Bom Bali——Melihat keseluruhan pandangan rasional Imam Samudra dan para pelaku Bom Bali, bahwa aspek terpenting dalam pandangan yang membentuk pembenaran terhadap tindak teror pemboman Bali adalah keyakinan mereka atas pandangan bahwa non-Muslim selalu merupakan musuh umat Muslim sehingga mereka harus diperangi. Dasar hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah jihad dan perang bersenjata, bukan perdamaian.
Dia memandang bahwa jihad bersenjata adalah satu-satunya jenis hubungan yang bisa ada antara Muslim dan non-Muslim. Baginya, jihad bersenjata adalah kewajiban sampai akhir dunia. Dan tujuannya adalah untuk memerangi orang-orang kafir di manapun mereka ditemukan. Yakni sesuai dengan ucapan Nabi untuk melawan orang-orang musyrik sampai mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan selain Allah.”
Rasionalitas Radikalisme
Rasionalitas para pelaku Bom Bali I, terutama Imam Samudra, selalu mendasarkan pada implementasi jihad. Dia percaya bahwa ayat pertama jihad yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menginstruksikan umat Islam untuk melawan orang-orang kafir yang berperang melawan mereka. Mereka yang tidak terlibat langsung di dalamnya tidak boleh diserang. Dia yakin Surah Al Baqarah ayat 190: “Dan bertempurlah dengan Tuhan melawan orang-orang yang berperang melawan Anda, tapi jangan melakukan agresi karena sesungguhnya Allah tidak menyukai penyerang.”
Perang sebagaimana dia yakini ialah perang layaknya peperangan personil militer di medan juang. Perang konvensional yang dia amati secara umum lalu mengikuti prinsip yang sama. Padahal ada banyak rambu-rambu dalam Islam yang melarang tindakan melanggar batas. Ini berarti bahwa dilarang membunuh wanita dan anak-anak, menghancurkan tanaman. Juga dilarang membunuh orang-orang yang sudah tua dan mereka yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk beribadah.
Bagi Imam Samudra, aturan tersebut hanya berlaku bila orang kafir tidak melanggar batas. Selama Amerika dan sekutu-sekutunya tidak menyerang dan membunuh warga sipil Muslim dan mengamati batas ini, Mujahidin tidak akan berperang dalam kepatuhan dengan peraturan dasar ini (Hassan, 2006: 18).
Jihad bersenjata harus dilakukan sampai setiap inci tanah Muslim dibebaskan dari orang-orang non-Muslim dan ketika mereka semua tunduk pada peraturan Islam. Dia berpendapat bahwa ayat-ayat tentang jihad di dalam Al-Qur’an, diturunkan secara bertahap dan ayat-ayat Allah diwahyukan di Surah ke-9 dari AlQur’an khususnya ayat kelima, untuk menyelesaikan tahap terakhir.
Dia mengklaim bahwa ayat-ayat terakhir ini membatalkan ayat-ayat sebelumnya yang diwahyukan tentang jihad yang menyatakan bahwa jihad hanya diperbolehkan saat orang-orang Muslim diserang. Dikatakan bahwa pemahaman semacam itu telah berkontribusi pada pengembangan perspektif dual dalam benak Imam Samudra. Yakni sudut pandang “baik Anda bersama dia atau melawan dia”. Selain ayat-ayat jihad, ayat tentang hijrah juga diyakini sebagai pemicu tindak kejahatan terorisme.
Bom Bali: Dampak dari Rasionalisasi Terorisme
Efek dari pemahaman ini adalah mengkristalnya kebencian, kedengkian, perlawanan, dan permusuhan terhadap semua non-Muslim. Untuk mendukung pemahaman ini, Imam Samudra menghidupkan kembali wacana historis seperti Perang Salib, kolonialisme, penganiayaan terhadap Muslim Palestina oleh Israel, dan serangan terhadap Afghanistan juga Irak oleh pasukan koalisi Amerika Serikat. Pemahaman ini telah memengaruhi gagasan untuk tidak hidup berdampingan secara damai dengan non-Muslim, sehingga memperjelas seruan sikap non-integrasi dan non-akomodatif serta eksklusivisme sosial.
Pandangan ini juga sama dengan mendorong pola pikir dan sikap negatif umat Islam terhadap non-Muslim. Muslim yang menerima ini, akan mengembangkan kesalahpahaman tentang bagaimana dia harus berhubungan dengan non-Muslim secara emosional dan sosial. Non-Muslim umumnya akan dilihat sebagai musuh terlebih dahulu sebelum terbukti sebaliknya. Jelas, ini akan berkembang menjadi prasangka buruk dan intoleransi. Penegasan ini juga akan berdampak negatif terhadap perspektif non-Muslim terhadap Islam dan Muslim. Apapun akhirnya hasilnya adalah merusak.
Secara rasional, keyakinan Imam Samudra bahwa jihad adalah fardhu ain merupakan pandangan terbaik menurut pribadinya. Namun dia tidak memiliki wewenang untuk menyatakan jihad melawan siapa pun atas nama umat Islam. Dia juga tidak bisa mengoperasionalkan pandangannya dengan melakukan pemboman Bali karena bertentangan dengan prinsip otoritas yang dimiliki oleh mayoritas cerdik-cendekia umat Muslim. Hal ini juga salah baginya untuk menilai orang lain yang tidak setuju dengan tindakannya. Namun, dia sangat rasional dalam mengucapkan apa yang dia percaya sebagai kebenaran.
Peristiwa bom Bali menjadi penanda klimak kekerasan yang terjadi akibat penafsiran radikal atas ideologi Islam melawan musuh-musuhnya. Apakah kekerasan atas nama ideologi Islam yang diyakini atas kebenarannya tersebut rasional? Fenomena terorisme pada umumnya disebut sebagai ekpresi sifat para pengecut yang irasional. Karena hal ini diidentikkan dengan sifat individu yang bertekad menghancurkan diri sendiri dan harta bendanya. Yang tentu sifat tersebut sangatlah tidak masuk akal dan begitu juga bahwa para pelaku dianggap tumbuh dan berkembang dalam situasi ketidaktahuan dan atau kemiskinan pemikiran.
Terorisme dalam Sejarah
Dalam sejarah, tindak kejahatan terorisme di Indonesia selalu terkait dengan persoalan Islam radikal karena perlakuan diskriminatif dan ketidakadilan negara terhadap orang Islam. Hal ini tampak pada peristiwa-peristiwa masa awal kemerdekaan Republik Indonesia dan awal tahun 1980an yaitu pemberontakan Darul Islam, pembajakan pesawat Garuda ‘Woyla’, dan pengeboman Candi Borobudur (Karnavian, 2017: 15).
Kasus-kasus kekerasan tersebut jelas menggambarkan fakta bahwa motif ideologi Islam radikal merupakan penyebab gerakan perlawanan terhadap pihak lain terutama negara yang dianggap tidak sejalan dengan penerapan hukum Islam. Bahkan, akar terorisme di Indonesia berawal dari Darul Islam yang terus berkembang dan bermetamorfosis dalam berbagai bentuk gerakan sampai pada saat ini (Solahudin dan McRae, 2013: 23).
Sebaliknya, hal penting untuk dapat dicatat bahwa tindakan diskriminasi dan ketidakadilan belaka tidak bisa digunakan sebagai pembenaran oleh orang Muslim agar berperang atau mengobarkan pemberontakan bersenjata melawan sebuah negara.
Jihad yang Lurus dan Benar
Abdul Hamid A. Abu Sulayman (1993) menyatakan bahwa jihad sebagai kewajiban untuk mengejar apa yang lurus dan benar yang mencakup perlindungan Hak Asasi Manusia atas kehidupan, kepercayaan, kehormatan, keluarga dan pendidikan. Tujuan tertinggi jihad adalah mengubah hidup seseorang sehingga seseorang akan mengejar hak-hak ini untuk tunduk kepada Allah. Tujuan tertinggi kedua adalah mempertahankan hak keadilan bagi setiap orang, kapan saja, dimana saja dan substansi keadilan adalah hak asasi manusia.
Alasan untuk melarang pembunuhan orang tua, orang sakit, anak-anak dan perempuan adalah karena umumnya mereka bukan pejuang. Dengan demikian, perbedaan dalam iman bukanlah lisensi tunggal untuk membunuh dan bukan pembenaran untuk perang. Permusuhan dalam bentuk tindakan perang membenarkan terjadinya perang, baik yang diprakarsai oleh non-Muslim atau sesama Muslim.