Ketika membaca penjelasan Profesor Yusuf Al-Qaradawi (rahimahullah) tentang zakat profesi, saya menemukan satu hal menarik dari argumen beliau tentang wajibnya zakat profesi. Dalam Fiqh Zakat, beliau menganalogikan “jika seorang petani saja dikenakan zakat 10 persen atas hasil taninya, apalagi seorang dokter yang punya gaji besar setiap bulannya.”
Mengkritisi Argumen Profesor Al-Qaradawi
Saya termasuk orang yang sangat kritis terhadap zakat profesi, lantaran jenis zakat ini tidak ditemukan dalam literatur fiqh kecuali pada era modern atau menjelang abad 19 dimana industrialisasi memasuki wilayah Muslim. Namun demikian, argumen Profesor Al-Qaradawi menarik untuk diperhatikan lebih dalam sekaligus dikritisi, dan perlu ditekankan, kritik ini tidak menjatuhkan kapasitas keilmuan beliau.
Ada dua asumsi yang bisa ditemukan dari argumen beliau. Pertama, bahwa petani itu identik dengan ekonomi kelas bawah. Analogi tadi menggambarkan bahwa jika mereka yang di kelas bawah (petani) saja harus mengeluarkan zakat yang besar apalagi yang kelas atas (dokter). Kedua, bahwa pada zaman kontemporer, kuantitas angka adalah standar utama kekayaan dan kemiskinan.
Dalam hemat saya, keduanya merupakan cara pandang kapitalis yang secara tidak sadar digunakan dalam ijtihad fiqih. Namun, saya tidak berpandangan bahwa cara pandang ini keliru, lantaran tuntutan ekonomi global memang menekankan pada cara pandang kapitalis ini.
Belum lagi, paradigma bahwa petani itu miskin sepertinya sudah bersifat universal dan tidak perlu pembuktian. Wajar saja, karena mayoritas petani hidup di wilayah pedesaan, terkesan sulit untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier seperti mobil atau alat elektronik. Dan mereka biasanya tidak punya kepastian tersedianya dana segar setiap bulannya.
Petani itu Orang Kaya: Memahami Sejarah
Sebelum mengkritisi lebih lanjut terkait dua paradigma yang lahir dari argumen Prof. Al-Qaradawi, satu hal terkait cara berfikir harus ditekankan terlebih dahulu. Yaitu, memahami konten literatur klasik, baik fiqh dsb, semestinya dilakukan dengan mengembalikan konteks tulisan pada masa saat ia ditulis.
Tentunya, lantaran konteks yang digunakan saat melihat petani adalah konteks modern, tidak heran jika analogi petani dan dokter lahir. Karena pada zaman ini, petani lebih sering dipersepsikan miskin.
Memang, menggali konteks historis itu bukan pekerjaan sehari, hanya saja sedikit yang sadar jika konsistensi tradisi dalam menekankan zakat pertanian, tanpa mencetuskan zakat profesi hingga belakangan sebenarnya menggambarkan sesuatu. Bahwasannya, petani tidak pernah dianggap low class hingga abad 19.
Kesimpulan tadi bukan tanpa bukti. Saya mencoba mendalami beberapa literatur hukum perpajakan Ottoman di Mesir abad 16: Qanuname Misr. Saya menemukan Qanuname sangat mengadvokasi aparatur pemerintahan Ottoman di Mesir dengan merendahkan pajak dan standar biaya sewa terhadap mereka. Sementara para Fallahun (petani), pada kondisi tertentu pajak terhadap mereka ditinggikan dan biaya sewa terhadap tanah yang bukan milik mereka dimahalkan.
Sepertinya jika seorang pengamat politik dan ekonomi modern membaca temuan ini, kesimpulannya tidak akan jauh dari melabelkan kezaliman pada pemerintah. Sedikit yang mencoba keluar dari kerangka berfikir tersebut untuk menyimpulkan bahwa para petani saat itu sebenarnya kelas yang paling makmur, karena mereka memiliki aset properti yang sangat profitable (tanah pertanian); bisa mempekerjakan/menggaji banyak orang; penghasilan yang sangat besar setiap panen.
***
Sementara disaat bersamaan, para aparatur pemerintah hanya mengandalkan gaji bulanan, dan hanya diberikan rumah dinas oleh pemerintahan Utsmani pusat. Satu hal yang sangat membedakan antara aparatur dan petani adalah persoalan otoritas politik, yang itu saja secara historis tidak sama dengan kondisi modern.
Pada era tersebut, masyarakat lebih bergantung pada elit-elit tuan tanah yang mewarisi asetnya secara waqaf ‘ailiy (wakaf yang manfaatnya dibatasi pada keluarga yang diikrarkan dalam akta wakaf), dibandingkan kepada pemerintah yang berkuasa. Para elit tuan tanah inilah yang masuk dalam klaster petani. Sekali lagi, saat ini kita sering mempersepsikan petani dengan mereka yang mencangkul tanah saja, lalu mengeluarkan pemilik tanahnya dari klaster petani.
Perlu diterangkan lagi, bahwa pekerja lahan pertanian dan pemilik lahan biasanya menjalankan tiga tipe akad: musyarakah (dimana pemilik tanah dan pekerja membagi profit panen secara merata), ji’alah (dimana pemilik tanah membayar pekerja dengan nominal yang disepakati, biasanya tidak terkait hasil panen) atau ijarah (dimana pemilik tanah menyewakan tanahnya untuk digarap, lalu hasil panennya dibagikan proporsional antara pemilik dan pekerja).
Kenyataannya, yang meraup keuntungan terbesar saat panen bahkan dalam akad musyarakah adalah pemilik tanah. Dan karena keuntungan tersebut terkait dengan hasil panen, maka itu masuk dalam zakat pertanian, bukan perdagangan. Sehingga secara teknis, zakat pertanian ini menargetkan kelas atas, bukan hanya kelas bawah. Jika dipahami lebih jauh, deskripsi diatas mendukung asumsi bahwa para pelaku usaha pertanian sebenarnya orang kaya/muzakki sekalipun disebut petani/peasant.
Mereka boleh jadi jauh dari kemewahan harta, seperti keluarga-keluarga Sultan, tetapi mereka sebenarnya punya kekayaan meski bukan dalam bentuk dana segar atau barang mewah (tersier).
Stigma Miskin pada Petani di Era Modern
Pada dasarnya, jika diperhatikan lebih bijak, para petani di era modern pun tidak pantas dikaitkan dengan kemiskinan. Sangat jarang saya menemukan petani yang tidak punya stok beras untuk setahun di rumahnya atau untuk satu masa panen. Justru, saya lebih sering menemukan penduduk urban yang tidak punya stok makanannya dalam untuk satu minggu.
Memang, para petani itu perlu usaha lebih untuk bisa membelanjakan kebutuhan sekunder dan tersiernya. Namun, bukankah keamanan kebutuhan primer jauh lebih penting daripada kepemilikan iphone 15 atau mobil mewah?
Memang, saya tidak menafikan tuntutan ekonomi modern yang serba statistik, namun paradigma sosial untuk merendahkan petani adalah satu hal yang harus hilang. Begitupun kedepannya dalam pengembangan ekonomi syariah, sudah saatnya sektor pertanian dipandang sebagai sektor paling profitable.
Sebagai tambahan refleksi, di beberapa negara, petani itu jauh lebih kaya dibanding pegawai pemerintahannya, sehingga banyak pemudanya lebih tertarik menggarap lahan daripada berlomba menjadi abdi negara. Sulitkah hal yang serupa terjadi di Indonesia? Tidak, jika paradigma diatas bisa dikubur dalam-dalam dengan menguatkan sektor pertanian.
Editor: Soleh