Berpikir merupakan suatu kegiatan yang krusial dan eksistensial, karena menyangkut keberadaan kita sebagai manusia. Pada kesempaan kali ini Ngaji Filsafat yang dipandu Fahrudin Faiz setiap Rabu malam di Masjid Jendral Sudirman membahas bagaimana cara berpikir serius, karena berpikir merupakan pondasi utama filsafat. Parameter berpikir kritis menurut Fahrudin Faiz, “Kita sadar apakah kita sudah tahu atau belum tahu, ini menjadi tema kunci filsafat yaitu berpikir dengan serius atau biasa kita sebut dengan berpikir kritis.”
Berpikir secara kritis itu sendiri bukan hanya melulu berpikir untuk mengkritik, mendebat atau mencari kesalahan orang lain, tetapi ia merupakan suatu kegiatan di mana berpikir dengan jelas, tepat, sesuai tujuan, dan tertib ada dasar argumen sehingga tidak ngawur. Maka dari itu kita harus mempelajari alat bantu untuk berpikir secara kritis dengan logika dan ilmu mantik. Di mulai dari sekarang membahas tentang kerangka berpikir.
Berangkat dari quotes yang dipaparkan Fahrudin dari seorang tokoh besar yaitu Thomas A. Edison, ”Five percent of the people think; ten percent of the people think they think; and the other eigthy-five percent would rather die than think.” Hal ini menyindir kita, bahwasanya hanya ada sedikit orang yang benar-benar berpikir, selebihnya ia hanya merasa berpikir, dan parahnya lagi sebagian besar memilih mati daripada berpikir.
Sikap Manusia terhadap Pengetauhannya
Dari sinilah tercipta dua hubungan manusia dengan pengetauhan; Manusia yang paling berbahaya ialah mereka yang tidak tahu tapi merasa sudah mengetauhi dan paham akan suatu ilmu. Inilah manusia yang akan mandeg (stagnan) ia tidak akan lagi berkembang karena sudah merasa cukup. Satu lagi manusia yang aman, ia tidak tahu dan menyadari ketidaktauhannya. Selaras dengan ucapan Socrates, “Kebijaksanaan pada kesadaran aku ini tidak tahu.” Karena dengan situasi ini kita akan bergegas untuk memuaskan hasrat ketidaktahuan kita dengan terus belajar.
Lagi-lagi Fahrudin juga menyitir pendapat tokoh, kali ini dari dunia Islam yaitu Imam Al-Ghazali, “Ulama itu ialah orang yang masih semangat untuk terus belajar.” Jika ia sudah merasa cukup dengan ilmunya ia tidak pantas disebut ulama. Ulama yang paham agama saja masih punya kewajiban untuk terus belajar dan berpikir apalagi kita, mahasiswa?
Sebelum melangkah lebih jauh, mengapa kita perlu berpikir kritis? Fahrudin Faiz menjelaskan, “Berpikir dengan serius itu tidak sesederhana yang kita kira, bisa sambil lalu saja. Saat menghadapi suatu permasalahan dalam hidup kita butuh yang namanya perenungan, perlu adanya tahapan, dan proses.” Para ulama juga menyarankan kita untuk mempelajari ilmu bantu untuk berpikir yaitu dengan ilmu mantik/ilmu logika. Jika kita tidak mempelajari ilmu ini dengan benar penyimpulan kita akan salah.
Alasan Berpikir dengan Kritis
Fahrudin memaparkan secara gamblang dari tahapan sebelum berpikir kritis apa saja yang perlu diperhatikan, saat berlangsung berpikir kritis, dan juga setelah berpikir kritis. Sebenarnya, alasan apa yang mengharuskan kita untuk berpikir kritis?
Menurut Fahrudin alasanya berpikir kritis ialah; Pertama, eksistensial. Di mana manusia salah satu pencirinya ialah dikaruniai pikiran, inilah yang menjadi pembeda dengan makhluk lainnya. Kedua, fitrah manusia ialah kebenaran, saat terjadi kesalahan ia akan gelisah. Maka dari itu, untuk mencapai kebenaran kadang ia terjebak pada kekhilafan, untuk membantunya meminimalisir kekeliruan harus bisa berpikir kritis. Ketiga, manusia secara pragmatis membutuhkan kemampuan berpikir kritis di segala lini bidang pekerjaan. Keempat, kemampuan beradaptasi karena bagaimana pun kehidupan ini sangatlah dinamis. Kelima, sebagai kemampuan untuk berefleksi merenungi hidup untuk pengembangan diri agar hidup senantiasa lebih baik lagi.
Tujuan Berpikir Kritis bagi Mahasiswa
Pembeda seseorang dikatakan pemikir kritis atau tidak bisa dilihat dari sejauh mana kemampuannya mengelola data dan informasi yang ia dapat. Berpikir secara kritis tidak hanya sekedar menghafal dan mengumpulkan informasi. Seseorang yang memiliki daya ingat yang kuat dan pengetauhan yang luas tidak serta merta pemikirannya kritis. Ciri seorang dikatakan berpikir dengan kritis menurut Fahrudin Faiz, ialah; Pertama, seorang pemikir kritis ia mampu memilah informasi relevan atau tidaknya dengan situasi yang ia hadapi. Tidak relevan bukan berarti keliru, hanya saja suatu teori itu tidak pas pada situasi dan kondisi saat ini.
Kedua, ia mampu memanfaatkan informasi, data, dan pengetauhan yang ia dapatkan untuk pemecahan masalah dalam setiap lini kehidupan atau biasa kita sebut sebagai problem solving. Jadi ilmu yang ia miliki tidak hanya sekedar memenuhi isi kepalanya tetapi dapat dikontekstualisasikan dengan kehidupan. Ketiga, ia mampu menarik kesimpulan dari setiap peristiwa yang ada sehingga tercipta teori baru.
Secara tidak langsung Fahrudin menyindir mahasiswa yang sewaktu diskusi hanya memaparkan teori-teori secara fasih, sebenarnya tidak ada salahnya dengan menghafal teori. Namun, itu masih setengah dari perjalanan berpikir kritis. Jadi seharusnya teori-teori ataupun informasi yang kita dapat bisa difilter setelah itu diadu dengan gagasan kita, dan jadilah ide yang bisa menjadi pemecah masalah yang relevan bagi kehidupan.
Fahrudin Faiz juga mewanti-wanti setelah kita menemukan kebenaran dari hasil berpikir kritis, ada dua langkah yang harus kita perhatikan setelahnya. Pertama toleransi, sudah menjadi hal wajar jika kebenaran menurut kita belum tentu sama menurut orang lain. Maka dari itu, hal yang wajib kita lakukan yaitu menghargai kebenaran orang lain, namun juga tetap teguh pada kebenaran menurut kita.
Kedua, yaitu sikap tentavity artinya kebenaran yang kita temukan ini sesuai dengan batasan kita. Jadi, kita tidak akan merasa memutlakan kebenaran kita sendiri dan tetap terbuka dengan kebenaran dan gagasan yang berlainan.
Reporter: RF Wuland