralistik dari segi etnis, agama, budaya, bahasa, adalah suatu kekayaan yang sangat luar biasa yang harus dijaga oleh para generasi penerus bangsa. Itulah warisan yang telah diwariskan oleh tokoh bangsa.
Warisan pemikiran yang telah ditinggalkan oleh para pendiri bangsa yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa, adalah modal yang sangat besar bagi Bangsa Indonesia. Aset ini adalah sangat berharga bagi kelanjutan Indonesia ke depan. Rumusan para pendiri bangsa adalah rumusun yang sangat pas untuk menjaga Indonesia dari perpecahan.
Dalam proses perumusan dasar negara, pada awalnya telah terjadi perdebatan yang sangat sengit antara golongan nasionalis-religius yang banyak diwakili oleh para santri yang berpikiran moderat dan golongan yang ingin memperjuangkan Indonesia sebagai negara Islam. Namun, argumentasi yang dicoba untuk ditawarkan oleh tokoh tokoh Islam yang berwawasan moderat, sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berbinneka.
Meneladani Warisan Pemikiran para Santri Terdahulu
Dengan berkaca kepada para tokoh bangsa yang telah memberikan kontribusi pemikiran kebangsaan yang besar bagi bangsa Indonesia, para santri di era sekarang hendaklah mencoba untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran mereka yang punya wawasan keagamaan dan keindonesiaan yang luas. Kedua wawasan ini perlu dipadukan untuk menjaga Indonesia yang plural ini. Wawasan keagamaan tanpa wawasan kebangsaan, akan mudah mengalami disintegrasi bangsa.
Kita bisa menengok bagaimana nabi dalam membangun kota Madinah sebagai sebuah negara, sangat terbuka dengan golongan-golongan yang lain untuk menyatukan kepentingan bersama. Untuk kemajuan Negara Madinah ke depannya.
Di sini, nabi mencoba untuk memadukan wawasan keagamaan dengan wawasan kebangsaan sehingga dapat menyatukan antara berbagai etnis, suku, kabilah,dan agama di Madinah. Itu jugalah yang ditawarkan oleh para pemikir Indonesia era 80an sampai sekarang. Seperti pemikiran Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan Ahmad Syafii Maarif yang telah memberikan landasan pemikiran kebangsaan terhadap Negara Indonesia yang mayoritas Islam.
Para santri perlu untuk melanjutkan pemikiran-pemikiran para founding fathers yang telah mewariskan pemikiran brilian untuk kepentingan Indonesia. Di samping memiliki wawasan kebangsaan yang baik, santri wajib memiliki pemikiran yang moderat. Seperti ulama-ulama pondok pesantren yang sudah sangat matang dalam membaca kitab-kitab klasik dan kontemporer.
Dengan banyak membaca kitab-kitab klasik dipadu dengan kitab-kitab kontemporer, kita akan terbiasa dengan pemikiran-pemikiran klasik yang begitu berharga yang harus dimiliki oleh seorang santri.
Santri yang mengusai kitab-kitab klasik, akan eksis dalam menjawab tantangan zaman di samping harus tetap mengakses kitab-kitab kontemporer. Itulah sebabnya dalam dunia pesantren sangat terkenal adagium “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadimi shalih wal akhdzu bil jadidi ashlah”, memelihara nilai-nilai lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Simbol inilah yang terus dijaga dalam dunia pesantren sehingga pesantren dapat tetap eksis sampai sekarang.
Memahami yang Tekstual dan Kontekstual
Salah satu pemikiran yang sangat moderat dan maju, pernah disampaikan oleh ulama-ulama dari pesantren tradisional. Pernah suatu ketika ada orang bertanya kepada dua orang kyai pesantren yang agak berbeda pandangan. Mungkin kalau dalam pemahaman sekarang yakni pemahaman tekstual dan kontekstual.
Orang ini bertanya kepada kyai pertama. Pertanyaannya adalah bahwa mereka ingin mengadakan ibadah qurban satu ekor sapi untuk satu keluarga yang terdiri dari tujuh orang ditambah satu orang anak kecil. Kyai pertama menjawab bahwa tidak bisa karena tujuh orang itu untuk satu ekor sapi, anak kecil tidak bisa masuk. Kemudian orang ini pindah ke kyai kedua dengan pertanyaan yang sama. Kyai kedua ini pun membolehkannya, tapi hendaklah ditambah satu ekor kambing untuk dipakai anak kecil sebagai tangga untuk naik ke atas sapi.
Dua pemahaman di atas adalah benar. Yang satu memakai pendekatan tekstual dan yang satu memakai pendekatan kontekstual. Santri harus menguasai kedua pendekatan ini, pendekatan tekstual penting untuk melatih santri dalam penguasaan terhadap ilmu-ilmu kebahasaan yang punya berbagai cabang. Dan pendekatan kontekstual melatih santri dalam berpikir yang lebih maju.
Pemahaman seperti ini pernah terjadi di zaman nabi. Ketika nabi mengutus para sahabatnya ke perkampungan Bani Quraidhah, nabi berpesan agar janganlah shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah. Dalam perjalanan, waktu Ashar hampir habis. Di sinilah para sahabat berbeda pendapat. Ada yang shalat Ashar karena waktu Ashar hampir habis, dan sebagian sahabat tidak shalat karena merujuk ke perkataan Nabi supaya salat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah. Mereka memaknai perkataan Nabi, salat Ashar di perkampungan Bani Quraidzah sekalipun waktunya sudah habis.
Itulah bekal yang harus dimiliki oleh para santri dalam mencoba memahami wawasan keislaman. Mereka tidak hanya punya bekal ilmu-ilmu alat yang agak tekstual, tetapi harus diperluas dengan wawasan keagamaan yang kontekstual.
Hari Santri 2020: Santri Sehat Indonesia Kuat
Tema hari santri tahun ini adalah Santri Sehat Indonesia Kuat. Sehat di sini bukan hanya sehat secara badani saja, tetapi juga sehat secara pemikiran. Santri harus memiliki pemikiran yang moderat seperti yang dimiliki oleh para pendiri bangsa, punya wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang luas, dan tidak mudah menyalahkan atau mengkafirkan pemikiran-pemikiran yang dianggap bertentangan dengan pendapatnya. Itulah yang dimaksud dengan santri sehat. Yakni sehat secara pemikiran dan punya pemikiran yang sehat.
Maka, wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang luas adalah mutlak harus dimiliki seorang santri guna menciptakan Indonesian yang kuat ke depannya. Mereka harus punya kapasitas keilmuan yang kuat dan punya kapasitas moral yang tak tergoyahkan dalam menghadapi tantangan global yang begitu kuat. Selamat Hari Santri!
Editor: Yahya FR