Tulisan ini bukanlah hendak meng-counter atau sebagai anti tesis dari tulisan sebelumnya, yaitu tulisan saudara teman ngopi dan diskusi saya di Malang Ode Rizki dan Bang Ical (Aprizal Sulthon). Mereka sama-sama memberikan sumbangsih pemikiran maupun ide brilian yaitu membuat STFMA (Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah/Aisyiyah) yang unggah di media ternama sekaliber IBTimes.ID.
Sebenarnya ide yang sama juga pernah terlontarkan oleh Dr. Alim Roswantoro M. Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada kegiatan FGD Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (FPM), di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Sabtu (29/10/2016).
Akan tetapi tulisan ini hendak menganalisis mengapa sampai saat ini belum ada sekolah filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah? Bagaimana posisi pendidikan filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah? Dan perlukah Muhammadiyah memiliki Sekolah Tinggi Filsafat?
Pendidikan Filsafat di Perguruan Tinggi
Sebelumnya memang kita harus mengakui kegigihan Agama Kristen dalam mengembangkan keilmuan filsafatnya terutama dalam bidang teologi. Karena itu, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) lebih didominasi di kampus-kampus Kristen. Sebut saja STF Drikarya, STF Teologi Jakarta, STF Teologi Widya Sasana.
Lalu bagaimana dengan PTKIS/PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta/Negeri)? Hampir di beberapa kampus Islam baik negeri maupun swasta sebenarnya sudah terdapat beberapa Program Studi khusus yang menekuni filsafat, terutama filsafat Islam. Ia biasa dikenal dengan Jurusan Akidah dan Filsafat di bawah naungan Fakultas Ushuluddin.
Bila kita bandingkan secara kuantitas, jumlah Prodi yang khusus mempelajari filsafat lebih banyak di kampus Islam daripada di kampus Kristen. Di sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa peran keilmuan filsafat masih memiliki andil yang besar dalam mewarnai keilmuan khususnya di Perguruan Tinggi Islam.
Bukan karena tidak ada, tapi lebih berbentuk prodi daripada Sekolah Tinggi. Sedangkan di tingkatan Sekolah Tinggi ada STFI Sadra yang berlokasi di Jakarta.
Pendidikan Filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang sudah berusia satu abad lebih, tidak perlu diragukan lagi bagaimana membangun dan mendirikan amal usaha di bidang pendidikan. Tercatat dari data terbaru tahun 2020 yang diunggah di media sosial Instagaram milik Muhammadiyah @lensamu. Muhammadiyah memiliki Perguruan Tinggi sejumalah 164 mulai dari Akademi, Sekolah Tinggi, Institute, hingga Universitas, dengan total jumlah Prodi 1843, 17.117 Dosen, dan 554.201 jumlah mahasiswa. Angka yang bisa dibilang uwu banget.
Jumlah tersebut belum lagi ditambah dengan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang angkanya bahkan melebih jumlah Masjid/Mushola milik Muhammadiyah. Total keseluruhan Amal Usaha Muhammadiyah di bidang Pendidikan sudah menyentuh angka 25 ribuan.
Namun dari data semua itu kita belum pernah mendengar Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah. Wajar kalau kemudian terdapat aspirasi dari para kader muda Muhammadiyah agar Persyarikatan dapat membuat kampus yang fokus menekuni bidang-bidang filsafat.
Saya melihat terdapat tiga argumen penting dari aspirasi teman-teman tentang pentingnya Muhammadiyah perlu mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah.
Pertama, Muhammadiyah melalui pengalamannya dalam mengelola pendidikan tentu bukanlah perkara yang sulit bila diminta untuk membuat kampus lagi. Jangankan hanya Sekolah Tinggi, setingkat Universitas pun Muhammadiyah sudah cukup mampu membangun dan mengelola Pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi.
Kedua, sumber daya manusia yang dimiliki oleh Muhammadiyah mulai dari tenaga pendidik (dosen/pengajar) yang ahli dalam bidang filsafat sebagai contoh Prof. Amin Abdullah, Prof. Biyanto, Prof. Zakiyudin Baidawi, Prof. Hilman Latief, dan Prof. Ahmad Najib Burhani, dan masih banyak lagi. Belum lagi tenaga kependidikan, managerial, dan lain-lain yang jelas bukanlah perkara sulit untuk membangun Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah.
Ketiga, calon mahasiswa tersedia begitu banyak, dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang dimiliki oleh Muhammadiyah baik SMK, SMA, maupun MA, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan calon mahasiswa. Ditambah dengan banyaknya kader yang dimiliki oleh IPM, mereka juga bisa menjadi sumber calon mahasiswa.
Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa di Muhammadiyah hingga sampai saat ini masih belum ada Sekolah Tinggi Filsafat? Dan apakah memang Muhammadiyah tidak ada perhatian khusus terhadap keilmuan filsafat? Di sini saya mencoba menganalisis dari sisi posisi Pendidikan filsafat di Perguruan Tinggi Muhammmadiyah dan Aisyiyah.
Alasan Belum Adanya Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah
Pertama, perhatian terhadap filsafat di beberapa kampus Muhammadiyah bukan berarti tidak ada. Menilik sejarah Universitas Muhammadiyah Palembang berangkat dari Fakultas Hukum dan Fakultas Filsafat Muhammadiyah Palembang. Selain itu posisi Pendidikan filsafat di PTMA lebih banyak berbentuk Pusat Studi Filsafat. Di UMM sendiri terdapat PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat), sebuah lembaga yang khusus mengembangkan kelimuan filsafat di UMM.
Kedua, pendidikan filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah masih memiliki peran yang penting dalam pengembangan keilmuan di Muhammadiyah, sehingga Pendidikan Filsafat di PTMA berbentuk mata kuliah.
Mata kuliah filsafat sendiri merupakan kurikulum yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa di semua jurusan. Sejajar dengan mata kuliah wajib lainnya yakni mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Selain itu ialah karena keilmuan filsafat sangat berkembang sehingga mempelajari filsafat sudah sangat spesifik menyesuaikan dengan keilmuan di prodi masing-masing.
Sebut saja di prodi Pendidikan terdapat mata kuliah khuusus Filsafat Pendidikan. Di Prodi Hukum mempelajari Filsafat Hukum, dan begitu juga di hampir semua prodi terdapat mata kuliah filsafat. Artinya kebutuhan Pendidikan filsafat di PTMA masih mendapat perhatian.
Dari kedua analisis saya di atas bisa jadi menjadi alasan tersendiri mengapa sampai saat ini di tingkatan Perguruan Tinggi Muhammadiyah tidak terdapat sekolah khusus atau prodi khusus yang menekuni bidang filsafat.
Problem dan Solusi Pendidikan Filsafat di PTMA
Sebenarnya suara-suara pembentukan sekolah filsafat di Muhammadiyah sudah disuarakan di beberapa forum, termasuk di internal beberapa kampus. Namun terdapat beberapa problem yang masih menjadi pertimbangan pembentukan kampus filsafat Muhammadiyah.
Pertama, pertimbangan pasar. Di sini lah para calon penyelenggara sekolah filsafat mempertimbangkan soal pasar. Artinya sekolah filsafat peminatnya sangat rendah sehingga membutuhkan extra tenaga lebih bila ingin membangun kampus khusus menekuni bidang filsafat.
Kalau sekedar hanya membangun bukanlah perkara yang sulit. Namun bila sepi peminat ongkos yang dikeluarkan juga terlalu besar. Ditambah lagi peraturan di kementrian Pendidikan Tinggi yang mengatur jumlah rasio dosen dan mahasiswa yang harus seimbang.
Kedua, pertimbangan orientasi lulus kerja. Di sini lah kebanyakan mengapa banyak mahasiswa yang enggan memasuki jurusan filsafat. Selain karena dirasa mempelajari filsafat sesuatu yang sangat berat karena harus mengereyutkan dahi dan menganggap setelah lulus akan bekerja sebagai apa. Jadi wajar jumlah mahasiswa di Fakultas Ushuluddin jurusan akidah dan filsafat paling sedikit di antara fakultas-fakultas lain.
Lalu bagaimana solusinya agar Muhammadiyah memiliki kampus yang fokus menekuni bidang filsafat? Di sini penulis hendak memberikan rekomendasi agar impian itu terwujud.
Pertama, bila membangun Sekolah Tinggi Filsafat Muhammadiyah saya rasa ia sesuatu yang berat karena harus mengeluarkan dana yang besar dengan membangun Gedung dan besaran uang operasional dalam pengelolaan kampus. Maka dari itu solusi yang sangat mungkin ialah dengan membentuk Prodi khusus filsafat.
Mengingat Muhammadiyah memiliki PTMA besar, sebut saja UMY, UAD, UMS, maupun UMM dengan akreditasi yang sudah bagus dan pengelolaan yang sudah mapan, kiranya sangat realistis dibentuk prodi khusus filsafat bisa di bawah Fakultas Agama Islam dengan nama prodi Akidah dan Filsafat Islam atau di bawah Fakultas lain.
Kedua, selain mendirikan prodi filsafat, Muhammadiyah juga harus juga harus ikut andil dalam mencetak kader-kader yang ahli dalam bidang filsafat. Maka dari itu Muhammadiyah membuat program khusus dengan memberikan beasiswa bagi para kader yang ingin mempelajari filsafat.
Mengingat Muhammadiyah juga memiliki program pembentukan ulama tarjih dengan program beasiswa khusus, sebut saja PPUT (Program Pendidikan Ulama Tarjih) di UMM dan PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) di Jogjakarta. Maka dari itu hal ini juga perlu dilakukan di bidang lain selain bidang ulama’ tarjih. Dengan demikian harapan agar Muhammadiyah dapat mencetak kader ahli bidang filsafat.
Editor: Shidqi Mukhtasor