Perspektif

Serat Darmogandul: Rahasia Tanpa Pijakan

10 Mins read

Sekilas Serat Darmogandul

Serat Darmogandul adalah salah satu karya Jawa baru yang kontroversial. Bersama Suluk Gatoloco dan Babad Kadhiri, Serat Darmogandul dipandang sebagai karya anti Islam.  Kebetulan ketiganya muncul dari wilayah Kediri, pada peralihan abad ke-20.

Wisnu, Alrianingrum dan Artono (2017) mencatat bahwa Serat Darmogandul diterbitkan oleh penerbit Tan Khoen Swie tahun 1922, namun penulisannya diduga tahun 1908 Masehi. Mereka melihat kesamaan Serat Darmogandul dengan Babad Kadhiri sehingga menduga bahwa Serat Darmogandul adalah plagiasi atas Babad Kadhiri.

Sebaliknya, dalam catatan belakang Babad Kadhiri, Mangunwijaya berpendapat bahwa Babad Kadhiri bersama dengan Serat Kalamwadi (Darmogandul) adalah cerita pedhalangan yang berakar kepada karya-karya semacam Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi dan Babad Demak.

Babad Kadhiri ditulis Mas Ngabehi Purbawijaya (Jaksa Agung Kota Kediri) dan diselesaian oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri. Cetakan kedua Babad Kediri dicetak oleh Tan Khoen Swie pada tahun 1932.

Sementara itu, Serat Darmogandul tidak jelas siapa penulisnya. Bagian awal Serat Darmogandul memang mirip bagian awal Babad Tanah Jawi atau Pustaka Raja. Bagian pertemuan antara Sunan Bonang dan Butha Locaya serta bagian bedhah (runtuhnya) Majapahit menunjukkan kesamaan dengan bagian akhir Babad Kedhiri. Percakapan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon menunjukkan kesamaan dengan Ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong, namun percakapan teologis dan tentang agama berbeda.

Ada pun percakapan antara Istri Sunan Ampel dengan Raden Patah sangat mungkin adalah kreasi penulis Serat Darmogandul. Penulis Darmogandul tampak cukup familier dengan karya-karya Jawa, yang tampak pada acuannya di dalam narasi kepada Serat Ambiya dan Serat Manik Maya.

Serat Darmogandul yang menjadi acuan tulisan ini adalah Darmogandul terbitan Tan Khoen Swie Kediri tahun 1957. Di halaman sampul diterangkan bahwa Darmogandul menceritakan ringkasan sejarah jatuhnya Kraton Majapahit, dengan perbandingan Serat Walisana.

***

Versi berbahasa Indonesia diterjemahkan oleh Purwadi dengan judul: Ramalan Gaib Sabdo Palon dan Naya Genggong. Versi ini langsung dimulai dengan pertanyaan Darmogandul  kepada Kyai Kalamwadi tentang bagaimana orang Jawa berubah menjadi muslim. Bagian awal tentang asal usul raja dan berbagai keyakinan tidak dimasukkan dalam versi terjemahnya.

Sementara itu, Damar Sashangka, seorang penulis tentang kebatinan Jawa, membuat terjemahan dan ulasan atas Serat Darmogandul berdasarkan Babon (Induk) peninggalan K.RT. Tandhsnegara Surkarta dengan penjelasan bahwa serat tersebut berisi kisah mengenai berdirinya Kerajaan Islam Demak, runtuhnya Majapahit dan awal mula orang Buda (sebutan bagi pemeluk agama India pra-Islam di Jawa) masuk Islam.

Keberadaan naskah Darmogandul di lingkaran priyayi bukan hal aneh. Ricklefs menyebut bahwa Serat tersebut diajarkan di sekolah-sekolah priyayi di Probolinggo, Magelang dan Bandung pada tahun 1879-1880.

Isi Serat Darmogandul

Serat Darmogandul berisi percakapan Ki Kalamwadi dan Ki Darmogandul. Ki Kalamwadi bercerita berdasarkan tuturan gurunya, yaitu Raden Budi Sukardi. Tuturan itu disebut tanpa ada sumber tertulis yang menjadi dasar.

Serat Darmogandul versi terjemah mulai dengan pertanyaan mengapa orang Jawa berubah agama menjadi pemeluk Islam. Bagian ini mirip dengan bagian akhir Babad Kadhiri.

Kisah dimulai dengan perjalan Sunan Bonang dan muridnya untuk mengunjungi Kediri. Di Kertosono, sudah tiba waktu shalat ashar dan juga mereka haus. Sungai kebetulan banjir sehingga airnya kotor.

Sunan Bonang menyuruh muridnya untuk meminta air bersih pada warga. Si murid bertemu seorang gadis dan minta simpanan air bersih. Si gadis mengira si santri menggodanya dan menjawab kasar bahwa air simpanan yang ada air kencing.

Mendengar laporan muridnya Sunan Bonang marah sehingga memindahkan aliran sungai dan mengutuk remaja desa setempat akan sulit menikah. Pemindahan sungai oleh Sunan Bonang ini didengar ratu makhluk halus, Nyai Plencing.

Nyai Plencing ingin mengingatkan Sunan Bonang, tetapi tidak kuat karena merasa panas. Akhirnya ia meminta bantuan Butha Locaya, makhluk halus mantan patih Raja Jayabaya.

Butha Locaya mengingatkan kutukan Sunan Bonang yang berlebihan. Sunan Bonang tidak peduli dan melanjutkan perjalanan. Ia bertemu patung kuda yang kemudian ia hancurkan dan bertemu patung lain yang ia potong kepalanya.

Konon, patung Totok Kerot di dekat Pagu Menang tangannya patah karena perbuatan Sunan Bonang, meski menurut versi masyarakat patahnya tangan Totok Kerot karena usaha pemindahan masa modern ini.

Butha Locaya marah. Ia mengingatkan agar Sunan Bonang menjaga perilakunya dan tidak merusak. Masyarakat Jawa – meski lebih banyak penganut agama Kalang dibandingkan agama India – adalah penganut Agama Budi yang memperhatikan sopan santun. Ia menuduh ulama-ulama bangsa Arab suka mengambil air tanah Jawa dan menyuruh Sunan Bonang pun pergi.

Baca Juga  Reformasi Pendidikan Berteraskan Tauhid

***

Berita kejadian di Kertasana didengar Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan mencari Sunan Bonang tapi tidak ketemu sehingga memerintahkan pengusiran orang Arab kecuali di Demak dan Ampel. Daerah Giri yang tiga tahun tidak mau menghadap dicurigai hendak memberontak juga sehingga diserang tentara Majalengka/ Majapahit sehingga Giri kalah, meskipun sudah dibantu para pendekar Tionghoa.

Sunan Bonang, yang merasa bersalah, bersama Sunan Giri menghadap ke Demak. Sunan Bonang menyampaikan penglihatan gaibnya bahwa Majapahit sudah waktunya hancur. Awalnya Raden Patah keberatan untuk melawan ayahnya.

Namun, atas bujukan Sunan Bonang dan Sunan Giri, Adipati Demak itu bersedia menyerang Majapahit. Ia menyurati Adipati Terung, saudaranya yang menjadi panglima di Majapahit untuk membantunya. Adipati Terung setuju. 

Prabu Brawijaya terkejut mendengar laporan bahwa anaknya bersama para Sunan dan Bupati Pantura menyerang Majapahit. Ia menyesal telah terpikat bujukan Ratu Campa dan mengijinkan para ulama menyebarkan Islam dan mengutuk mereka.

Prabu Brawijaya memilih untuk meninggalkan kraton dan memerintahkan untuk menghadapi pasukan Demak sekedarnya. Konon hanya 3000 pasukan Majapahit yang menghadapi 30.000 pasukan Demak. Hanya Patih Nayaka dan Lembu Pangarsa (anak Brawijaya) yang mempertahankan kraton, berhadapan dengan Sunan Kudus, Sunan Ngudung, dan Patih Demak.

Alkisah setelah tewasnya patih Majapahit, para Sunan masuk dan menjarah istana. Putri Cempa dipindahkan ke Bonang. Adipati Terung membakar buku-buku Budha. Orang-orang Majapahit yang tidak mau takluk mengungsi ke gunung.

Setelah tiga hari, Sultan Demak menghadap ke Ampel bersama para Sunan dan Bupati untuk minta restu. Ia bertemu isteri Sunan Ampel, yang masih putri Bupati Tuban.

Raden Patah dimarahi habis-habisan atas perilaku tidak terpujinya, sebagai anak yang tidak tahu balas budi. Raden Patah menyesal tapi semua sudah terjadi. Raden Patah diminta untuk mencari ayahnya, Prabu Brawijaya.

***

Pangeran Jimbun menghadap Sunan Bonang. Sunan Bonang memintanya untuk tidak memikirkan perkataan Nyai Ampel dan sebaiknya menyelesaikan penaklukan Majapahit. Pangeran Jimbun disarankan untuk meminta ampun jika Raja Brawijaya pulang, tapi jangan sampai Raja bertahta lagi. Nasehat Sunan Bonang didukung Sunan Giri.

Sunan Kalijaga yang diutus menemui Raja. Ia menemukan Raja di Blambangan, bersama abdinya Sabdo Palon dan Naya Genggong. Sunan Kalijaga mencegah niat Raja untuk menyeberang ke Bali dan memobilisasi kekuatan. Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa peperangan lanjutan akan mengakibatkan korban rakyat dan keturunan Raja sendiri. Raja bahkan bersedia masuk Islam. 

Setelah masuk Islam, Sabdo Palon dan Naya Genggong menolak ikut Raja kembali ke Majapahit. Sabdo Palon menegur tindakan Raja yang meninggalkan agama Budi. Setelah berdebat dengan Raja, Sabdo Palon meninggalkan Raja.

Raja kembali ke Majapahit dan ditemui anaknya dari Tarub, Bondan Kejawan. Ia melarang putranya di Ponorogo dan Pengging untuk melawan. Pangeran Jimbun diperkenankan menjadi penguasa hanya berhenti sampai keturunan ketiga. Setelah itu Raja Brawijaya meninggal. 

Serat Darmogandul ditutup dengan ringkasan peristiwa jatuhnya Majapahit yang disamarkan dalam pasemon (kisah ibarat) saja. Di antara ibarat iru adalah bahwa keris Sunan Giri mengeluarkan ribuan tawon yang menyerang tentara Majapahit dan mahkota Sunan Gunung Jati mengeluarkan tikus yang menggerogoti pelana kuda pasukan Majapahit. Sementara itu, peti dari Palembang membuat orang Majapahit geger karena mengeluarkan makhluk halus. Setelah menyinggung agama Srani/ Nasrani dan kitab Manik Maya, Serat Darmogandul ditutup dengan nasehat kepada Endang Perjiwati.

Serat Darmogandul dalam Tinjauan Akademis

Beberapa waktu lalu, ada video beredar di WA yang berisi seorang gadis bercerita tentang peristiwa jatuhnya Majapahit. Ia menggambarkan jatuhnya Majapahit sebagai peristiwa duka, saat 3000 orang Majapahit harus menghadapi 30.000 orang Demak. Singkat kata Sultan Demak, Pangeran Jimbun menjadi sosok antagonis.

Sumber cerita itu bisa ditebak dari Serat Darmogandul. Serat Darmogandul mampu memantik emosi tentang  kejatuhan Majapahit dan derita Raja Brawijaya yang sudah sepuh, terusir dari istana karena ulah anaknya.

Secara umum, Majapahit memang jatuh di tangan Demak. Hal demikian wajar dalam dunia kerajaan, di mana satu kerajaan jatuh digantikan lainnya. Seperti Kerajaan Kediri jatuh di tangan Singosari, Singosari dikalahkan Kediri lagi. Akhirnya kerajaan Kediri dikalahkan Majapahit.

