Sholat Id kok di rumah? Setidaknya kalimat itulah yang banyak saya dengar hari-hari menjelang Idulfitri ini. Ya karena memang di daerah saya sudah termasuk zona merah penyebaran Covid-19.
Sepintas kalimat di atas terdengar sepele, akan tetapi cukup mengganggu pikiran penulis. Maklum karena mungkin ini memang pertama kalinya sholat Id di rumah, tidak diadakan sebagaimana mestinya karena Covid-19.
Sholat Id di Rumah
Sejarah mencatat bahwa pandemi yang lebih dahsyat telah terjadi berkali-kali di masa lampau. Sebut saja wabah MERS yang terjadi di semenanjung Arab dan mungkin saja sama-sama berdampak pada aktivitas ibadah akbar kaum muslim di wilayah tersebut terlebih ibadah haji dilaksanakan di tanah Arab. Akan tetapi itu telah terjadi lama dan mungkin sudah tidak ada lagi alumni wabah MERS yang masih ada sekarang.
Kita benar-benar pertama kali mengalami bulan Ramadan dalam masa pandemi ini. Kembali kepada kalimat “sholat ied kok dirumah?”, jujur kalimat ini selalu terngiang-ngiang dalam kepala penulis. Apa salahnya sholat ied dirumah?
Penulis pun mencoba membaca tentang bagaimana fiqih dalam sholat Ied, dan memang dalam fiqih tentang pelaksanaan sholat Id tidak harus dilakukan dimasjid atau tanah lapang, sholat Id pun boleh dilaksanakan sendiri maupun bersama-sama.
Lalu kenapa bisa muncul kalimat seperti d iatas? Saya kemudian teringat akan beberapa pemikiran filosofis tentang manusia dan lingkungan budayanya. Adalah seorang filsuf Jerman Martin Heidegger yang memiliki pemikiran tentang faktisitas manuisa. Manusia sendiri selalu terlempar dan niscaya terbentuk oleh lingkungannya.
Munculnya kalimat “sholat Id kok di rumah?” adalah salah satu contoh dari ketidak-kuasaan manusia untuk terlepas dari budayanya. budaya selalu terbentuk dan masuk ke dalam diri setiap manusia dan menjadi nilai-nilai luhur yang rasanya sulit untuk ditinggalkan.
Misalkan dalam menggunakan mukenah bagi muslimah yang hendak melakukan sholat. Banyak muslimah di indonesia dengan budaya menggunakan mukenah saat sholat, akan kehilangan suatu rasa tersendiri ketika misalkan mereka sholat dengan tidak menggunakan mukenah. Padahal mukenah sendiri bukanlah sebuah keharusan dalam hal menutup aurat ketika sholat.
Nilai Luhur dan Kekhusyukan
Namun bukankah nilai-nilai luhur tersebut memang seharusnya ada pada diri manusia? Bukankah ini menjadikan hidup lebih berarti? Dalam hal ini pikiran saya langsung terarah pada apa yang memproduksi rasa-rasa semacam ini? Tak lain adalah hati yang dimiliki setiap manusia.
Ya, hati adalah otoritas manusia yang menjadikannya berbeda dengan mahluk Allah yang lain. Manusia dengan hati menggerakan akal nuraninya dalam berhubungan baik dengan Allah maupun mahluk-Nya.
Penulis teringat pada nasihat dari seorang tokoh yang luar biasa, Cak Nun. Beliau kala itu membahas tentang apa hakikat dari sholat. Saya paparkan seperti ini, apakah ketika kita tidak khusyuk dalam sholat maka membatalkan sholat kita?
Tentu tidak, dalam fiqih tentang sholat tidak pernah ada syarat khusyuk yang jika tidak dikerjakan akan membatalkan sholat. Namun ketika kita berbicara tentang hati manusia, maka bisa saja ketika kita tidak khusyuk dalam sholat maka pada hakikatnya kita tidak melakukan sholat.
Analogi Orang Bersalaman
Beliau menggunakan analogi pada komunikasi orang yang sedang bersalaman dengan orang lain. Ketika seseorang itu bersalaman dengan orang lain akan tetapi kesadarannya bahkan pandangannya tidak terarah pada orang dihadapannya, apakah ini bisa disebut sebuah komunikasi?
Mungkin secara fisik memang seseorang itu bersalaman. Akan tetapi pada hakikatnya, hati yang mendorong kesadarannya tidak menandakan bahwa ia sedang berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Bahkan bisa dikatakan pada hakikatnya orang itu tidak bersalaman karena inti dari pada bersalaman adalah komunikasi.
Demikian juga dengan khusyuknya sholat. Sholat pada hakikatnya ialah berkomunikasi dengan Allah. Ketika kita tidak mengarahkan hati kita dan kesadaran kita kepada Allah ketika sholat, maka hal ini sama dengan ketika kita bersalaman dengan orang lain akan tetapi kita secara hati tidak berkomunikasi sama sekali. Khusyuk berarti mengarahkan seluruh perhatian kita pada Allah dan dengan itu kita sampai pada hakikat komunikasi dengan-Nya.
Dalam kesempatan lain, saya mendengarkan nasihat dari seorang Ulama lewat salah satu kanal yutub. Beliau menjelaskan tentang perdebatan antara seorang ahli hakikat dengan seorang ulama. Perdebatan tersebut tentang apa hakikat sholat itu sendiri.
Seorang ulama mengatakan bahwa ia sholat dengan sujud, seketika itu sang ahli hakikat mengatakan bahwa tidaklah sholat itu hanya jasad akan tetapi sesungguhnya sholat itu ialah dengan ruh dan hati kita. Sang ahli hakikat menambahkan bahwa jasad itu fana dan pada akhirnya akan lenyap sehingga perhitungan sholat dengan fisik nantinya ikut lenyap, sedangkan sholat dengan ruh dan hati akan kekal perhitungannya sampai hari kebangkitan.
Hati dan Identitas Kita
Hati adalah identitas setiap diri kita. Bahkan dalam kaidah Usul fiqih yang pertama tertulis “al-umuru bi maqashidiha”, penempatan kaidah niat sebagai kaidah utama ini menggambarkan tentang pentingnya niat yang mendasari setiap tindak tanduk manusia. Ya niat bertempat dalam hati kita, meskipun kita bisa berbohong dengan lisan dan tindakan kita, akan tetapi tidak dengan hati, dan hanya Allah dan diri kita yang mengetahui hati kita. Maka hati adalah hakikat dari diri setiap manusia yang otentik.
Perihal Sholat Id kok di rumah? Akhirnya kita dapat menyadari bahwa ibadah, tidak hanya bersoal pada fiqih, akan tetapi ibadah juga memiliki sisi rasa yang telah terbentuk oleh hati nurani manusia.
Sholat Idulfitri tidak hanya ritual formalitas dalam menyambut hari kemenangan setelah berperang melawan nafsu selama sebulan, akan tetapi juga memiliki dimensi rasa sosial. Sholat Id pada hakikatnya telah menjadi wadah kemenangan dan silaturahmi bagi seluruh umat muslim yang serentak merayakan hari kemenangan.
Kita rasanya akan kurang jika melakukan sholat Id sendiri-sendiri dan di rumah. Ini sekali lagi, menandaskan pentingnya rasa oleh hati nurani dalam beragama Islam yang merupakan agama rahmatan lil alamin, agama yang dibesarkan dengan keagungan hati Rasulullah Saw.
Akhirul kalam, marilah kita senantiasa menggunakan hati yang telah Allah anugerahkan kepada kita untuk kembali kepada agama Islam yang sejati. Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, bahwa dalam Islam tidak sekadar perbedaan pendapat tentang teknis peribadatan. Akan tetapi bagaimana manusia dengan hati itu menciptakan kedamaian dan ketentraman bagi manusia yang lainnya. Wallahu a’lam bishshawwab.
Selamat menyambut Hari Raya Idulfitri.
Editor: Nabhan