Saya tiba-tiba baru teringat pada suatu forum yang dulu pernah saya ikuti. Waktu itu saya mengikuti seminar yang diadakan di auditorium Grha Sabha Pramana UGM beberapa tahun yang lalu. Tema dan hal yang dibahas merupakan hal yang sangat akrab didengar atau dilihat masyarakat dalam berita, yaitu tentang peliknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia serta sulitnya upaya dalam penegakan hukum terkait kasus tersebut di Indonesia.
Rekam Jejak Korupsi di Indonesia
Secara akar sejarah, praktik korupsi di Indonesia memiliki rekam jejak yang panjang. Kita harus melacak dan mengingat apa yang telah dilakukan oleh saudara penjajah kita sewaktu masa pra-merdeka, yaitu Belanda. Dulu sewaktu VOC masih menguasai Indonesia (Hindia Belanda), para pejabat VOC melakukan korupsi besar-besaran yang mengakibatkan kosongnya kas VOC saat itu. Menutup kerugian serta mengisi kas yang kosong, rakyat Indonesia dipaksa untuk menghasilkan uang dengan cara menjalankan beberapa program seperti “cultuurstelsel” dan “kerja rodi”.
Orang-orang banyak yang dipaksa untuk bekerja tanpa diberi upah dan melakukan usaha produksi yang semua hasilnya akan diserahkan kepada VOC, tanpa ada sisa untuk mereka sedikitpun. Melihat peristiwa ini kemudian kita dapat menyimpulkan sebenarnya umur dari korupsi itu lebih tua dari umur berdirinya republik Indonesia itu sendiri.
Alasan Seorang Korupsi
Teori ini merupakan salah satu teori populer dan sering digunakan dalam disiplin ilmu ekonomi dan manajemen dalam menjelaskan alasan-alasan di balik motivasi seseorang dalam melakukan perbuatan tertentu.
Teorinya disebut sebagai “Teori hierarki kebutuhan”. Teori ini menyatakan bahwa manusia melakukan sebuah tindakan karena dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki susunan/tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Kebutuhan tersebut antara lain kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk dihargai, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri
Apabila satu kebutuhan yang paling rendah telah terpenuhi maka orang akan beralih ke kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Bila kita lihat dari persebaran kasus yang telah terjadi saat ini, penyebab terbesar orang korupsi ada di poin kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman.
Kasus ini bisa kita lihat dari orang miskin yang mencuri di rumah orang lain. Meskipun mereka tahu itu tindakan yang salah. Tetapi karena dorongan fisiologis untuk menghilangkan rasa lapar dan haus merupakan kebutuhan primer manusia, mau tidak mau, mereka terpaksa melakukannya.
Lalu kita kemudian masuk ke kasus yang kedua. Ada beberapa orang yang secara kecukupan materi sudah lebih dari cukup. Pertanyaannya, kenapa mereka masih juga melakukan korupsi?
Sebabnya, karena mereka masih belum merasa aman dalam melihat kecukupan materi dan posisi jabatan mereka. Kita tentu lazim mengetahui bahwa semakin tinggi jabatan atau reputasi seseorang, maka potensi konflik kepentingan akan semakin tinggi juga. Berbagai kepentingan yang bertabrakan satu sama lain dapat menyebabkan orang terjerumus dalam perbuatan korupsi. Praktik bagi-bagi jabatan, lalu kemudian suap menyuap untuk melanggengkan urusan atau mempertahankan jabatan pribadi merupakan contoh kasus yang baik terkait hal ini.
Artian Luas Korupsi
Korupsi pun sebenarnya dapat diartikan secara luas, tidak hanya berbentuk penggelapan uang yang merugikan ekonomi dan keuangan negara saja. Secara definisi, kata korupsi diambil dari bahasa latin “corruptio” yang artinya “rusak/busuk”.
Yaitu setiap perbuatan yang tidak semestinya dilakukan atau diluar kewenangan seseorang dapat juga digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Menyalahgunakan jabatan eksekutif untuk kepentingan pribadi adalah salah satu contohnya. Meskipun tidak ada uang yang mengalir atau kerugian yang riil terjadi. Praktik ini juga dapat dikategorikan sebagau perbuatan korupsi.
Lalu, melihat permasalahan korupsi yang tidak selesai-selesai ini, bagaimana cara kita dalam mencegah sikap dan perbuatan korupsi?
Jawabannya sebenarnya sederhana saja. Tidak perlu sampai repot-repot mengadakan seminar-seminar dalam skala nasional yang menghabiskan banyak dana. Kuncinya cuma satu : berani berbeda dan jujur.
Kita pelan-pelan harus mengubah dulu kultur dan kebiasaan memakai “orang dalam” atau mencari “jalur pintas/belakang” dalam setiap urusan birokasi negara dan dalam aktivitas kita sehari-hari.
Perubahan Dimulai dalam Diri
Sikap ini sebenarnya paling baik dilatih sewaktu duduk di bangku sekolah. Dari sana kita dilatih jujur sejak masih kecil, sehingga sikap ini nantinya jadi kebiasaan alamiah kita sendiri ketika sudah dewasa.
Contoh nyata di mana sikap kejujuran dan anti korupsi kita dinilai adalah saat ujian nasional. Coba tanyakan ke semua siswa yang ada di Indonesia apakah menyontek itu diperbolehkan? Pasti 100% akan berkata itu tidak boleh. Tapi kenyataannya banyak juga yang menyontek, kenapa hal ini bisa terjadi?
Walaupun mereka tahu itu tidak boleh, pada saat yang lain mereka didesak dengan tekanan mendapat nilai bagus, harus lulus, hingga menghindai omelan orang tua, sehingga terjadi “conflict of interest”. Apabila orang tersebut tidak memiliki prinsip kejujuran yang kuat, hal itu akan mendorongnya untuk melakukan tindakan koruptif, yaitu mencontek.
Contoh di atas merupakan gambaran persis mengapa orang bisa melakukan korupsi. Setiap diri manusia sebenarnya tahu mana saja perbuatan yang salah tapi karena “conflict of interest” dan ketidakmampuan dalam menghadapi tekanan yang mengusik “rasa aman” tadi. Orang-orang menjadi terdesak dan terdorong untuk melakukan perbuatan koruptif.
Jadi ada baiknya sebelum kita meneriakkan jargon anti korupsi, Kita belajar dulu menghitamkan lembar ujian kita secara jujur dan benar sesuai dengan kemampuan diri sendiri. Serta belajar untuk siap menerima konsekuensi buruk dari hal-hal yang mungkin kita terima saat kita memilih untuk berbuat dan berkata jujur. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan setiap hari.
Dan jangan pula menjadi tipe orang yang ikut hadir dalam demo dan meneriakkan dengan lantang menolak korupsi. Tetapi dalam keseharian masih suka berbuat curang, suap-menyuap, mencontek, dan lainnya.
Setiap orang, termasuk diri saya sendiri sejatinya punya potensi untuk melakukan perbuatan korupsi. Kita belum tahu komitmen diri kita terhadap sikap anti korupsi sampai kita merasakan konflik kepentingan dan intrik dalam hidup kita secara langsung kelak.
Itulah mengapa terkadang kita melihat orang yang begitu lantang berjuang dan meneriakkan jargon anti korupsi, justru dalam beberapa tahun mengalami perubahan yang berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan. Ia tidak dapat mempertahankan idealisme dan integritasnya saat mengalami konflik kepentingan.
“Saya anti Korupsi”
Kalimat di atas gampang dikatakan tetapi sukar dilaksanakan bukan?