Kita semua tahu, kesehatan adalah kebutuhan primer manusia modern. Tapi sedikit dari kita yang peduli akan kesehatan. Sehingga, pemerintah akhir-akhir ini terkesan mencuri kesempatan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan kembali. Jika terus dibiarkan, mungkin kita harus mengucapkan selamat tinggal pada masa depan kesehatan.
Masa Depan Kesehatan
Setelah Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2019 dibatalkan oleh MA, nampaknya pemerintah tidak kehabisan akal. Pemerintah kembali membuat PP No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas PP No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Di dalamnya mencantumkan perubahan iuran peserta BPJS Kesehatan Non PBI.
Presiden Joko Widodo sampai periode kedua pemerintahannya berupaya untuk melakukan perbaikan dalam BPJS Kesehatan. Pembenahan jaminan kesehatan dalam hal ini rupanya bukan dengan program-program kesehatan masyarakat. Seperti halnya Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) keluaran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.
Namun, seperti kita ketahui bersama bahwa Presiden Jokowi dalam pembenahan BPJS rupanya lebih condong memilih jalur menaikkan iuran. Padahal di banyak negara kecenderungan kenaikan biaya pelayanan kesehatan justru menyulitkan akses penduduk terhadap layanan kesehatan.
Wajar jika hal ini memancing perhatian publik, terutama IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dalam surat terbukanya kepada Presiden dan Ketua DPR RI. Dikutip di media online IBTimes.ID, Najih Prastiyo selaku Ketua Umum IMM menyesalkan langkah pemerintah dan kalangan dewan yang merugikan bangsa dan negara.
Dalam surat terbuka itu, Najih juga mendesak agar Presiden Jokowi beserta Ketua DPR Puan Maharani harus bertanggungjawab penuh atas pengelolaan negara yang semakin hari menghasilkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyatnya.
Sejumlah masyarakat menilai langkah menaikkan iuran adalah tindakan yang kurang tepat sebab langsung dibebankan kepada peserta. Padahal ditengarai masih banyak cara lain yang bisa ditempuh pemerintah. Salah satunya adalah memastikan semua masyarakat mengikuti program ini.
Dikutip dari economy.okezone.com, BPJS Kesehatan memiliki jumlah peserta asuransi mencapai 221.580.743 jiwa pada 10 Mei 2019. Jumlah tersebut setara 83,94% dari total penduduk Indonesia. Artinya, pada tahun lalu masih sekitar 15% penduduk Indonesia belum terdaftar sebagai peserta BPJS. Pada tahun 2020 ini, apakah pemerintah sudah memastikan 100% masyarakat terdaftar?
Meniadakan Prinsip Kesehatan
Memang jika iuran dinaikkan BPJS Kesehatan akan surplus sekitar Rp14 triliun pada 2020. Namun, jika terdapat carry over defisit senilai Rp 18 triliun maka tetap terdapat potensi defisit sekitar Rp4 triliun pada tahun depan.Yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah dengan menaikkan iuran tahun ini tidak akan terjadi defisit lagi?
Sejak awal adanya BPJS ini, nampaknya memang jauh dari prinsip gotong royong itu sendiri. Sedangkan visi dari BPJS sendiri adalah terwujudnya jaminan kesehatan yang berkualitas tanpa diskriminasi.
Bila memakai kacamata Anthony Giddens mengenai Third Way, kebijakan BPJS merupakan kebijakan bersifat ‘sosialis’. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini tidak bisa membangun kesejahteraan yang positif, karena Pemerintah hanya memberikan bantuan kesehatan dan tidak melindungi masyarakat dari penyakit.
Beberapa waktu lalu, presiden mengatakan salus populi suprema lex esto yang artinya adalah keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Hal ini seharusnya diikuti dengan komitmen Pemerintah agar tidak menjadikan sektor kesehatan sebagai sektor bisnis.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof Laksono Guru Besar dari Universitas Gajah Mada memaparkan dalam konteks paradoks, sistem pelayanan kesehatan diharapkan sebagai sektor sosial yang penuh nilai kemanusiaan. Namun kenyataannya dipengaruhi oleh hukum pasar.
Kenaikan Iuran Bukan Jalan Keluar
Setelah krisis ekonomi tahun 1998, pemerintah memang baru menerapkan sistem jaminan kesehatan. Semula sektor kesehatan pada dasarnya berbasis pasar. Secara historis layanan kesehatan didominasi oleh sistem keuangan out of pocket (biaya sendiri).
Baru pada tahun 2008 program jaminan kesehatan nasional dibuat. Program ini mulanya bertujuan untuk menyediakan akses kepada pelayanan kesehatan untuk orang miskin dan agak miskin, dengan membebaskan mereka dari biaya-biaya yang dikeluarkan saat menggunakan pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya pemerintah tidak memandang masalah kesehatan masyarakat sebagai perkara remeh-temeh. Karena UUD 1945 menyebutkan jika semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Apabila pemerintah tidak mampu menyediakan hal tersebut, sudah semestinya Presiden meninjau skala prioritas bangsa ini.
Sekali lagi, menaikkan iuran BPJS Kesehatan bukanlah jalan keluar untuk meningkatkan pelayanan kesehatan. Melainkan justru banyak kepentingan ekonomi di sana yang jauh dari kata kemanusiaan.
Tidak ada yang bisa menjamin, masyarakat tidak ditolak kembali saat berobat di rumah sakit. Tidak ada yang bisa menjamin pula, bahwa BPJS tidak akan defisit lagi. Namun, harusnya ada dalam nurani Pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang merata ke seluruh rakyat indonesia tanpa terkecuali.
Untuk mewujudkan pasal 34 UUD 1945 ayat 3, Pemerintah lewat Kementerian Kesehatan harus berkomitmen untuk senantiasa megawasi dan menjamin bahwa setiap masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama. Akhirnya, harapan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan menjadi tugas penting pemerintah. Jika tidak ada aksi yang berarti pemerintah, sepertinya kita harus mengatakan selamat tinggal pada masa depan kesehatan.
Editor: Nabhan