Tulisan ini terinspirasi dari postingan website ibtimes dengan judul “Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah”, dituliskan bahwa ada seorang mahasiswi beragama Kristen di Universitas Muhammadiyah Surakarta yang tetap mendapat hak-haknya sebagai mahasiswi, walaupun ia berada di kampus salah satu organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia.
Kondisi semacam ini menjadi sebuah contoh baik bagi masa depan bangsa ini, kehidupan rukun antar sesama manusia dan tidak dibatasi pada label-label yang melekat pada individu, seperti agama, suku, nasab, warna kulit dll.
Meski sebagai minoritas dalam keyakinannya di kampus tersebut, Lili -Mahasiswi beragama Kristen di UMS- tetap bisa enjoy dan menjalani pembelajaran dengan baik bersam kawan-kawannya. Menurut pengakuan dia, selama menjadi mahasiswi ia mendapatkan hak-haknya dengan baik, tidak ada pembeda antara dirinya dan kawannya yang beragam Islam, serta tidak ada diskriminasi pada dirinya selama menjadi mahasiswi di UMS.
Hal ini setidaknya yang juga penulis rasakan selama mengikuti kegiatan pelatihan selama sebulan yang diadakan oleh sebuah lembaga peneliti oriental milik Ordo Dominikan Katholik di kota Kairo. Tidak ada diskriminasi yang saya rasakan, bahkan suasananya penuh dengan sikap penghormatan dan toleransi antara penyelenggara dan saya sebagai peserta.
Tak hanya itu, fasilitas dan pelayanan dari penyelenggara sangat baik, saya merasa sangat dihargai sebagai manusia saat berada di lingkungan mereka, bahkan saya cukup intens menjalin komunikasi dengan kepala lembaga tersebut yang bernama Imanuel Pisani.
Kegiatan ini mengangkat sebuah tema “Agama dan Ilmu Kemanusiaan”, IDEO Kairo -nama lembaga penelitian ordo dominikan- memang memiliki sebuah wacana interfaith atau dialog antar agama yang dikedepankan, maka tak mengherankan jika lembaga ini membuka pendaftaran bagi siapa saja.
Selama mengikuti kegiatan ini setiap minggu selama sebulan, saya tidak merasa ada diskriminasi atau bahkan pembedaan antara saya sebagai orang muslim asia di tengah-tengah peserta lain yang merupakan orang arab beragama Kristen dan Islam.
Pandangan hidup seperti ini saya kira merupakan hal yang sangat harus dikedepankan di tengah hidup kita yang semakin mendegradasi nilai kemanusiaan. Eskalasi global dengan konflik antar negara seperti Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, yang sampai saat ini tak kunjung menemukan titik temu, menjadi hal yang memilukan. Atau beberapa kasus persekusi terhadap agama minoritas seperti yang terjadi di Tangerang akhir-akhir ini, masih menyisakan PR bagi kita untuk bisa hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan yang ada. Konflik antar ras seperti di Amerika antara orang berkulit hitam dan putih yang akarnya masih tetap ada hingga sekarang.
Konflik tadi sungguh sangat menjauhkan manusia dari nilai esensial yang ada dalam dirinya sendiri, karena manusia yang seharusnya dapat menjaga hak dan nilai tersebut justru masih menjadi pelaku atas konflik yang ada karena ego sectoral, ego kelompok dan ego golongan masing-masing.
Padahal, ribuan tahun lalu ada seorang filsuf yunani bernama Diagones yang menawarkan sebuah pandangan hidup yang melihat dunia dengan kacamata lebih luas, sebuah pandangan kosmosentris yang menolak anggapan bahwa kita berasal dari kota tertentu. Dia di tanya dari mana sejatinya ia berasal? Lalu Diagones menjawab dengan lugas bahwa dirinya merupakan “Warga Dunia”, dari jawaban itu kita bisa belajar bahwa sejatinya kita harus memaknai hidup ini dengan kacamata lebih luas, alih-alih mempersempitnya dengan label-label yang erat kaitannya dengan ego kelompok, golongan atau sektor.
Melalui kesadaran bahwa kita berasal dari tempat yang sama yaitu dunia, akan memberikan implikasi bahwa kita sebetulnya merupakan anak kandung dari dunia yang kita tinggali saat ini, maka dengan itulah sikap kemanusiaan, persaudaraan antar manusia akan benar-benar terwujud.
Ide hidup berdampingan dengan melepas label dengan menyisakan fakta bahwa saya manusia, kamu manusia dan kita manusia, saya kira perlu terus digalakkan untuk meredam kejadian yang mencederai nilai kemanusiaan. Hal itu yang saya lihat terus digalakkan sebagai wacana dan tindakan di lembaga IDEO Kairo ini.
Selain mengikuti pelatihan tersebut, saya juga sering berkunjung ke perpustakaan mereka yang menawarkan banyak sekali literatur arab, prancis, inggris, dll. Selain itu saya dan teman-teman BibliotekMD juga sempat melakukan kunjungan perpustakaan dan mereka sangat menyambut baik kita, serta saya bersama teman-teman komunitas LSF Girinata mengadakan sebuah seminar mengenai Imam al-Ghazali bersama ketua lembaga tersebut yang memiliki karya tentang Imam al-Ghazali.
Berangkat dari kasus yang sama dengan yang dirasakan oleh mbak Lili, saya sebagai orang Islam Muhammadiyah merasa sangat dihargai dan jauh dari sikap-sikap diskirminasi atau bahkan ada upaya kristenisasi. Justru dengan fasilitas yang ada di lembaga tersebut, saya semakin semangat untuk belajar dan menelaah beberapa buku di sana. Alih-alih saya dipaksa untuk masuk agama Katolik, saya justru merasa semakin meyakini keimanan saya dengan fasilitas yang disediakan perpustakaan untuk membaca dan mempelajari agama saya sendiri.
Harapannya dari pengalaman pribadi ini, dapat sedikit memberi tawaran bahwa dalam hal-hal keduniaan, kita harus terus menggalakkan komunikasi dan kerja sama yang baik antara sesama manusia. Sebagai upaya memenuhi nilai-nilai dasar manusia seperti hak pengetahuan, hak hidup sehat, hak hidup layak dll, kerjasama satu sama lain menjadi hal yang urgent. Dimulai dari kesadaran hidup bersama atau kosmpolit tersebut, kita berharap tidak ada lagi kasus persekusi yang menghiasi timeline media sosial kita, dan menciptakan hidup yang akur dan rukun sebagai warga dunia!