Baca Juga  Kalah Saing, Bagaimana Literasi Generasi Muda Saat Ini?

Pertikaian yang melibatkan Kediri versus Singasari dan kemudian melahirkan Majapahit, menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Arok-Dedes, tidak lepas dari dukungan tokoh agama yang beda aliran, antara pemuja Siwa dan pemuja Wisnu.

Majapahit sendiri besar karena menyerang dan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain yang kemudian penaklukkan itu dipuji sebagai upaya mempersatukan Nusantara.

Kerajaan Demak pun eksis setelah Majapahit runtuh, meski orang berbeda pendapat apakah runtuhnya Majapahit karena serangan Demak atau karena pertikaian internal Majapahit yang diakhiri oleh Demak dengan mengalahkan sisa kekuasaan Majapahit di Kediri (Lihat Guillot dan Kalus, 2008).

Berdirinya Demak dan runtuhnya Majapahit tidak terjadi dalam proses singkat. Demak sudah eksis pada tahun 1478, namun sisa  Majapahit di Kediri dikalahkan Demak tahun 1527 Masehi.

Slamet Muljana menyebut bahwa Raja Majapahit terakhir, Prabu Kertabhumi yang berkuasa tahun 1474-1478. Raja ini dikalahkan Demak lalu ditawan dengan hormat di Demak. Kota Majapahit tidak dihancurkan tapi diperintah oleh orang Tionghoa Noo Lay Wa sampai tahun 1486 dan digantikan oleh Girindrawardhana, menantu Kertabhumi, yang berkuasa di Majapahit, Dhaha dan Jenggala. Namun Girindrawardhana kemudian membuat persekutuan dengan Portugis dan Tiongkok sehingga diserang Demak hingga Majapahit runtuh tahun 1527 Masehi.

***

Namun, Tome Pires dalam kunjungannya ke Tuban tahun 1513 bertemu dengan pejabat Tuban dan mendengar kisah kehebatan Patih Majapahit dengan 200 ribu tentara. Informasi tersebut menyangkut beberapa kali konflik bersenjata antara Majapahit dengan penguasa-penguasa muslim di Pantura tanpa spesifik menyebut Demak. Pada tahun 1513, pasukan Majapahit masih mampu mengalahkan Juwana, sebagai salah satu kekuatan lokal selain Demak.

De Graaf juga melihat bahwa penaklukan atas Majapahit tahun 1927 tidak hanya dilakukan oleh Demak, tetapi oleh para penguasa muslim lokal dengan komandan penghulu Masjid Demak ke-4 dan dilanjut Penghulu ke-5, yaitu Sunan Kudus. Sultan Trenggana, yang mengangkat diri sebagai Sultan pada tahun 1524, ditahbiskan sebagai raja Demak pengganti kekuasaan Majapahit.

Pires juga menceritakan bahwa pada saat ia berkunjung ke Tuban, Raja Majapahit yang bergelar Bhatara masih ada. Raja tersebut digambarkan sebagai sosok yang gagah dan jarang terlihat di muka umum. Tugas-tugas kerajaan diemban oleh Panglimanya. Jadi, pada tahun 1513, kerajaan Majapahit masih eksis dan kuat.

Dalam Serat Darmogandul disebutkan bahwa Raja Majapahit tergoda oleh putri Campa. Karena itulah ia lalai dengan ancaman para pendatang muslim dan memberi tempat pada mereka. Menurut Denys Lombard, Raden Rahmat sudah datang lebih awal dari Putri Campa. Putri Campa sendiri makamnya di Trowulan berasal dari tahun 1448 M, atau 40 tahun sebelum Kertabhumi bertahta jika dilihat dari versi Slamet Muljana.

Sumber Serat Darmgandul

Serat Darmogandul bukanlah sebuah sejarah dalam pengertian akademik. Dalam Serat itu sendiri dijelaskan bahwa cerita Raden Budi Sukardi kepada Ki Kalamwadi, yang oleh Ki Kalamwadi diteruskan kepada Darmogandul tidak didasarkan pada sumber tertentu.

Tidak mudah membuktikan cerita dalam Darmogandul. Beberapa pokok latar sejarah yang dipakai berasal dari Babad Tanah Jawi atau turunannya. Tetapi detail dan alur narasi yang dipakai Darmogandul bukan dari Babad Tanah Jawi, melainkan dari Babad Kadhiri.

Babad Kadhiri lahir dari keingintahuan orang Belanda akan sejarah Kediri dan bertanya kepada Ngabehi Purbawijaya. Karena tidak tahu, Jaksa Ngabehi Purbawijaya mencari dalang Dermakandha dari Majarata. Sayangnya, Dalang Dermakandha hanya tahu kisah Panji ke bawah, tidak ke era selanjutnya. Ia punya ide untuk bertanya kepada jin penunggu gua di Gunung Klothok, yaitu Butha Locaya.

Caranya Ki Dermakandha akan memanggil Butha Locaya yang akan merasuki Ki Sondong, abdi Ngabehi Purbawijaya. Baru dilakukan wawancara. Jadi, Babad Kadhiri disusun dari wawancara dengan orang kesurupan.

***

Serat Darmogandul juga menyatakan bahwa cerita yang disampaikan tidak didasarkan sumber tertulis tertentu, melainkan dari tuturan Raden Budi Sukardi. Tidak diketahui secara jelas apakah Raden Budi Sukardi menceritakan Babad Kadhiri atau penulis Babad Kadhiri sama dengan penulis Serat Darmogandul.

Tetapi uraian tentang pikiran keagamaan dalam Darmogandul tampak berasal dari orang yang cukup mengenal Islam, meski punya rasa tidak suka. Penulis cukup pandai dalam berdialog untuk menunjukkan keunggulan agama Budi. Dalam dialog itu, penulis Darmogandul tidak mempertentangkan antara tokoh Islam dengan tokoh lain, melainkan  dengan meminjam satu tokoh Islam.

Baca Juga  RUU HIP dan Perubahan Kiblat Bangsa

Saat memprotes Raden Patah, penulis mempergunakan tokoh Nyai Ampel, istri Sunan Ampel. Saat mengkritik ajaran Islam dan memuji agama Budi, ia meminjam Prabu Brawijaya sebagai pembela ajaran Islam untuk berdebat keyakinan dengan Sabdo Palon. 

Proses peminjaman tokoh Islam ini ada kalanya terasa dipaksakan atau dipelesetkan. Prabu Brawijaya saat masuk Islam mendapatkan pengajaran syahadat dari Sunan Kalijaga. Muhammad Rasulullah dimaknai sebagai makam kuburan tempat rasa memuji badan sendiri. Rasulullah sebagai rasa ganda salah. Singkatnya Muhammad Rasulullah adalah pengetahuan badan dan tahu makanan.

Darmogandul dan Sejarah Lokal

Apakah Serat Darmogandul didasarkan atas Sejarah Lokal atau Sejaah Lisan? Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya dibandingkan dengan Sejarah Jawa karya Thomas Stamford Raffles.

Karya Raffles ditulis dengan mengumpulkan sumber-sumber lokal. Raffles memerintah sebagai Gubernur Jenderal di Jawa pada 1811-1816. Kecintaan Raffles akan sastra dan budaya Jawa melahirkan karya Monumental The History of Java dan Musium Etnografi Batavia. Ia menjelajahi daerah-daerah di Jawa dan mengumpulan berbagai data tentang budaya dan sejarah.

Salah satu kisah yang ia muat adalah Raja Majapahit Angka Wijaya, putra dari Kencana Wungu, dalam hubungannya dengan putri Campa dan orang-orang muslim. Angka Wijaya diceritakan bertahta tahun 1300 thun Jawa atau 1378 Masehi.

Kisahnya dalam beberapa hal banyak sama dengan Babad Tingkir, menyangkut anak dan istri Raja. Raden Patah adalah anak putri Cina yang saat hamil dikirim ke Palembang bersama anak raja dari keturunan makhluk halus Gunung Lawu yang bernama Aria Damar.

Raden Patah bersama adiknya Raden Husein pergi ke Gresik. Raden Husein langsung menuju Majapahit, sedangkan Raden Patah ke Ampel karena trauma pada perlakuan Raja pada ibunya.

Setelah menikah dengan cucu Sunan Ampel ia membuka wilayah ke Barat yang terdapat rerumputan harum bernama Bintara. Wilayah itu disebut Demalakan (disingkat Demak), yaitu wilayah kering di tengah rawa-rawa yang luas.

Setelah berdiri Demak, Raja mengutus Husen untuk menghancurkannya kecuali mau mengakui Majapahit. Raden Patah dibawa ke istana lalu diberi gelar Adipati karena kemiripannya dengan raja. Raden Patah mengadu pada Sunan Ampel bahwa ia merasa marah dan terhina dan bertekad untuk menghancurkan Majapahit.

Setelah membangun masjid (1390 J/ 1468 M) Raden Patah mendengar Sunan Ampel  wafat. Ia pergi ke Ampel dan sepulang dari Ampel mendapatkan pendamping delapan penyebar agama. Ia mulai menghimpun persekutuan melalui pemuka agama untuk melawan Majapahit dengan Panglima Sunan Undang atau Sunan Kudus.

***

Pasukan Majapahit di bawah pimpinan Husen selalu menghindar sampai terjadi perang di Sedayu yang mengakibatkan Sunan Undang wafat. Namun Husen tidak melanjutkan serangan dan Majapahit ingin membujuk Raden Patah untuk datang dan tunduk ke Majapahit secara damai.

Raden Patah lalu minta dukungan Aria Damar dari Palembang. Ia diberi kotak yang bisa mengeluarkan ribuan tikus. Sunan Gunung Jati memberi baju besi. Sunan Giri memberi keris yang bisa mengeluarkan kumbang. Sunan Bonang memberi tongkat yang bisa mengeluarkan tentara.

Di bawah pimpinan Pangeran Kudus (anak Sunan Undang), Demak menyerang Majapahit. Dengan bantuan berbagai senjata dari para tokoh di atas, Majapahit berhasil ditaklukkan. Raja dan pengikutnya dibuang ke Timur.  Pangeran Kudus lalu menyerang pasukan terakhir di bawah pimpinan Husen hingga akhirnya Husen menyerah. Hal itu terjadi tahun 1400 Jawa atau 1478 Masehi.

Pangeran Kudus bersama Husen lalu melakukan penyerbuan kembali setelah Raja Brawijaya mendapatkan dukungan dari propinsi-propinsi sebelah Timur. Pasukan Majapahit kalah dan lari sampai Palembang. Raja Brawijaya berhasil menyeberang ke Bali tahun 1481 M.

Meski menceritakan kisah tersebut, Raffles menunjukkan kritik akan lamanya Angka Wijaya berkuasa yaitu dari sebelum tahun 1398 M hingga 1478 M. Usia putri Campa yang lebih dari 100 tahun saat mendapat perlindungan Sunan Bonang, tapi nisannya sendiri bertahun 1398 M.

Sejarah versi lokal yang ditulis oleh Raffles menunjukkan pokok narasi yang berbeda dengan versi Serat Darmogandul. Hal itu dapat dipahami karena Serat Darmogandul sendiri mengakui bahwa isinya tidak didasarkan sumber-sumber tertentu. Tentu saja tidak mungkin narasi seperti Darmogandul berangkat dari ruang kosong, tetapi pengarangnya memberikan tafsir sendiri sesuai dengan cara ia melihat pengaruh Islam sebagai faktor yang merusak di Jawa.

Editor: Rozy

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds