Ilmu memang ada silsilahnya. Guru yang baik akan mencetak murid yang baik. Setiap guru yang baik, ingin muridnya ada yang bisa jadi yang terbaik. Guru “mewariskan” legacy untuk murid-muridnya.
Tradisi dalam pesantren maupun studi keislaman sangat dekat tradisi silsilah ini. Termasuk dalam tradisi Sufisme, di mana silsilah sangat penting karena ada kaitannya dengan otoritas keilmuan. Saat ini, jaringan keilmuan guru murid sudah semakin luas dan mengglobal. Inilah yang saya temukan saat simposium di Indianapolis pada 5 Oktober 2018.
Simposium tentang Muslim Philanthropy and Civil Society ini ‘dikawal’ oleh dua orang sarjana, Dr Shariq Siddiqui (Muslim Philanthropy Initiative dan Direktur Eksekutif ARNOVA) dan Dr Scott C Alexander (Guru Besar Studi Islam, Direktur Catholic-Muslim Studies Program, Catholic Theological Union).
Awalnya, yang saya kenal hanya Dr Shariq Siddiqui. Sekitar tahun 2016, kami bertemu dan sama-sama diundang dalam forum workshop di Harvard Medical School, Global Health Delivery, Dubai UEA. Saya diundang dua kali, yaitu bulan Agustus dan Oktober 2016. Waktu itu, tema workshop sangat menarik, “Islamic Philanthropy and Health Delivery in the Muslim World.”
Peserta workshop hanya delapan orang. Kami mendiskusikan tentang seberapa besar kontribusi zakat dan filantropi berdampak pada layanan kesehatan di dunia Islam, dengan kasus Mesir, Turki, India-Pakistan, dan Indonesia. Pada pertemuan pertama, saya mewakili Indonesia sendirian, dan pertemuan workshop kedua saya ajak Pak Syafiq Mughni. Pada workshop kedua, orangnya ditambah. Sharon Siddiqui adalah satu tambahannya. Dia peneliti filantropi Islam dari lembaga nirlaba di USA.
Saat workshop pertama, saya diminta mempresentasikan filantropi kesehatan Muhammadiyah. Dalam forum itu, hampir semuanya dokter dan sekaligus Doktor. Saya yang Doktor saja dan satu Professor dari Turki seorang ahli politik.
Filantropi dan kesehatan adalah sebuah tema baru buat saya. Tentu ada beberapa bahan yang bisa saya sampaikan. Setidaknya, Muhammadiyah punya banyak klinik dan rumah sakit. Begitu pula dari India-Pakistan dan Mesir, banyak hal menarik diungkap tentang kontribusi lembaga charity dalam bidang kesehatan.
Nah, dalam forum tersebut saya menyadari bahwa Muhammadiyah “kaya data,” tapi maaf, kita masih miskin “olah data.” Para peserta workshop banyak yang antusias bertanya. Mereka kagum dengan peran Muhammadiyah di bidang kesehatan. Tapi ada beberapa pertanyaan “sederhana” yang tidak bisa saya jawab.
Chair dan beberapa dokter waktu itu bertanya, “berapa jumlah dokter yang anda punya? Apakah itu cukup untuk menggerakkan klinik dan Rumah Sakit Muhammadiyah? Dokter spesialis apa saja yang anda punya? Berapa jumlah orang yang berobat tiap tahunnya? Penyakit apa saja yang diidap pasien? Berapa banyak pasien yang bisa bayar dan berapa yang tidak bisa bayar? Berapa orang pengidap penyakit menular dan tidak menular? Berapa banyak orang miskin berobat dan berapa orang yang dibantu dana zakat?”
Waktu itu, saya hanya bisa tersenyum untuk menjawabnya. (Agar bisa menjawab beberapa pertanyaan “sederhana” itu, saya lantas buat proposal riset dan diajukan ke Ristekdikti. Tapi bagaimana hasilnya? Nihil!! Entah reviewer-nya yang tidak suka proposal begini, atau memang proposalnya yang payah?? Yang jelas, proposal ini tidak lolos!! Meskipun demikian, saya masih akan cari dana untuk topik riset yang satu ini).
Tujuan workshop yang digelar di Dubai pada waktu itu adalah bagaimana meningkatkan dan mengefektifkan dana filantropi Islam untuk kesehatan. Alhamdulillah, LazisMu dengan segala keterbatasannya, kini sudah mencoba ke arah sana. Dalam konteks ini pula, Sharon Siddiqui diundang dalam workshop kedua di Dubai. Dalam kesempatan inilah saya mulai kenal Sharon.
Saya senang karena diberi kesempatan oleh Sharon ke Indiana. Kami memang punya ‘lapak ilmu’ yang sama: filantropi. Dan dalam kesempatan tersebut saya bertemu banyak ilmuwan dan ahli filantropi Islam. Konon, pembahasan khusus zakat akan segera digelar.
Saya memang belum mengenal Scott C Alexander. Saya perhatikan, presentasinya bagus dan formulasi teoritisnya cukup kuat. Ia seorang chair dan organizer juga. Bahasa Arabnya fasih. Ternyata, Scott dari bidang ilmu lain, yaitu Studi Islam dan Teologi. Berbeda dari Sharon. Tapi bidang keilmuan Scott masih dekat dengan studi saya. Meski belum sempat bertegur sapa, di akhir simposium, kami sempat sedikit bincang-bincang.
“Hilman, anda dari Indonesia?” tanya Scott kepada saya. “Apakah anda kenal Syafaatun Al-Mirzanah dari UIN Sunan Kalijaga Jogja?”
“Tentu,” jawab saya. “Dr. Syafaatun adalah dosen saya dulu waktu undergrad,” tambah saya.
“Kalau begitu, anda juga murid saya, bil silsilah!” tegas Scott. “Karena saya gurunya Syafaatun sewaktu di Chicago,” ujarnya sambil tertawa.
Wah, senang sekali dengan info ini. Saya bertemu dengan gurunya guru…
Pada sekitar tahun 2004/2005, saat jalan-jalan ke Chicago, saya dan istri saya, Sofia Hilman Latief, serta anak saya, Muhammad Azka Latif, pernah mampir dan numpang menginap di apartemen Mbak Syafaatun di Chicago. Waktu itu, Mbak (Prof Dr) Syafaatun masih kandidat Doktor. Ia adalah produk masa keemasan dari Pesantren Pabelan, yang telah menghasilkan orang-orang hebat, termasuk Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, Yuniyanti Chuzaifah, dan lain-lain.
Akhirnya, semoga guru-guru yang masih semangat ini diberi kesehatan!