Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada pada masyarakat, termasuk diantaranya aspek kearifan lokal. Pada era globalisasi, budaya-budaya dunia saling berbagi dan berebut pengaruh. Sehingga terjadi dengan sangat cepat dan mudah, seperti melipat kertas dalam istilah Yasraf Amir Piliang. Mengingat globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, yang harus dilakukan menurut Qodri Azizy, adalah respon, bukan lari menjauhi.
Di era globalisasi, masyarakat dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks, seperti mempertahankan kearifan lokalnya. Betapa pengaruh globalisasi sangat cepat. Secara fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama dan mendorong munculnya tatanan baru akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Menjaga Jati Diri Bangsa
Masyarakat Indonesia jangan sampai tergerus jati dirinya, sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia yang berkearifan lokal. Hal ini karena jati diri sebuah bangsa amat menentukan sejauh mana eksistensi sebuah bangsa mampu bertahan. Maka yang diperlukan di zaman globalisasi ini adalah membangun bangsa sekaligus karakternya (nation and character building). Keduanya, yaitu membangun bangsa dan membangun karakter. Ibarat satu koin dengan dua sisi yang menyatu, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Membangun bangsa harus disertai dengan membangun karakternya, dan demikian pula sebaliknya. Membangun karakter juga berarti merawat kearifan lokal sebagai bagian dari jati diri bangsa. Salah satu tantangan masyarakat Indonesia dalam bidang keberagaman (religiosity) adalah kondisi yang berhadap-hadapan antara radikalisme religius dengan radikalisme sekuler di tengah kehidupan beragama yang sejatinya bersifat moderat.
Tradisi asli masyarakat Indonesia sejatinya bersifat ramah dengan kearifan lokal (local wisdom) yang akomodatif. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari kesan umum bahwa masyarakat negeri ini pada dasarnya adalah masyarakat yang ramah dan santun. Pada saat yang sama masyarakat negeri ini memiliki kearifan lokal (local wisdom yang akomodatif dan terbuka.
***
Sejarah membuktikan bahwa banyak manusia, dengan ras yang berbeda, masuk ke Indonesia sebelum menggemanya globalisasi, dengan selamat dan disambut dengan gembira oleh masyarakat negeri ini. Dapat dicatat di antaranya, orang Arab, Eropa, Cina, Persia, dan sesama orang Asia Tenggara. Meskipun berikutnya orang Eropa, Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang melakukan kolonialisme ratusan tahun.
Dengan kenyataan itu dapat diketahui bahwa sebenarnya radikalisme religius dan radikalisme sekuler merupakan paham import. Sementara corak keberagamaan yang asli masyarakat Indonesia adalah moderat. Corak beragama moderat yang sejatinya dimiliki masyarakat Indonesia itu bersifat substantif, genuine, dan natural.Â
Hal tersebut tentu saja karena masyarakat Indonesia memiliki watak ramah dan lembut serta kearifan yang akomodatif, seperti disebut di muka. Sehingga pada etnis dan wilayah tertentu solusi bagi akulturasi terhadap kedatangan agama disambut dengan semangat sinkretisme sebagaimana terlihat pada sebagian masyarakat Jawa, masyarakat Batak, masyarakat Aceh, dan lain-lain.
Pada umumnya masyarakat beragama di Indonesia, khususnya masyarakat Islam yang dianut mayoritas penduduk memiliki komitmen yang kuat pada agama. Bahkan dalam tingkat tertentu memiliki fanatisme keagamaan yang tinggi. Namun pada saat yang sama, penduduknya memiliki komitmen yang kuat pada tradisi dan adat istiadatnya.
Kearifan Lokal sebagai Benteng Moderasi Beragama
Dalam kaitannya dengan kearifan lokal dan keberagamaan, masyarakat Indonesia memiliki tiga kondisi yang khas. Pertama, masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan adalah masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi dan adat istiadat yang telah lama diturunkan oleh nenek moyang mereka.
Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang taat pada ajaran agama mereka. Hal tersebut antara lain terlihat pada perumusan negara yang merupakan prestasi anak-anak negeri memadukan antara demokrasi dengan agama, seperti terlihat pada falsafah dan konstitusi negara.
Ketiga, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki relasi yang luas, baik antar budaya masyarakat yang ada di Indonesia, maupun antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat dunia akibat kelancaran komunikasi dan transportasi, serta relasi disebabkan kegiatan ekonomi dan pendidikan.
Namun relasi dan pengalaman berkomunikasi dengan masyarakat lain ternyata menjadi pintu masuk bagi corak pemahaman agama dan budaya lain. Meskipun daerah ini memiliki kearifan lokal yang menyebabkan penduduknya bersikap ramah dan akomodatif, namun sangat dimungkinkan bila sikap ramah dan akomodatif tersebut tergerus akibat gempuran kecenderungan keberagamaan yang bersifat radikal bisa jadi tradisi masyarakat tersebut dapat menyebabkan munculnya radikalisme liberal.
***
Kecenderungan terhadap hal itu dapat dilihat dalam berbagai kasus radikalisme dalam hubungan antar agama. Sebagian diantaranya adalah terjadinya peristiwa pembakaran Gereja di Aceh Singkil beberapa tahun yang lalu. Di samping itu, dapat pula terlihat pada sejumlah keberatan masyarakat terhadap upacara keagamaan Hindu yang dilakukan di Candi Bahal Portibi Padang Lawas Utara Sumatera Utara, dan lain-lain.
Pada sisi lain, terjadi pula berbagai penistaan terhadap agama di berbagai tempat. Di antaranya di Jakarta, di Tanjung Balai Sumatera Utara, dan tempat-tempat lain. Demikian pula terjadinya berbagai kesulitan dalam pendirian rumah ibadah di berbagai tempat di Indonesia.
Meskipun tidak dapat disimpulkan bahwa peristiwa itu dilatarbelakangi oleh ekstrimisme dan radikalisme beragama serta radikalisme sekuler, namun dalam upaya pencegahan terhadap radikalisme beragama maka kajian mengenainya menjadi sangat penting.
Akan tetapi, fenomena radikalisme dan ekstrimisme beragama tidak sampai mengoyak kesatuan bangsa Indonesia. Karena selain nilai-nilai kerukunan yang diajarkan oleh agama-agama yang ada, juga karena nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia.
Jalan Mewujudkan Moderasi Beragama
Jika diyakini atau diduga keras bahwa salah satu faktor penting dalam sikap moderat beragama adalah adat istiadat dan kearifan lokal (local wisdom), maka adalah keniscayaan untuk mengetahui kontribusi kearifan lokal sebagai faktor yang mendorong dan menjadi jalan terwujudnya moderasi beragama di Indonesia.
Upaya mewujudkan moderasi beragama melalui kearifan lokal tidak terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor penghambat moderasi beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal. Adanya sikap kurang bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pelarangan pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama dengan agama lain.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius. Adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan internal umat beragama, antar umat beragama dan antar umat beragama dengan pemerintah.
Editor: Soleh