Feature

Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah

2 Mins read

“Saya beragama Kristen, tapi kuliah di kampus Muhammadiyah. Saya kuliah dengan aman dan nyaman. Penuh toleransi, tak ada diskriminasi,” ucap Lili di warung kopi sudut kota Solo siang itu.

Lili adalah seorang mahasiswa prodi hukum di Universitas Muhammadiyah Surakarta, salah satu kampus milik Muhammadiyah. Ia beragama Kristen, tepatnya Katolik. Sosok perempuan muda yang taat menjalankan perintah agama, setiap hari Minggu ke Gereja. Taat beragama tak serta merta membuat Lili menjadi non-muslim yang eksklusif.

Ia menceritakan perjalanannya masuk ke kampus Muhammadiyah hingga menjadi saksi praktik baik toleransi di kampus swasta yang kini menjadi tempatnya mengenyam pendidikan sarjana. Ia menyebut, tidak pernah ada diskriminasi. Semua fasilitas yang ia dapatkan, sama dengan apa yang didapatkan oleh mahasiswa lain pada umumnya. Tidak ada perbedaan perlakuan antara muslim dan non muslim di sana.

Lili mengaku mendapat banyak teman di kampus, meski berbeda agama dan keyakinan. Ia Katolik temannya muslim. Lili mengatakan, kami berteman tanpa memandang agama, sebab bagi kami agama itu urusan pribadi masing-masing. Kami membangun pertemanan di atas sekat-sekat agama.

Ia banyak belajar bagaimana menghormati dan menghargai perbedaan. Perbedaan sebagai rahmat dari Tuhan. Perbedaan yang tak perlu dipermasalahkan. Perbedaan yang seharusnya dirawat dan dijaga.

Begitupun halnya dalam pengajaran mata kuliah, Lili menyebut bahwa para dosen pengampuh mata kuliah di kampus Muhammadiyah tidak pernah membeda-bedakan antara mahasiswa muslim dan non-muslim. Semuanya diberi ruang yang sama untuk berkembang.

“Di mata kuliah wajib hukum Islam. Dosennya memahami bahwa kami non muslim. Jadi dipermudah jika kami kurang paham, termasuk yang berkenaan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an khususnya,” tuturnya.

Lingkungan kampus Muhammadiyah yang nyaman dan damai itu lantas menimbulkan rasa penasaran dalam diri seorang Lili terhadap Muhammadiyah dan Islam itu sendiri. Dirinya mengaku penasaran dan mencoba mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh kampus, mulai Tabligh Akbar hingga berbagi takjil di bulan Ramadan.

Baca Juga  Tantangan Baru Bagi Guru di Masa Pandemi

Lili pernah penasaran dengan acara yang namanya Tabligh Akbar, hingga akhirnya ikut walau hanya mendengarkan dari luar masjid. Ia juga pernah ikut berbagi takjil di bulan Ramadan tahun ini.

Kendati sering mengikuti kegiatan yang islami, Lili tidak pernah merasa ada doktrin dan paksaan untuk masuk Islam dari dosen dan teman-teman muslim terdekatnya. Ia tetap taat beragama Kristen sekalipun kuliah di kampus Muhammadiyah.

Dirinya termasuk orang selalu diberikan ruang untuk berkembang di kampus. Ikut bergabung dan mendukung kegiatan yang diselenggarakan kampus. Teman-temannya juga tidak pernah mempermasalahkan agamanya. Lili dan rekan-rekannya berbuat untuk kebaikan, menebarkan manfaat untuk sesama manusia. Jadi perbedaan agama tidak menjadi masalah.

Muhammadiyah, menurut Lili, tidak pernah memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam. Muhammadiyah adalah organisasi yang terus memberi banyak manfaat bagi umat dan bangsa di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan kesehatan dan lain-lain.

“Walau di awal-awal kami wajib mengikuti mata Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, tapi isi materinya sama sekali tidak mengandung doktrin yang memaksa kami untuk masuk Islam. Isinya justru membahas Islam dan Muhammadiyah dalam bahasan yang luas,” imbuhnya.

Realitas di atas menunjukkan bahwa Muhammadiyah memainkan peran dan kontribusinya dalam pembangunan bangsa lewat institusi pendidikannya. Tujuan pendidikan Muhammadiyah bukan untuk islamisasi, melainkan membangun kerukunan umat beragama dan persatuan, menampikan wajah inklusif dan toleran, sehingga melahirkan toleransi yang otentik versi Muhammadiyah (Susanto Ari, 2023).

Lili belajar banyak soal toleransi di kampus Muhammadiyah dan dari beberapa tokoh dan ulama yang lain. Sebab nilai-nilai toleransi ini menjadi nilai yang sangat penting untuk dipegang erat-erat dalam kehidupan sehari-hari dirinya dan keluarganya di tengah lingkungan yang plural.

Baca Juga  Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan: Catatan Singkat Hari Santri

Ia hidup di lingkungan yang plural. Dimana Geraja dan Masjid satu tembok. Tapi semuanya hidup rukun dan damai. Tak ada keributan karena perbedaan keyakinan dan agama. Kuncinya sama-sama saling menghormati dan menghargai.

Dalam ajaran Katolik itu, sebut Lili, menekankan ajaran cinta dan damai kepada sesama makhluk hidup. Begitu juga dalam Islam, yang didalamnya mengandung ajaran cinta dan damai.

Lili mengaku sangat nyaman dan damai tanpa ada intoleransi dan diskriminasi apapun selama kuliah di kampus Muhammadiyah. Sekarang perbedaan bagi Lili bukanlah sebuah masalah. Ia justru tambah bersemangat dalam mengikuti dan mendukung kegiatan yang diadakan kampus, sekalipun ia Katolik. Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah.

*) Artikel ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan INFID

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds