Falsafah

Seni Mencintai ala Kahlil Gibran

4 Mins read

Cinta menjadi kata yang digandrungi oleh banyak orang. Pendek, tapi memiliki makna melebihi luasnya daratan dan lautan. Siapa sangka, Majnun seorang anak dari suku ternama, rela menjadi gila hanya karena cintanya pada Layla tidak disatukan. Atau perempuan Mesir yang tanpa sadar mengiris jarinya hanya karena jatuh hati dengan pesona Nabi Yusuf. Belum lagi kisah cinta ilahi dari Rabiah Al-Adawiyah yang emoh surga jika cinta kepada-Nya berpamrih dan juga bersedia dimasukkan neraka jika cintanya hanya dilandasi rasa takut.

Persoalan Mencintai Dicintai

Cerita-cerita kondang di atas menjadi prototipe bahwa siapa pun jika sudah bergelut dengan cinta, dirinya akan lenyap dengan sendirinya. Piersis ketika kita memiliki kekasih, apa pun yang akan kita beli dan pakai, referensi utama bagus-tidak bagus adalah dari kacamata kekasih. Jika kekasih dengan lugas bilang jaket itu jelek, secepat kilat, jaket yang kita pakai diganti dengan yang lebih bagus demi membuat dirinya tidak kecewa.

Dalam konteks sejarah, persoalan cinta ini sudah diperbincangkan sejak zaman Yunani kuno. Ada banyak term yang digunakan dengan didasarkan pada objek yang dicintainya. Seperti philia untuk cinta kepada semua orang atau semua hal, eros untuk cinta yang lebih bersifat jasmaniah, dan agape untuk cinta dalam hubungannya dengan ketuhanan.

Sampai hari ini, term-term itu masih digunakan oleh banyak pujangga, penyair, filosof, dan sufi yang kemudian dikembangkan menjadi rumusan-rumusan cinta. Rumusan ini banyak dirujuk oleh orang-orang yang datang belakangan, baik dalam rangka penelitian maupun saat mengejawantahkan cintanya kepada liyan. Cinta dimulai dari begini, kemudian naik tahapan sampai bisa dikatakan sejati, atau cintailah dirimu sendiri sebelum mencintai apa dan siapa yang ada di sekitarmu, serta seabrek rumusan-rumusan cinta lainnya.

Baca Juga  Jacques Derrida: Teori Dekonstruksi, Agama, dan Sains

Biografi Kahlil Gibran                                  

Dan salah satu nama yang kerap dirujuk ketika membahas cinta adalah Kahlil Gibran. Penyair, pujangga, dan filosof kelahiran Kota Besahri, sebuah kota yang terletak di punggung Libanon pada 6 Januari 1883 ini memiliki ragam karya yang membahas cinta dari berbagai sisi. Karya-karyanya mengilhami banyak orang. Maka tak ayal jika di sembarang tempat, bahkan di barat sekalipun, nama Kahlil Gibran cukup akrab dikenal.

Kahlil Gibran lahir dari keluarga yang menganut agama Kristen dari sekte manorit, dengan ayahnya bernama Khalil Jubran dan ibunya Kamila Rahme, seorang putri dari pendeta sekte manorit. Sekte yang memiliki pandangan moderat. Oleh karena itu, prosesi pernikahan, mengenyam pendidikan, dan gaya hidupnya cenderung tidak menghindari kenikmatan duniawi.

Nama Gibran mulai melejit ketika keluarganya pindah ke Amerika pada 25 Juni 1895. Di sana ia dikenal sebagai murid yang memiliki keahlian menggambar. Berkat keahliannya ini, Gibran bertemu dengan Fred Holland Day, seorang seniman terkenal di Boston.

Laku pencarian ilmu Gibran terbilang cukup panjang. Ia berulang kali harus pindah dari Amerika ke Libanon, ke Amerika lagi, kemudian ke Paris, Perancis untuk menempa dirinya menjadi penyair.

Perjalanan Cinta Khalil Gibran

Sedangkan pengalaman cintanya juga tidak kalah panjang. Ia kerap ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi, termasuk adik dan gurunya. Kendati demikian, ada tiga nama yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan Gibran, baik intelektual maupun produktifitasnya menghasilkan karya-karya.

Pertama, Mary Elizabeth Haskell, seorang seniman sekaligus pendidik. Ia banyak mendorong kemajuan Gibran, termasuk mengirim dan membiayai Gibran sekolah ke Paris. Banyak karya-karya Gibran di halaman persembahan selalu mencantumkan nama singkatan Mary Elizabeth Haskell (M.E.H). Hanya saja, hubungan Gibran dengan Mary harus pupus. Mary memutuskan menikah dengan sahabat Gibran. Sejak itu, Gibran menghabiskan hari-harinya berteman sunyi dan sepi.

Baca Juga  Antropologi Islam: Pendekatan Talal Asad (Bagian 1)

Kedua, Amin Ghuraib, pemilik majalah Al-Muhajir. Gibran dipercaya untuk mengelola majalah itu. Ia juga diberi kolom khusus untuk menyampaikan gagasannya dalam bentuk puisi maupun prosa.

Ketiga, May Ziadah, seorang sastrawan dan kritikus dari Mesir. Perkenalan mereka dimulai ketika May mengkritik buku Gibran yang bertajuk Al-Ajnihah al-Mutakassirah. Sejak saat itu, keduanya kerap berkirim surat dan menjalin hubungan asmara dalam tempo yang cukup lama, sekitar tahun 1912 sampai 1931. Namun sayang, May harus wafat karena penyakit jantung dan liver.

Karakter Cinta Kahlil Gibran

Fahruddin Faiz di bukunya Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran mengkaji dan menemukan setidaknya ada empat karakter cinta yang bisa ditemui di banyak karya Kahlil Gibran.

Pertama, kebebasan. Menurut Gibran, cinta bisa tumbuh dan berkembang bukan karena adanya paksaan. Bahwa cinta tiap orang bisa terpengaruh oleh faktor-faktor lain di luar dirinya, bisa jadi iya. Namun kebebasan untuk mengalamatkan cintanya kepada siapa tidak boleh dialpakan, apalagi diintervensi.

Kedua, keindahan. Cinta kerap dicirikan dengan indah. Tapi perlu digaris bawahi, bahwa perjalanan cinta yang indah tidak selalu bersih dari duka lara. Contoh paling sederhana adalah saat suami dicubit oleh istrinya. Dicubit itu sakit, tapi karena yang melakukan istrinya sendiri, rasa sakit bisa berubah menjadi indah. Bahkan kalau tidak dicubit, rasanya hari itu ada yang kurang. Simak pernyataan di buku itu, “Keindahan membuat segala derita dan sakit dalam cinta tiada terasa, bahkan menyenangkan.”

Ketiga, ketulusan. Bagian ini menjadi laku paling sulit yang harus ditunaikan oleh pecinta maupun yang dicintai. Karena banyak cinta yang beredar di sekeliling kita mungkin terlihat tulus, tapi sebenarnya tidak. Bisa jadi ketika anda menjemput pacar saat hujan lebat, dikemudian hari mengungkit masalah itu dan menuntut ia untuk melakukan diet. Akibatnya relasi cinta menjadi semacam kalkulasi, saya melakukan apa, kamu pun juga harus melakukan sesuatu meski tidak sama tapi memiliki nilai yang seimbang. Cinta tidak bisa seperti itu, cinta harus memuat ketulusan pada siapa pun, kapan pun, dan dimana pun.

Baca Juga  Mencintai Pasangan: Sebelum atau Sesudah Menikah?
***

Keempat, penyucian. Menurut Gibran, seorang pecinta merupakan manusia yang melakoni hidup di jalan kebenaran. Sebab cinta dengan sendirinya dapat membersihkan hati manusia dari sifat-sifat yang buruk. Dalam bukunya The Prophet, Gibran mengatakan: Syukuri hari barumu dengan penuh cahaya harapan / Tafakur di siang terik dan renungkan pucuk-pucuk getaran cinta / Pulanglah di kala senja dengan syukur memenuhi rongga dada / Dan tidurlah di malam hari dengan doa tuk kekasih dalam sanubari / dan basahi lidahmu dengan pujian ke hadirat-Nya.

Keempat karakter ini selalu bisa ditemukan pada tiap-tiap cinta yang kita dharmakan. Bisa jadi hanya satu karakter, misalnya keindahan saja, karena cinta yang kita semai hanya berorientasi visual semata. Bisa jadi dua, tiga, atau malah keempat karakter cinta ada pada laku kita sebagai pecinta.

Kalau satu pun karakter di atas belum ada pada relasi cinta kita, sedikit-sedikit mulai diadakan. Ya biar cinta kita tidak melulu bucin, posting foto mesra di media sosial, dan pamer kerinduan yang ujung-ujungnya putus, patah hati, lalu menutup diri.

Editor: Wulan

Avatar
10 posts

About author
Alumnus Magister Studi Agama-agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sering ngopi di Tulungagung
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds