Pendahuluan
Islam memiliki peran penting dalam membentuk sejarah, identitas, dan budaya masyarakat Bima, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Berbeda dengan daerah lain yang mengalami Islamisasi melalui peperangan, penyebaran Islam di Bima berlangsung melalui diplomasi, perdagangan, dan transformasi sosial secara bertahap.
Islam di Bima bukan sekadar agama, tetapi juga sistem sosial yang mengatur hukum, budaya, dan bahkan politik. Hingga kini, jejak sejarah Islam di Bima masih dapat dilihat dalam struktur sosial masyarakat, tradisi keagamaan, dan peninggalan arsitektur kesultanan.
Artikel ini akan membahas bagaimana Islam masuk ke Bima, bagaimana perannya dalam membentuk masyarakat, serta tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman di era modern.
Kedatangan Islam di Bima
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Bima menganut kepercayaan animisme dan pengaruh Hindu-Buddha. Islam mulai masuk ke wilayah ini sekitar abad ke-17, terutama melalui pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo, sebuah kerajaan Islam yang kuat di Sulawesi Selatan.
Selain dari Makassar, Islam juga diperkenalkan oleh pedagang dari Demak (Jawa), Aceh, dan Gujarat (India) yang berdagang di kepulauan Indonesia bagian timur. Hubungan dagang ini tidak hanya membawa barang-barang berharga, tetapi juga ideologi dan ajaran Islam yang akhirnya diadopsi oleh masyarakat Bima.
Proses Islamisasi semakin kuat ketika Raja Manuru Saleh, penguasa Bima pada saat itu, memutuskan untuk memeluk Islam dan mengubah namanya menjadi Sultan Abdul Kahir pada tahun 1620. Keputusan ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga berdampak besar pada kerajaan dan masyarakatnya.
Transformasi Bima Menjadi Kesultanan Islam
Setelah Sultan Abdul Kahir resmi memeluk Islam, sistem pemerintahan di Bima mengalami perubahan drastis. Bima yang sebelumnya dipimpin dengan sistem kerajaan tradisional, kemudian diubah menjadi Kesultanan Islam dengan struktur pemerintahan berbasis Syariah Islam.
Sultan Abdul Kahir juga mengundang ulama dari Makassar dan Jawa untuk mendidik masyarakat Bima tentang Islam. Hukum adat yang bertentangan dengan Islam dihapus, dan masyarakat mulai menerapkan syariat dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan berdirinya Kesultanan Bima, Islam tidak hanya menjadi agama resmi tetapi juga membentuk aspek sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Kesultanan Bima menjadi model pemerintahan Islam di wilayah timur Indonesia yang kemudian mempengaruhi wilayah-wilayah sekitarnya.
Bima sebagai Pusat Penyebaran Islam di Wilayah Timur
Letak geografis Bima yang strategis menjadikannya pusat perdagangan dan penyebaran Islam ke wilayah timur Nusantara. Kesultanan Bima menjalin hubungan erat dengan Kesultanan Aceh, Kesultanan Mataram, dan Kesultanan Makassar, memperkuat pengaruh Islam di Indonesia bagian timur.
Ulama-ulama dari Bima juga berperan dalam menyebarkan Islam ke daerah seperti Sumba, Flores, dan Timor. Mereka membawa ajaran Islam dengan cara damai, menyelaraskan ajaran agama dengan budaya lokal agar lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Selain berdagang dan berdakwah, masyarakat Bima juga aktif menuntut ilmu ke Mekah dan Mesir, membawa kembali wawasan Islam yang lebih luas ke tanah air mereka. Tradisi ini terus berlanjut hingga saat ini, menjadikan Bima sebagai daerah yang kaya akan tradisi keislaman.
Pengaruh Islam dalam Budaya dan Tradisi Bima
Islam bukan hanya mengubah sistem pemerintahan, tetapi juga membentuk budaya dan tradisi masyarakat Bima. Beberapa pengaruh Islam yang masih terlihat hingga saat ini antara lain:
- Arsitektur Islam → Masjid-masjid tua dengan gaya khas Timur Tengah dan Melayu masih berdiri sebagai bukti sejarah Islam di Bima.
- Sastra dan Tulisan Islam → Aksara Arab-Melayu digunakan dalam literatur dan dokumen kesultanan, menunjukkan kuatnya pengaruh Islam dalam bidang sastra.
- Adat dan Tradisi Keagamaan → Perayaan Islam seperti Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan Idul Fitri memiliki unsur budaya lokal yang unik, menggabungkan ajaran Islam dengan warisan tradisional Bima.
- Sistem Hukum → Banyak hukum adat Bima masih mengikuti prinsip-prinsip Islam, meskipun sudah mengalami modernisasi.
Hingga saat ini, masyarakat Bima masih mempertahankan tradisi keislaman yang diwarisi dari Kesultanan, menjadikan Islam bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Tantangan Islam di Bima di Era Modern
Meskipun Islam telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Bima, globalisasi membawa tantangan baru yang mengancam nilai-nilai tradisional. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:
1. Modernisasi dan Perubahan Sosial
- Masuknya budaya global telah mengubah gaya hidup generasi muda Bima.
- Nilai-nilai tradisional mulai luntur karena pengaruh media sosial dan urbanisasi.
2. Pendidikan Keislaman
- Meskipun pesantren dan madrasah masih berkembang, banyak generasi muda yang lebih tertarik pada pendidikan sekuler.
- Tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan pendidikan Islam dengan perkembangan zaman.
3. Ekonomi dan Industrialisasi
- Peningkatan industri dan ekonomi membawa dampak sosial yang dapat mengubah pola hidup masyarakat, termasuk dalam praktik keagamaan.
- Bagaimana memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak menghilangkan nilai-nilai Islam adalah tantangan besar bagi para ulama dan pemimpin masyarakat.
Namun, berbagai langkah telah dilakukan untuk menjaga warisan Islam, seperti memperkuat pendidikan agama, mendukung dakwah modern, dan mempertahankan tradisi keislaman dalam budaya lokal.
Kesimpulan
Sejarah Islam di Bima adalah bukti bagaimana Islam dapat berkembang secara damai melalui diplomasi dan akulturasi budaya. Dari awal masuknya melalui perdagangan hingga berkembang menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Indonesia, Bima tetap menjadi contoh bagaimana Islam bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai lokal.
Hingga kini, Bima tetap dikenal sebagai pusat peradaban Islam di Nusa Tenggara, dengan masyarakatnya yang terus menjaga ajaran Islam sambil menghadapi tantangan zaman modern.
Dengan memahami sejarah dan peran Islam di Bima, kita bisa belajar bagaimana nilai-nilai keislaman dapat dipertahankan dan berkembang di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan identitasnya.
Editor: Soleh