Inspiring

Siti Baroroh, Melawan Domestikasi Perempuan

5 Mins read

Foto deretan perempuan muda dari Indonesia maupun negeri lainnya tampak menghiasi cover majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi September Tahun 1955. Dalam keterangan foto tertulis, Drs. Siti Baroroh Tamimy dan Drs. St. Tudjimah bersama dengan kawan-kawannya dari berbagai negeri di asrama perguruan tinggi Mesir. Senada dengan pakaian yang dikenakan Baroroh maupun Tudjimah, tampak dalam foto, perempuan dari Mesir maupun Persia berkerudung dengan mengenakan pakaian ala Indonesia alias berkebaya. Foto tersebut sudah menunjukkan luasnya pertemanan dan jejaring Siti Baroroh Tamimy, yang sepuluh tahun kemudian menjadi Ketua ‘Aisyiyah 5 periode.

Saat berlangsung Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 6-13 Maret 1965 di Bandung, Indonesia, Siti Baroroh didaulat menjadi salah satu di antara tujuh orang delegasi Muhammadiyah dalam gelaran KIAA. Dari tujuh delegasi tersebut, lima di antaranya laki-laki dan dua perempuan. KIAA yang digelar di Bandung ini merupakan forum untuk membahas berbagai persoalan umat Islam di Afrika dan Asia serta peran strategis Islam di tingkat internasional.

Keikutsertaan Siti Baroroh dalam KIAA

Partisipasi Siti Baroroh dalam KIAA yang diikuti oleh 35 negara di Asia dan Afrika ini sangat strategis. Apalagi dalam KIAA tersebut dibahas persoalan krusial dalam beberapa Sidang Komite termasuk Komite Wanita yang diikuti oleh Baroroh, serta satu komite lainnya, yaitu Komite Pendidikan Dakwah Kebudayaan dan Penerangan. Komite Wanita diikuti oleh 18 orang delegasi dari Indonesia, Irak, India, Nigeria, Jepang, dan RRT.

Dalam laporan yang ditulis Baroroh di Suara ‘Aisyiyah, Baroroh mengungkapkan bahwa para delegasi dari negara lainnya mengagumi kemajuan perempuan Indonesia baik dalam aspek sosial, organisasi, pendidikan, bahkan peran politik.

Prasaran sidang disampaikan oleh delegasi Indonesia. Dari sidang komite Wanita, dihasilkan lima keputusan, 1) KIAA akan melibatkan perempuan dalam segala kegiatannya, 2) mendorong kemajuan perempuan, 3) memajukan posisi perempuan Islam di negara Afrika Asia, 4) mengupayakan lebih banyak kesempatan bagi keterlibatan perempuan dalam segala bidang, 5) mengusahakan keterpenuhan hak-hak perempuan termasuk hak politik perempuan untuk memilih dan dipilih hingga perlindungan perempuan dalam perkawinan dan perceraian. 6) mendorong perempuan agar dapat beribadah secara leluasa di masjid, 7) mendirikan organisasi Wanita Islam Afrika Asia untuk menggerakkan potensi perempuan setara dengan laki-laki.

Baroroh telah mengantisipasi jika dari beberapa poin keputusan tersebut dipandang kurang signifikan karena kebanyakan telah dicapai oleh perempuan Indonesia. Namun Baroroh mengingatkan bahwa pembahasan komite memang berpangkal dari situasi kebanyakan perempuan Islam di negara Afrika Asia yang nyatanya masih jauh tertinggal dari kondisi perempuan Islam di Indonesia.

Baca Juga  Muktamar Muhammadiyah, Sesekali Perlu Dibuka Oleh Sultan Yogyakarta

Justru, keterlibatan ‘Aisyiyah dalam forum internasional seperti KIAA yang direpresentasikan oleh Baroroh, menandai meluasnya peran ‘Aisyiyah di tingkat global, mewarnai dunia Islam dengan wawasan perempuan muslim berkemajuan, yakni Islam yang memuliakan perempuan tanpa diskriminasi yang tercermin dalam sekian keputusan tersebut.

Urgensi Keterlibatan Perempuan dalam Ranah Non-Domestik

Menurut Baroroh, dunia telah membuka mata bagi perempuan, bahwa perempuan perlu terlibat dalam usaha perdamaian dunia. Dalam skala global, potensi perempuan semakin diperhitungkan dalam me­ngatasi kesulitan umat manusia. Ia mencontohkan, berbagai aspek kehidupan selalu melibatkan peran perempuan, mulai dari ekonomi keluarga, industri, hingga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam pandangan Baroroh, meluasnya jangkauan peran perempuan merupakan panggilan zamannya. Perempuan dan laki-laki menjadi mitra sejajar yang bertanggung jawab terhadap suksesnya pembangunan. Dunia perempuan yang hanya berkutat pada masalah domestik telah usai. Perempuan perlu memikirkan kehidupan di luar rumah tangganya, berperan memajukan perempuan dan bangsanya.

Pandangan bahwa tempat perempuan hanyalah dalam rumah dan pekerjaannya hanyalah pekerjaan domestik, sudah dipandang kolot dan perlu diubah. Perubahan kehidupan sosial tersebut memunculkan perubahan nilai. Oleh karena itu, Baroroh menggarisbawahi pentingnya memperluas horison wawasan laki-laki sehingga dapat memahami pentingnya aktualisasi peran perempuan.

Dalam tulisannya ‘Wanita Muslim dan Etos Kerja’, Baroroh menyatakan bahwa meningkatnya kesadaran perempuan akan kedudukan, fungsi, hak, dan kewajibannya dalam hidup bermasyarakat menjadi motivasi kuat bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya dan berkontribusi lebih luas.

Hal tersebut, menurut Baroroh, sejalan dengan fungsi kekhalifahan yang diemban makhluk-Nya baik laki-laki maupun perempuan, yaitu berkewajiban membuat bumi dan seisinya bermanfaat bagi kehidupan. Baroroh menegaskan, peran kekhalifahan tersebut juga menunjukkan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan adalah setara, apalagi di hadapan sesama manusia.

Pentingnya Etos Kerja Perempuan

Dalam menjalankan peran kekhalifahan tersebut, Baroroh menegaskan pentingnya etos kerja perempuan. Etos tersebut dapat dimiliki dengan meningkatkan pengetahuan perempuan sebagai dasar saat menjalankan perannya.

Baca Juga  Bukan Hanya Slogan, Muhammadiyah Praktikkan Toleransi Melalui Vaksinasi Lintas Agama

Ia menyebutkan bahwa etos kerja perempuan sejatinya telah menjadi bagian dalam budaya bangsa Indonesia, sebagaimana tampak dalam sejarah Indonesia semenjak pra sejarah hingga zaman sejarah. Banyak relief pada candi-candi yang menggambarkan bahwa perempuan telah mampu baca tulis, menjaga tegaknya pengadilan, menjalankan pemerintahan, bahkan memimpin upacara keagamaan.

Etos kerja perempuan secara berkelanjutan tampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun Baroroh menyayangkan bahwa etos kerja tersebut belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Masih terdapat kesenjangan kedudukan dan peran perempuan. Untuk itu Baroroh mendorong agar terus diupayakan program yang mampu menjembatani kesenjangan di antara perempuan dari berbagai lapisan masyarakat. Catatan penting dari Baroroh yang masih saja relevan hingga saat ini.

Pengembangan keilmuan sebagai dasar dalam menumbuhkan etos kerja perempuan dipraktikkan sendiri oleh Baroroh. Perempuan kelahiran 23 Mei 1923 ini memang memiliki semboyan “Hidup saya harus menuntut ilmu.” Tak heran jika perjalanan, karir, dan kiprahnya mengundang decak kagum dan layak menjadi teladan. Tiga dunia yang disebutkannya, baik keluarga, karir, dan kemasyarakatan ia lakoni bersamaan.

Pendidikan dan Karir Siti Baroroh

Putri dari H. Tamim bin Dja’far, yang merupakan keponakan dari Siti Walidah sang tokoh ‘Aisyiyah, mengawali pendidikan dasarnya di SD Muhammadiyah, MULO HIK Muhammadiyah, Fakultas Sastra UGM (Sarjana Muda), Fakultas Sastra UI di Jakarta, dan meraih gelar sarjana pada 1952.

Baroroh kemudian memutuskan untuk mendalami Bahasa Arab di Cairo 1953-1955 bersama rekannya Tudjimah. Kala itu, masih langka perempuan menempuh pendidikan di luar negeri, dan ia berhasil melewatinya. Perihal studinya ke luar negeri, bahkan diberitakan pula dalam harian Kedaulatan Rakjat

Dunia pendidikan mengakui kiprah Baroroh. Ia mengabdikan diri sebagai pengajar di beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta. Di Universitas Gadjah Mada, ia telah mengajar di fakultas sastra sejak tahun 1949, menjadi Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM 1963-1975, dan menjadi dekan fakultas Sastra UGM selama dua periode tahun 1965-1968 dan 1968-1971.

Nama Baroroh sempat menjadi perbincangan di dunia pendidikan. Bagaimana tidak, pada tahun 1964, di usia 39 tahun, Siti Baroroh telah diangkat menjadi guru besar dalam Ilmu Bahasa Indonesia. Ia bahkan menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar guru besar.

Baca Juga  Munir Said Thalib, Pejuang HAM, Duta Universalitas Islam

Tidak hanya berkarir di dunia pendidikan, peran kemasyarakat Baroroh juga dikenal secara luas. Istri dari dr. Baried Ishom, Spesialis Bedah dan pernah menjadi Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini, dikenal aktif di berbagai organisasi seperti MUI Pusat, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan tentu saja organisasi perempuan ’Aisyiyah, wadah ia mengabdikan diri hingga akhir hayatnya.  

Baroroh aktif di ‘Aisyiyah sejak dari jenjang Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Gondomanan hingga Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Baroroh dipercaya menjadi Ketua Biro Hubungan Luar Negeri ‘Aisyiyah, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan, dan Ketua Bagian Paramedis. Selama 5 periode sejak tahun 1965-1985, Baroroh menjadi Ketua PP ‘Aisyiyah. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya, nama Baroroh kini juga digunakan sebagai nama aula di Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.

***

Jaringan Siti Baroroh memang luas. Ia kerap diundang ke berbagai acara internasional dan menjadi kesempatan yang efektif untuk memperkenalkan ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim berkemajuan. Dalam seminar di Harvard University, Amerika Serikat, Siti Baroroh menyampaikan materi “Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesian”.

Tidak sedikit peneliti maupun akademisi dari berbagai perguruan tinggi di dunia yang tertarik mengkaji tentang ‘Aisyiyah. Siti Baroroh selalu membawa nama ‘Aisyiyah dalam berbagai forum tingkat global sekaligus menjalin relasi dengan badan-badan internasional seperti UNICEF, UNESCO,WHO, The Asia Foundation, World Conference of Religion and Peace, UNFPA, UNDP, World Bank, dan masih banyak yang lainnya.

Berkat interaksinya dengan masyarakat internasional dan peran diplomasi Siti Baroroh, ‘Aisyiyah semakin dikenal di tingkat global. Jejaring gerakan ‘Aisyiyah semakin luas, dan itu berarti meluaskan dawah Islam dan Perempuan Berkemajuan di tingkat internasional. Jejaring di tingkat global maupun Inisiatif kemitraan dengan lembaga internasional yang dilakukan Baroroh menjadi fondasi bagi dakwah skala global ‘Aisyiyah.

Baroroh menunjukkan betapa pentingnya menjalin kemitraan dengan berbagai pihak secara luas untuk kemajuan perempuan dan kepentingan kemanusiaan; sikap yang telah dicontohkan Ahmad Dahlan saat menggerakkan Muhammadiyah. Kini kolaborasi dan kemitraan global bahkan menjadi salah satu kunci pembangunan berkelanjutan skala global sebagaimana menjadi salah satu tujuan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

Baroroh lagi-lagi adalah cermin dari dunia yang berubah, dunia yang terbuka pada kemajuan perempuan.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Redaktur Majalah Suara Aisyiyah
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds