Komunikasi dengan Rasulullah Saw bersifat formal. Sebab mencintainya dimakna kultus.
Berbeda dengan Imam Syafi’i yang berpendapat tak sampai, Imam Ahmad bin Hambal berpendapat sebaliknya, bahwa: kirim pahala Al-Qur’an atau Al-Fatihah kepada mayit atau orang yang sudah meninggal adalah sampai.
Dan saya sependapat. Sebagaimana saya sependapat dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam hal tidak melafazkan niat, tidak baca qunut subuh, tidak baca sayidina, membaca sir basmalah, tidak membaca diba’, atau lainnya.
Dan itulah yang saya amalkan beberapa pekan ini— terhadap kedua orangtua, kerabat dekat yang sudah meninggal. Oleh karena Saya merasakan kehampaan dan keterputusan spiritual, seakan semua telah benar-benar putus tidak ada lagi media komunikasi intens yang bisa mendekatkan.
Saya merasakan bahwa yang paling dekat adalah kematian dan saya akan mengubah pola komunikasi dengan orang mati menjadi lebih humanis dan tetap terjaga.
Saya juga merasakan lompatan teologis: kenapa mengikut imam Syafii yang tak sampai padahal pada urusan lain begitu Hambali minded?
Maka dengan senang hati saya memutuskan mengabaikan pendapat Imam Syafi’i dan HPT yang berpendapat tak sampai dan bermigrasi pada pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang berpendapat sampai tanpa terkurangi.
Saya mendoa dan memohonkan ampun dan bekirim pahala bacaan Al-Qur’an dan Al-Fatihah satu persatu dengan sebut nama secara khusus kepada kedua orang tua, embah dan mbok, iyik dan inyik, bude, bebek, pak lek, pak de yang sudah meninggal puluhan tahun silam.
Bahkan juga terhadap yang masih hidup kepada istri anak-anak juga kerabat jauh dan dekat yang sedang sakit atau sehat yang sedang sedih atau didera musibah. Semua saya doakan dan saya ‘kirimi pahala’ bacaan Al-Fatihah. Sebuah ketidaklaziman yang saya terabas, juga kepada semua guruku.
***
Saya tidak akan bahas khilaf fiqh yang rumit. Tapi lebih fokus pada aspek muamalah dalam konteks fenomenologis. Sebuah pikiran yang mencoba mencandra dari aspek perilaku keberagamaan yang bersumbu pada puritanisme yang saya genggam erat selama puluhan tahun. Dengan jargon yang amat menggetarkan: kembali kepada Al-Qur’an dan sunah.
Paham Keberagamaan Persyarikatan meski tidak bermazhab — tetap saja punya kecenderungan. Pendapat Imam Ahmad bin Hambal adalah kerap menjadi rujukan sebagai putusan fatwa.
Kalau tak mau di bilang memiliki kemiripan yang kuat terutama menyangkut amalan-amalan prinsip keseharian yang membedakan.
Dan pada urusan kirim pahala, saya akan tetap konsisten merujuk pada pendapat Imam Ahmad bin Hambal yang berpendapat dan mengabaikan Imam Syafi’i yang berpendapat tidak sampai.
Sebut saja: tidak melafazkan niat secara jahr, membaca sir basmalah, tidak membaca qunut subuh, tidak membaca sayidina pada tahiyat, menggerakkan telunjuk, dan terpenting jargon kembali kepada Al-Qur’an dan sunah yang dipahami leterljik.
Termausk menyebut bid’ah terhadap semua amalan yang tidak ada dalil dan uswah dari Rasulullah Saw diperlakukan secara general tidak membedakan mana yang mahdhoh dan mana pula yang ghairu mahdhoh yang kemudian menjadi pangkal kesimpangsiuran teologis dalam bentuknya yang ekstrem.
Maka piara burung, piara ikan koi, mancing pun dianggap bid’ah karena tidak ada dalil dan uswah dari Nabi Saw dan para salafus-shalih.
Keberagamaan menjadi sangat absurd dan hilang konteks karena ketiadaan ruh dan spiritualitas. Kering lagi hambar. Sebab semua dihitung kuantitas serba transaksional. Bahkan hubungan dengan Rasulullah Saw pun mengalami kerenggangan karena dilakukan secara formal.
Sebab cinta Nabi saw dimakna kultus. Cinta kepada nabi Saw bersifat formal, atas bawah, hanya mengedepankan hal-hal formal semacam ibadah mahdhoh secara leterljik ner-spiritual tanpa hati yang menguras air mata kerinduan.
Editor: Rozy