Manhaj atau cara guna mengungkap serta mengetahui makna ayat-ayat ilahi terus berkembang dan dikembangkan. Dewasa ini, terbit beberapa metode baru dari barat yang dipakai untuk mengungkap substansi al-Qur’an. Metode-metode tersebut tidak diajarkan dan diterapkan mufassir klasik namun beberapa mufassir kontemporer menerapkannya. Tapi mungkinkah metode semiotika ini dipakai untuk mengkaji makna dalam teks Al-Qur’an?.
Seperti halnya kajian tanda, metode ini bekerja mengungkap maksud dan makna ayat melalui tanda yang terdapat dalam ayat tersebut. Maka, penulis akan fokus membahas bagaimana tanda tersebut mampu mengungkap maksud dari ayat terkait melalui kisah umat terdahulu.
Qasas atau kisah-kisah dalam al-Qur’an selalu menarik perhatian umat Islam. Umat Islam tidak hanya sekadar mengagumi kisah tersebut melalui retorika bahasa selaku kemukjizatanya. Namun, mereka juga dituntut mengetahui makna dan ibrah di balik kisah tersebut.
Di antara makna yang dapat ditangkap dari tanda ialah mitos yang berasal dari makna denotasi dan konotasi. Inilah konsep makna yang dikembangkan oleh salah seorang tokoh semiotika, Roland Barthes. Maka, bukan tidak mungkin jika memahami al-Qur’an bisa menggunakan pendekatan semiotika tersebut.
Memahami Semiotika Roland Barthes
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion berarti tanda. Dalam pandangan lain, disebutkan juga berasal dari kata semeiotikos yang berarti teori tanda. Pemikiran Roland Barthes merupakan hasil dari pengembangan konsep linguistik milik Saussure.
Karakteristik Saussure lebih nampak bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Namun, Roland Barthes melihat tanda sebagai alat komunikasi sebuah ideologi yang memiliki makna konotasi untuk mempertegas nilai dominan dalam masyarakat. Konotasi dimaknai sebagai label yang berisi perangkat tanda yang dapat dibawa dalam kondisi apapun.
Makna dibagi menjadi dua, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif ialah sistem makna primer atau makna pertama. Sedangkan makna konotatif ialah system makna kedua. Roland Barthes dalam hal ini mengemukakan bahwa denotatif merupakan tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi yang tinggi dan tingkat keterbukaan maknanya rendah.
Sedangkan, tanda dibagi menjadi dua, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Keduanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Maka bisa dikatakan bahwa, penanda merupakan elemen bentuknya. Sedangkan petanda menjadi konsepnya. Sehingga, penggabungan penanda dan petanda akan menjadi sebuah tanda.
Contoh Analisis Semiotika Roland Barthes pada Kisah Para Tukang Sihir Fir’aun dan Nabi Musa
Sebagai umat Islam, percaya dan meyakini kisah-kisah tersebut sudah menjadi kewajiban dalam syari’at. Kisah ini diawali dengan sebuah pengakuan sekaligus pemberitahuan mengenai nubuwwah Nabi Musa kepada Fir’aun. Kemudian Fir’aun mengajak seluruh penyihir dalam kota untuk mengalahkan Musa, Para penyihir itu berkata;
قَالُوا۟ یَـٰمُوسَىٰۤ إِمَّاۤ أَن تُلۡقِیَ وَإِمَّاۤ أَن نَّكُونَ نَحۡنُ ٱلۡمُلۡقِینَ
“Mereka (para pesihir) berkata, “Wahai Musa! Engkaukah yang akan melemparkan lebih dahulu, atau kami yang melemparkan?”. Kemudian sengketa ini diakhiri dengan kemenangan Nabi Musa dengan tongkatnya yang berubah menjadi ular dan mengalahkan mereka.
Apabila dianalisis secara bahasa, term (alqaa) memiliki arti melempar atau membuang sesuatu ke bumi. Sama halnya dengan surah al-A’raf: 7 ayat 107 yang memiliki arti “Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya”. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan pemaknaan semiotik atau pemaknaan konotasi agar dapat diketahui mitos atau historis dari ayat tersebut.
Pembentukan makna mitos atau konotasi setidaknya melalui dua cara: Pertama, mencari makna denotasi dari kisah tersebut. Adapun para tukang sihir Fir’aun dalam konteks ini sebagai penanda pertama, dan yang menjadi petanda adalah Fir’aun. Dari kesatuan penanda dan petanda tersebut dapat diungkapkan tandanya yaitu para tukang sihir Fir’aun.
Setelah ditemukan makna tingkat pertama, kemudian dilakukan analisis selanjutnya dengan petanda tingkat kedua. Dalam konteks ini, petandanya ialah Fir’aun. Para tukang sihir Fir’aun memiliki kaitan erat dengan peristiwa bersejarah yang berhubungan Fir’aun. Sehingga, dari penanda dan petanda tingkat kedua tersebut dapat ditemukan makna mitos dari para tukang sihir Fir’aun, yaitu sekumpulan tukang sihir utusan Fir’aun yang diperintahkan untuk mengalahkan Nabi Musa.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an secara tersurat belum tentu dapat digali maknanya secara gamblang. Apabila tidak dilakukan analisa dan penggalian makna secara mendalam, maka pemaknaan yang diambil hanya sekadar para tukang sihir Fir’aun yang dikalahkan oleh nabi Musa tanpa mengetahui latar belakang historis dari peristiwa tersebut.
Padahal, mengetahui latar belakang historis merupakan prasayarat dalam mengungkap makna mitos yang merupakan pemaknaan semiotik tingkat kedua. Apabila tidak dilakukan hal demikian, besar kemungkinan makna sebagian seperti yang ditemukan di dalam kamus kerap dijadikan makna terakhir sebuah teks.
Jadi, melibatkan unsur-unsur yang menyertai sebuah teks, dalam hal ini adalah kisah al-Qur’an merupakan cara terbaik dalam menggali makna di balik pesan-pesan Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dapat digali dan diungkap makna yang terkandung di dalamnya melalui sekian metode, baik metode klasik maupun modern. Metode yang digunakan dewasa ini akan selalu dikembangkan guna menandingi kebutuhan zaman yang terus berkembang seperti metode semiotika Roland Barthes. Wallahu a’lam.
Editor: Soleh