Perang Badar menjadi titik balik perjuangan umat Islam melawan kaum kafir Quraisy; yang semula tertekan kemudian beranjak memberikan tekanan. Kemenangan umat Islam dalam pertempuran tersebut tak ayal mengundang banyak pihak untuk berbondong-bondong mengucap dua kalimat syahadat.
***
Suatu hari, rombongan dagang yang dipimpin Abu Sofyan melintas di wilayah pantauan Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Zaid. Keduanya diutus Nabi Muhammad Saw guna memantau kepulangan rombongan dagang kafir Quraisy dari negeri Syam. Dikabarkan bahwa rombongan tersebut membawa harta melimpah dengan hanya dikawal empat puluhan orang. Nabi Muhammad yang mengetahui informasi tersebut segera bertindak. Dengan tanpa ada niatan berperang, beliau beserta 312 kaum Muslimin bergerak ke Badar.
Abu Sofyan yang mengetahui pergerakan umat Islam itu lantas mengutus Dhamdham bin Amr al-Ghifari untuk terlebih dahulu berangkat ke Makkah. Beberapa ratus meter sebelum memasuki Makkah, Dhamdham melancarkan acting seolah-olah kondisi di Badar sangat genting. Tindakan tersebut berujung berangkatnya 1300 pasukan ke Badar dengan perlengkapan perang lengkap.
Bayangkan saja, 313 melawan 1300. Lebih menegangkan lagi, dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Adhim (Tafsir Jalalain) disebutkan kalau persenjataan umat Islam saat itu hanya terdiri dari dua kuda, enam tameng, dan delapan pedang. Dalam riwayat lain disebut ada sekitar tujuh puluh unta di pasukan umat Islam. Sementara di pihak kafir Quraisy ada sekitar seratus kuda dan enam ratus tameng, belum termasuk perlengkapan lain-lainnya.
Singkat kata, meski dengan jumlah pasukan yang timpang, umat Islam berhasil memenangkan pertempuran perdananya. Tidak ada argumen lain yang dapat menjelaskan fenomena tersebut selain bahwa ada ‘campur tangan’ Allah di tengah pertempuran. Dalam QS. Al-Anfal [8]: 9 Allah Swt berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Aku (Allah) akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”.
Kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya, yakni ketika Allah memenangkan Thalut atas Jalut. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 249 dijelaskan bahwa dengan izin Allah, telah banyak pasukan dengan jumlah sedikit yang berhasil mengalahkan pasukan dengan jumlah lebih banyak (kam min fi’atin qalīlatin ghalabat fi’atan katsīratan bi idznillāh).
Beragama dengan Cinta
Sebelumnya, ketika di Makkah, umat Islam mengalami persekusi luar biasa dari kaum kafir Quraisy. Tiga tahun pertama, mereka harus berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Perintah Allah dalam QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 214 menjadi awal mula Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya berdakwah secara terang-terangan.
Mereka yang menjadi generasi awal umat Islam tidak dimungkiri merupakan orang-orang terpilih. Mereka tetap teguh berada di jalur keimanan meskipun dihantam badai permusuhan, pengasingan, dan siksaan. Sebut saja di antara mereka Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah. Ada juga Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Nu’aiman bin Amr, dan orang-orang Yatsrib lain yang berbaiat kepada Nabi Muhammad serta memberi ruang dakwah kepada Nabi di sana.
Keimanan mereka tidak dibumbui oleh kepentingan-kepentingan pragmatis. Mereka masuk Islam tidak untuk kaya, atau untuk menjadi pemimpin atau raja, atau untuk mempunyai istri banyak, atau untuk kepentingan duniawi lainnya. Mereka masuk Islam karena yakin bahwa apa yang dibawa Muhammad bin Abdullah adalah benar. Dan untuk mempertahankan keimanan itu, mereka bersedia melakukan apapun.
Lihat saja, misalnya, bagaimana kaum Anshar menawarkan bantuan kepada kaum Muhajirin sesampainya mereka di Yatsrib. Mereka yang menjadi generasi awal umat Islam ini masuk Islam karena cinta, sehingga mereka berislam pun juga dengan cinta, tanpa pamrih, tanpa tedeng-aling-aling.
Pergeseran Orientasi
Nursamad Kamba dalam Mencintai Allah secara Merdeka (2020) menulis, “sementara mereka yang memeluk Islam pasca-Perang Badar, terutama tokoh-tokoh besar yang akan tampil –atau menampilkan diri—di atas panggung sejarah di kemudian hari, menganut kepercayaan bahwa Islam adalah kekuasaan” (hlm. 41). Syaikh Kamba menemukan adanya pergeseran orientasi orang memeluk Islam, yang itu bermula sejak kemenangan umat Islam di Perang Badar.
Sebelum kemenangan umat Islam di Perang Badar, orang masuk Islam karena percaya dan cinta pada Rasulullah. Sementara sesudahnya, muncul semacam pandangan bahwa agama adalah kekuasaan. Pergeseran orientasi tersebut menurut Syaikh Kamba semakin meruncing pasca berakhirnya masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Bermula dari Mu’awiyah bin Abi Sofyan dan berlanjut hingga pemimpin dinasti selanjutnya, ajaran Islam dijadikan alat untuk meraih kekuasaan oleh sekelompok umat Islam.
Memaklumi Keberagaman
Sudah 1442 tahun terhitung sejak Nabi Muhammad Saw melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah. Sebagai agama dakwah, ajaran Islam terus dikumandangkan. Jutaan manusia berbondong-bondong mengucap dua kalimat syahadat dengan beragam alasannya. Kini, umat Islam menempati posisi kedua terbanyak, masih kalah jumlah dengan umat Kristiani.
Dari sekian banyak populasi umat Islam, mereka punya orientasi beragama sendiri-sendiri. Perbedaan orientasi tersebut tidak dapat dimungkiri, dan mustahil untuk diseragamkan. Atas dasar itu, daripada fokus pada perbedaan, lebih baik berupaya untuk mewujudkan persatuan di dalam keberagaman (unity in diversity).
Beragama yang Menggembirakan
Jamak diketahui bahwa Islam adalah agama rahmat, yang bukan sekadar rahmat bagi umat Islam an sich, atau bagi manusia, tapi bagi seluruh alam. Akan tetapi, dan ini yang seringkali merisaukan, ada sekelompok umat Islam yang mengatasnamakan mengamalkan ajaran Islam tetapi tidak memberikan kenyamanan bagi orang lain atau umat beragama lain.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad pernah bersabda, “ra’su-l-aqli ba’da al-īmāni billāhi at-tawaddud ila an-nāsi”. Bahwa puncak pencapaian akal setelah beriman kepada Allah Swt adalah memberi kasih sayang kepada manusia, menggembirakan manusia.
Ketika ada orang Islam yang berlaku kasar, bertindak sewenang-wenang, segala ucap dan lakunya merugikan orang lain, pertanyaannya adalah, dia mengikuti ajaran Islam yang mana? Yang dari siapa? Nabi Muhammad saja ketika menghadapi Nu’aiman yang dikenal ‘ngawur’ dan ‘sembrono’ bersikap santai bahkan tertawa-tawa. Nabi Muhammad tahu, di balik tindakan Nu’aiman, ada perasaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya yang meluap-luap dan tak terbendung.
Kita yang mengaku cinta kepada Allah dan Nabi Muhammad harusnya juga mengamalkan laku beragama yang menggembirakan dan penuh cinta. Dan untuk mencapai derajat tersebut, yang harus terlebih dahulu dilakukan adalah mengevaluasi orientasi beragama kita. Kita beragama untuk apa dan atas dasar apa? cinta? kuasa? harta? atau apa?
Editor: Yahya FR