Hadis

Sejak Kapan Hadis Nabi Dibukukan?

5 Mins read

Hadis merupakan salah satu rujukan utama dalam memahami Al-Qur’an. Kedudukan hadis dalam kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting. Karena di samping memperkuat pemahaman akan Al-Qur’an, juga memperjelas berbagai persoalan dalam Al-Qur’an.

Tentunya juga memberikan dasar pemikiran yang lebih konkrit mengenai penerapan berbagai aktifitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan manusia. Kita sebagai penuntut ilmu, harus turut ikut melestarikan serta menjaga hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh ulama terdahulu.

Dalam proses tersebut, penting kiranya bagi kita untuk mengkaji tahapan-tahapan periode perkembangan hadis sampai masa kita sekarang. Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk menuangkan sebagian maklumat tentang penulisan hadis secara resmi.

Kodifikasi Hadis Nabi

Kata kodifikasi berasal dari bahasa Inggris yaitu codification yang secara etimologi berarti penyusunan. Dalam bahasa Arab al-Tadwin yang berarti mencatat menulis dan menyusun.

Secara terminologi,   kodifikasi hadis adalah penulisan hadis berdasarkan perintah kepala negara yang dilakukan secara resmi dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam bidangnya.

Sebagai sumber kedua ajaran agama Islam, hadis telah melewati proses sejarah yang sangat panjang. Para ahli mengatakan bahwa sampai sekarang hadis telah melewati sedikitnya tujuh masa atau periode perkembangan.

Periode Kodifikasi Hadis

Periode pertama, yaitu masa turunnya wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya. Hal ini dimulai semenjak kerasulan, dari 13 tahun sebelum hiriyah sampai 1 Hijriyah.

Pada masa ini Rasulullah  memerintahkan para sahabat untuk menulis wahyu yang turun. Di masa  ini, terdapat larangan menulis hadis, di samping itu terdapat kelonggaran yang diberikan Rasul kepada sahabat tertentu untuk menulisnya.

Walaupun sekiranya Nabi tidak pernah melarang sahabat untuk menulis  hadis, tetap tidak mungkin seluruh hadis dapat ditulis pada zaman Nabi karena:

Pertama, hadis tidak selalu terjadi di hadapan sahabat nabi yang  pandai menulis hadis.

Kedua, perhatian Nabi sendiri dan para sahabat lebih banyak tertuju kepada pemeliharaan Al-Qur’an.

Ketiga, walaupun nabi memiliki beberapa orang sekretaris, mereka hanya diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi.

Keempat, sangat sulit, seluruh  pernyataan, perbuatan, taqrir dan hal ihwal seorang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain. Apalagi dengan peralatan yang masih terbatas dan sederhana.

Baca Juga  Syarat Ketersambungan Sanad Hadis, Beda Imam Bukhari dan Imam Muslim

Periode kedua, yaitu membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat. Hal ini terjadi pada masa Khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab,  Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib).

Pada masa ini, keadaan masih belum banyak berubah. Sikap Khulafa al-Rasyidin yang memperketat periwayatan hadis dan menjauhi penulisan adalah perpanjangan pendapat sahabat lain di masa Rasulullah.

Abu Bakar misalnya, yang sempat menghapus hadis dan membakarnya. Umar bin Khattab terus-menerus mempertimbangkan penulisan hadis, padahal sebelumnya ia berniat untuk mencatatnya.

Hal tersebut, karena tidak ingin Al-Qur’an ditandingi oleh kitab-kitab lain, atau khawatir mereka disibukkan oleh kitab lain sehingga melalaikan Al-Qur’an.

***

Periode ketiga, yaitu periode penyebaran riwayat-riwayat ke berbagai kota. Ini berlangsung pada masa sahabat dan tabi’in. Periode ini ditandai dengan aktifnya tabi’in mencari dan menyerap hadis-hadis dari generasi sahabat yang masih hidup.

Pada masa ini, terkenal lah sahabat-sahabat yang meriwayatkan lebih dari 1000 hadis, di antara mereka ialah Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 hadis, Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2.630 hadis, Anas ibn Malik meriwayatkan 2.226 hadis, Aisyah meriwayatkan 1.210 hadis, Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1.660 hadis, Jabir ibn Abdullah meriwayatkan 1.540 hadis, Abu Sa’id ibn Al-Khudri meriwayatkan 1.170 hadis.

Periode keempat, periode penulisan dan kodifikasi resmi. Berlangsung dari masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai akhir masa abad ke-2  Hijriyah.

Khalifah Umar mengambil langkah-langkah dan kebijaksanaan terhadap hadis yang belum pernah dilakukan oleh semua khalifah sebelumnya. Ia memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amru ibn Hazm supaya membukukan hadis Nabi yang terdapat pada seorang wanita yang juga murid dari Aisyah, Amrah binti Abd al-Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn Ades. Serta hadis-hadis yang ada pada Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al- Shiddiq, seorang pemuka tabi’in dan salah seorang dari tujuh ahli fikih Madinah.

Umar bin Abdul Aziz juga mengirim surat kepada semua Gubernur dalam kekuasaannya untuk mengambil langkah serupa pada penghafal dan ulama hadis di tempat mereka masing-masing. Kebijaksanaan khalifah ini oleh sejarawan dicatat sebagai kodifikasi pertama secara resmi.

Sebenarnya, ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai gubernur di Madinah keinginan membukukan hadis telah muncul, tapi tampaknya ia belum mampu mengatasi perbedaan pendapat ulama  tentang kebolehan seorang menulis hadis.

Baca Juga  Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

Di samping itu juga, Umar belum mampu menjangkau seluruh ulama yang tersebar di berbagai wilayah Islam. Ternyata, setelah ia menjadi khalifah dan mengeluarkan surat perintah penulisan hadis, perbedaan pendapat itu sedikit demi sedikit mulai reda dan akhirnya seperti telah terlupakan.

***

Periode kelima, yaitu periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Mulai dari awal abad sampai akhir abad ke-3 Hijriyah. Periode ini menanggung dan mencarikan pemecahan terhadap masalah-masalah hadis yang muncul dan belum  diselesaikan pada periode sebelumnya.

Di samping itu, kegiatan lainnya pada periode ini adalah; pertama, mengadakan lawatan atau rihlah ke daerah- daerah yang semakin jauh, guna menghimpun hadis-hadis dari para perawi.

Kedua, membuat klasifikasi hadis yang marfu’, mauquf, dan maqtu’. Ketiga, menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik kepada rawi maupun matan hadis dan memberikan jawaban atas kritikan tersebut.

Di masa ini, para ulama telah menyusun hadis-hadis yang berkualitas menurut kriteria penulisannya, misalnya Imam al Bukhari, karyanya yang terkenal adalah al-Jami’ al Shahih.

Perode Keenam, yaitu periode pemeliharaan penertiban penambahan dan penghimpunan. Mulai abad ke-4 Hijriah sampai jatuhnya Kota Baghdad.

Pada periode ini, tumbuh asumsi untuk merasa cukup dengan hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama mutaqaddimin, oleh karena itu dirasa tidak perlu lagi untuk melakukan lawatan atau rihlah ke berbagai negeri untuk mencari hadis.

Semangat di masa ini adalah semangat pemeliharaan apa yang telah dikerjakan oleh para pendahulu mereka. Para ulama di periode ini pula berusaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadis, serta menyusunnya ke dalam bagian-bagian yang telah sistematis. Di masa ini pula bermunculan kitab-kitab syarh, yaitu kitab yang mengomentari kitab-kitab hadis tertentu dari masa sebelumnya.

Perode Ketujuh, yaitu periode pencerahan, penghimpunan, pen-takhrij-an  dan pembahasan. Mulai sejak jatuhnya kota Baghdad abad ke-4 Hijriah, sampai sekarang.

Pada periode ini, masih meneruskan kegiatan masa sebelumnya. Kegiatan yang umum pada masa ini ialah memelajari kitab-kitab yang telah ada dan mengembangkannya, membuat pembahasan-pembahasannya, atau juga membuat ringkasan-ringkasan terhadap kitab hadis yang telah ada.

Baca Juga  Tiga Cara Mudah Mengetahui Status Hadits

Tokoh-Tokoh Kodifikasi Hadis

Ulama telah sepakat bahwa yang pertama kali memikirkan pengumpulan dan pencatatan hadis secara resmi adalah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Ia telah mengirim surat perintah kepada seluruh pejabat dan para ulama ke berbagai daerah pada tahun 100 Hijriyah.

Isi dari surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing  daerah segera dihimpun. Salah satu surat khalifah dikirim ke gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad Amr ibn Hazm, namun sayang sebelum ia menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia.

Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al- Zuhri. Beberapa ulama melakukan kodifikasi hadis di berbagai daerah setelah generasi al-Zuhri:  

Ibn Juraij (150 H) di Mekkah, Abu Ishaq (151 H) dan Imam Malik (117 H) di Madinah, Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn Abi Zid (158 H), al-Rabi’ ibn Shibah (160 H), Sa’id ibn Abi ‘Arubah (156 H), Hammad ibn Salamah (167 H) di Basrah, Sufyan al-Tsauri (161 H) di Kuffah, Khalid ibn Jamil al-‘Abd dan Ma’mar ibn Rasyid (153 H) di Yaman, Abd Allah ibn Mubarak (181 H) di Bakhrasan, Hasyim ibn Basyir (283H) di Wasith, Imam Abd al-Rahman ibn ‘Amr al-Auza’iy (157 H) di Syam, Jarir ibn al-Hamid (188 H), Abd Allah ibn Wahab (197 H) di Mesir.

Di antara ulama-ulama tersebut sulit untuk ditetapkan, siapa yang terlebih dahulu muncul, namun yang jelas mereka semua sama-sama berguru kepada Ibn Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhri. Kitab-kitab yang masyhur yang berhasil dihimpun oleh ulama abad kedua ini adalah:

Al-Muwatha’ karya Imam Malik, Al-Mushannaf al-Syafi’i Karya Imam al-Syafi’i, Al-Mushannaf karya al-Auza’iy.

Selain kitab masyhur di atas, ada juga kitab yang lainnya, di antaranya:

Al-Magazi wa al-Siyar, Muhammad ibn Ishaq (150 H), Al-Jami’, ‘Abd al-Razak al-Shan’aniy (211 H), Al-Mushannaf, Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Al-Mushannaf, Sufyan ibn ‘Uyainah (190 H), Al-Mushannaf, al-Humaidi (150 H), Al-Musnad, Abu Hanifah (150 H), dan Al-Musnad, Zaid ibn Ali.

Editor: Yahya FR

Ahmad Agus Salim
24 posts

About author
Mahasiswa Magister IAT Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Hadis

Transmisi Hadits Era Tabi’in

4 Mins read
Pengetahuan tentang proses penyebaran hadits menjadi sangat penting, mengingat rentang waktu antara umat dengan Nabi-nya. Akan tetapi keterbatasan ruang dan waktu tersebut…
Hadis

Sunan Asy-Syafi'i, Kitab Hadis yang Ditulis Langsung oleh Imam Syafi'i

2 Mins read
Tentang Kitab Sunan Syafi’i Sesungguhnya kitab As-Sunan karya Imam Asy-Syafi’i ditulis langsung oleh beliau. Kitab Sunan ini merupakan kitab yang terbilang “…
Hadis

Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

4 Mins read
Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds