Akhlak

Seni Dialog Orang Tua dan Anak ala Ibrahim

4 Mins read

Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tak jarang dibutuhkan uswatun hasanah dari keluarga lain yang perlu ditiru. Dari rangkain untaian ayat Al-Qur’an, terdapat kisah Nabi Ibrahim as yang menawarkan uswatun hasanah dalam berkeluarga. Meskipun Nabi Ibrahim as hidup lebih dari dua ribu tahun yang lalu, tidak ada salahnya dijadikan guru dalam berkeluarga di era modern ini.

Seorang bijak pernah mengatakan, hendaknya kita tidak hanya berguru kepada yang masih hidup. Kita perlu juga berguru kepada para leluhur kita yang telah wafat. Para pendahulu yang memiliki keistimewan patut dijadikan guru. Lantas bagaimana cara berguru kepada yang telah tiada?

Tidak sedikit yang berpesan dan menguraikan, caranya dengan meneladani apa yang ditinggalkan. Bisa dengan membaca buku peninggalannya, atau dengan mengikuti laku hidupnya yang diriwayatkan turun temurun. Lebih lanjut diuraikan, para pendahulu itu, terkadang memiliki kedalaman ilmu yang mungkin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang masih hidup.

Nabi Ibrahim memenuhi kriteria di atas. Itulah sebabnya kisah hidupnya diabadikan dalam Al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam. Dalam Al-Qur’an, termuat kisah teladan Nabi Ibrahim as saat berkedudukan sebagai anak yang baik, dan juga bagaimana menjadi orang tua yang bijak.

Ibrahim Mengajak Ayahnya Menyembah Allah

Kisah pertama adalah upaya Ibrahim mengajak Azaar, ayahnya, untuk menyembah Allah Swt. QS. al-An’am (6): 74 menyebutkan, “… dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar, “pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”

Sebagaimana termaktub dalam beragam buku kisah-kisah nabi, Azaar, ayah Ibrahim, adalah penyembah berhala, sama dengan penduduk lain pada saat itu. Dia juga pemahat (pembuat) dan pedagang patung-patung. Orang-orang pada saat itu membeli patung hasil pahatan Aazar.

Baca Juga  Akal dan Hati adalah Kunci Ibrahim Menemukan Tuhan

Sebagai anak yang baik, Ibrahim merasa berkewajiban untuk menunjukkan jalan kebenaran kepada orang terdekatnya. Yaitu Azaar, ayahnya. Dengan nada yang baik, lembut, dan sopan, Ibrahim menyampaikan kepada ayahnya bahwa patung berhala itu tidak layak disembah. Patung itu tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak, dan tidak memiliki suatu daya apapun. Hanya Allah Swt yang pantas disembah. Dia yang Maha segala-galanya. Tiada sekutu bagi-Nya.

Namun apa daya Ibrahim, Azaar tidak mau mengikuti ajakan atau dakwah Ibrahim. Azaar masih menyembah berhala dan menentang ajakan Ibrahim untuk menyembah Allah. Sebagai seorang anak, tentu Ibrahim merasa sakit sekali hatinya. Karena orang terdekatnya tidak mau mengikuti dakwahnya.

Namun Ibrahim juga paham, hanya Allah yang berhak memberikan hidayah kepada manusia agar mau beriman kepada Allah Swt. Ibrahim sebagai rasul dan manusia biasa, hanya berupaya menjalankan kewajiban berdakwah. Dan tidak memiliki hak memaksa kepada orang lain, termasuk ayahnya, untuk mengikuti ajarannya.

Gagal membujuk ayahnya, Ibrahim tidak patah arang. Ibrahim tetap bersemangat berdakwah kepada kaumnya saat itu untuk menyembah Allah Swt.

Ibrahim dan Keteladanannya Sebagai Orang Tua

Kisah kedua berkenaan dengan Ibrahim adalah kisah yang cukup populer. Berkaitan dengan ibadah kurban yang dilaksanakan pada lebaran idul adha. Al-Qur’an mengisahkan itu dalam QS as-Shaffat : 99-113.

Kisah itu dimulai dengan mimpi Ibrahim, dalam mimpi itu Ibrahim diperintah Allah Swt untuk menyembelih putranya Ismail. Bagi seorang nabi, mimpi merupakan salah satu perantara penyampaian wahyu dari Allah Swt, yang berarti perintah untuk dilaksanakan.

Lantas Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada Ismail. Menariknya, Ibrahim tidak egois untuk segera melaksanakan wahyu yang didapatnya begitu saja. Ibrahim mendiskusikan dulu kepada Ismail.

Baca Juga  Hijrah Nabi Ibrahim: Dari Politeisme Menuju Monoteisme

Sehingga Ibrahim menanyakan lebih dulu bagaimana pendapat Ismail terhadap mimpi itu. Ismail yang juga nabiyullah, dengan tegas menjawab pertanyaan ayahnya, agar melaksakan titah Allah yang disampaikan dalam mimpi itu. Ismail dengan tegar mengatakan dirinya akan bersabar menghadapinya.

Akhirnya Ibrahim dengan mantap melaksakan perintah menyembelih puteranya. Ibrahim mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk penyembelihan. Dan tatkala Ibrahim bersiap menyembelih Ismail, datanglah firman Allah yang menyebutkan, Ismail diganti dengan sembelihan yang besar. Sembelihan yang besar oleh mufassir dimaknai dengan domba atau kambing.

Kisah Ibrahim di atas, memberi inspirasi dalam dua sisi. Sisi bagaimana bersikap sebagai seorang anak dan sisi bagaimana bersikap seorang orang itu. Pertama, sisi sebagai seorang anak, Ibrahim mengajarkan kita untuk menjadi anak yang bertanggung jawab. Tanggung jawab itu, dalam kisah Ibrahim, berkenaan dengan bagaimana meluruskan orang tuanya sendiri yang tidak benar keimanannya.

Meluruskan sesuatu yang tidak benar kepada orang tuanya sendiri bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak sedikit ada anak yang mau dan berani mengoreksi orang tuanya. Ketika ada kemauan, kadang muncul ketakutan, takut dicap sebagai anak durhaka oleh si orang tua, misalnya. Namun itu dilakukan Ibrahim. Dan Ibrahim melakukannya dengan cara yang lembut dan sopan. Meskipun hasilnya nihil atau gagal.

***

Merupakan pekerjaan rumah yang luar biasa bagi orang tua, untuk mampu mendidik anaknya menjadi orang yang bertanggung jawab. Hingga sampai si anak berani balik mengoreksi orang tuanya dengan cara yang santun.

Ini juga pelajaran bagi orang tua, agar dengan cermat mendengarkan apa yang disampaikan anaknya. Bukan mustahil, seiring berjalannya waktu, apa yang dikatakan anak mengandung kebenaran yang perlu diikuti orang tua.

Baca Juga  Politik Moral, Korupsi, dan Etika Pancasila

Kedua, sisi sebagai orang tua. Poin utama dalam kisah di atas adalah bagaimana upaya dialog yang dilakukan Ibrahim kepada Ismail. Ibrahim tidak bersikap otoriter untuk langsung mengeksekusi Ismail. Ibrahim dengan bijak menyampaikan wahyu Allah yang diterima melalui mimpi kepada Ismail, dan meminta pendapatnya. Dan Ismail menunjukkan pribadi anak yang sangat baik. Dengan penuh kemantapan, Ismail mengiyakan titah yang diterima sang ayah. Dan meyakinkan ayahnya, Ibrahim, bahwa dirinya sabar menerima itu.

Kita sering membaca dan mendengar berita adanya orang tua yang sangat otoriter terhadap anaknya. Dan sebaliknya ada anak yang membangkang terhadap orang tua. Sikap yang demikian tidak akan terjadi manakala ada dialog dan komunikasi yang baik diantara orang tua dan anak.

Dialog dan komunikasi yang baik perlu dibangun terhadap seluruh anggota keluarga. Karena tanpa disadari, dialog dan komunikasi ini merupakan media pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan anak. Apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan anak, akan membekas terhadap dirinya. Jadi bagi orang tua, jagalah dialog dan komunikasi sebaik mungkin terhadap anak.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Saat ini mengabdi sebagai dosen Hukum Islam di UIN Walisongo. beberapa tulisannya pernah dimuat di harian Suara Merdeka, Koran Wawasan, Media Indonesia.
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds