Belakangan ini, kecenderungan sebagian orang memiliki semangat beragama, terkhusus berdakwah. Namun, tidak diimbangi dengan pengetahuan dalam ilmu agamanya. Hal ini tentunya bisa mengakibatkan praktik dakwah yang disampaikan tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan agama.
Semangat berdakwah memang penting untuk terus ditingkatkan. Tetapi, harus diimbangi dengan kesadaran diri tentang kemampuan mengajinya. Dari mulai mengaji Al-Qur’an, ilmu-ilmu fikih dan sebagainya dengan benar, serta mendalaminya. Supaya tidak keliru ketika menyampaikan dakwahnya ke masyarakat.
Proses Menjadi Dai yang Tidak Gampang
Butuh sebuah proses yang dibilang tidak instan untuk bisa menjadi seorang dai yang profesional, diimbangi dengan kemampuan pengetahuan mengajinya. Agar dakwah yang disampaikan ke masyarakat tidak keliru dan asal-asalan.
Bukan baru hafal dan tahu satu dua ayat, bahkan modal dari Google Terjemahan dan dapat di internet, tapi sudah berani dakwah dengan merasa benar sendiri. Bahkan lebih parahnya lagi apabila menyalahkan, mensesatkan amalan orang lain karena tidak sejalan dengan amalan dirinya, yang mana itu sangat fatal.
Orang yang sudah belajar mengaji selama bertahun-tahun saja, masih berhati-hati ketika akan menyampaikan dakwah, karena takut ada yang keliru. Sekarang ini ada saja orang yang bisa dikatakan baru mengenal Islam seumur biji jagung, tetapi sudah berani ceplas-ceplos dalam berdakwah.
Menyampaikan dakwah ajaran Islam itu butuh proses dan pengetahuan yang mendalam. Pengetahuan itu hanya bisa diperoleh dari mengaji, utamanya mengaji secara langsung (face to face) pada seorang kiai. Bukan malahan hanya modal lewat googling di internet. Mengaji itu butuh proses dan waktu yang lumayan panjang.
Proses Pendidikan Mengaji yang Seharusnya
Prosesnya kita contoh saja pendidikan mengaji di pondok-pondok pesantren. Bagaimana mereka para santriwan santriwati proses mengajinya sangat panjang. Tujuannya sudah jelas, ketika mereka sudah keluar dari ponpes, bisa menjadi pendakwah yang profesional dengan ilmu yang kompeten. Jadi ilmunya bukan modal ngambil dari internet dan terjemahan.
Santriwan santriwati mereka belajar mengaji harus melewati beberapa jenjang pendidikan. Mulai dari jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, bahkan Ma’had. Mulai dari Ibtidaiyah, para santri menempuh pendidikan mengajinya dimulai dari dasar. Kurun waktunya bisa sampai 3 tahun, tergantung kebijakan ponpesnya mengenai berapa lama waktu yang harus ditempuh para santri di Ibtidaiyah.
Selesai menempuh pendidikan di Ibtidaiyah, mereka kemudian lanjut ke jenjang berikutnya, yaitu jenjang Tsanawiyah. Jenjang ini mereka belajar mengaji pada umumnya selama kurun waktu 3 tahun. Belajar mengaji di fase ini juga sedikit lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Umum seperti belajar di sekolah formal pada umumnya, yakni lebih tinggi tingkatannya, pembelajarannya juga naik dan lebih sulit.
Berhentikah di Tsanawiyah? Oh tidak, masih ada tingkat pendidikan mengaji selanjutnya. Ada Aliyah, yang santri santriwati di tingkatan ini belajar mengaji selama kurun waktu 3 tahun juga. Di Aliyah, belajar mengaji tingkat kesulitannya juga meningkat, lebih sulit dibandingkan sebelumnya.
Begitulah sepatutnya proses belajar mengaji yang harus para dai tempuh, sehingga besar kemungkinan terhindar dari kekeliruan dalam menyampaikan berdakwah.
Kekeliruan dalam Berdakwah dan Solusinya
Fakta adanya kekeliruan dalam berdakwah saat ini, adalah oleh mereka yang masih mualaf, yang notabenenya baru mengenal Islam seumur biji jagung. Tetapi, terlalu semangat dan pede untuk berdakwah, sampai lupa akan melihat kemampuan yang dimiliki. Ketidakmauan mereka menikmati dan menjalani proses belajar mengaji ilmu agama Islam tahap demi tahap.
Di samping itu, saat ini tidak sedikit yang belajar hanya lewat internet, serta modal tahu terjemahan sudah berani menafsirkan semaunya sendiri. Karena mereka ya tidak berguru ke para kyai langsung face to face, baik ke masjid ataupun ke pondok pesantren.
Fakta di lapangan praktik dakwah saat ini dilakukan oleh orang baru mengenal Islam yang minim pengetahuan agama. Malahan, banyak yang menjadikannya sebagai rujukan belajar. Karena mereka modal menyebarkan dan menjadikan viral melalui media sosial, serta ditambahi dengan penampilan yang kekinian.
Mereka hanya memilih praktisnya saja supaya cepat menjadi pendakwah tanpa melalui prosesnya. Jadi, maka marilah kita belajar suatu ilmu kepada ahlinya, sehingga sumber dan sanad ilmu kita jelas.
Editor: Zahra