Berawal dari tulisan sahabat sekaligus rekan perjuangan saya di IMM, Robby Karman (Sekjend DPP IMM) tentang “Ustaz Adi Hidayat: Hadiah Muhammadiyah Untuk Umat Islam” (29/02). Selanjutnya, tulisan ini mendapatkan respon dari penulis yang lain, yakni Hendra Hari Wahyudi yang menulis tentang “Din Syamsuddin: Hadiah NU untuk Muhammadiyah” (01/03).
Hanya berselang dua hari tulisan ini langsung mendapatkan tanggapan dari dua penulis (kontributor). Muhammad Muflih yang menulis tentang “Hadiah UAH untuk Saya” dan tulisan “Din Bukan Hadiah dari NU, tapi Becoming dan Konversi ke Muhammadiyah” dari Agusliadi. Ini menunjukan bahwa persoalan tranformasi ideologi dan pergerakan UAH dan Din Syamsuddin menarik untuk dibahas.
Perdebatan Soal UAH dan Din Syamsuddin
Robby Karman mencoba mengurai sejarah keterlibatan UAH di Muhammadiyah. Ia menyimpulkan bahwa UAH adalah “hadiah Muhammadiyah untuk umat Islam.” Hendra Hari Wahyudi mencoba membuat perbandingan dengan memaparkan sejarah Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua IPNU, dan menyimpulkan di awal narasi bahwa Din Syamsuddin adalah “hadiah NU untuk Muhammadiyah.”
Dua hari berikutnya, Muhammad Muflih mencoba eksis dengan menyentralkan pembahasan pada cerita beliau yang mendapat hadiah buku dari UAH (tepatnya, admin marketing bukunya). Dan akhirnya tulisan Hendra Hari Wahyudi mendapat kritikan dari Agusliadi yang menyimpulkan Din Syamsuddin bukan hadiah NU untuk Muhhammadiyah, tapi becoming dan konversi ke Muhammadiyah. Begitulah alur dari perdebatan penulis tersebut di ibtimes.id mengenai dua tokoh beken tersebut..
UAH dan Din Syamsuddin: dari Umat untuk Umat dan Bangsa
Ya, ketika kita mencoba menelusuri kisah UAH dan Din Syamsuddin, maka bisa saya pastikan, kisahnya sesuai dengan pemaparan penulis yang telah saya sebutkan di atas. Saya tidak bisa membantah bahwa UAH pernah menjadi pengurus Muhammadiyah/Ortom dan Din Syamsuddin pernah menjadi Ketua Cabang IPNU (Banom NU). Itu bagian dari realitas hidup kedua Tokoh tersebut.
Hanya saja dikotomi Muhammadiyah dan Umat Islam, atau NU dan Muhammadiyah, adalah hal yang kurang etis dilakukan oleh kader Muhammadiyah. Karena nyatanya, Muhammadiyah secara ideologis lebih mengedepankan persatuan dan kesatuan. Itu terbukti dengan lahirnya konsep “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah” (2015).
Bagi saya, NU dan Muhammadiyah adalah wadah (tempat) berhimpunnya umat Islam (Organisasi Islam) yang memiliki karakteristik dakwah masing–masing (berbeda), namun memiliki tujuan yang sama, yakni memajukan Islam, berlandaskan kebenaran, dengan tujuan perbaikan.
Dengan pengertian di atas, maka saya beranggapan pernyataan paling etis disematkan kepada UAH dan Din Syamsuddin adalah “dari umat untuk umat dan bangsa.” UAH adalah bagian dari umat Islam yang mendakwahkan tentang agama Islam. Sedangkan Din Syamsuddin adalah bagian dari umat Islam yang tidak hanya mendakwahkan Islam, lebih dari itu, beliau menjadi tokoh bangsa dengan segudang agenda persatuan antar agama.
Bukan Hadiah
Dalam Muhammadiyah memang ada pernyataan mengenai kader Muhammadiyah sebagai kader umat dan bangsa. Kader dalam Muhammadiyah tentunya legalitasnya didapatkan lewat proses pengkaderan, baik di tingkat Ortom ataupun Muhammadiyah. Sehingga saya beranggapan bahwa kader Muhammadiyah yang menjadi kader umat ataupun kader bangsa merupakan suatu peleburan identitas. Artinya, menjadi kader Muhammadiyah dan menjadi kader umat atau kader bangsa.
Bagi saya, Muhammadiyah, umat, dan bangsa adalah suatu keutuhan yang tidak bisa terpisahkan. Begitupun dengan NU, umat, dan bangsa. Sehingga di ranah keumatan dan kebangsaan NU dan Muhammadiyah adalah suatu keutuhan.
Saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah “hadiah” yang disematkan kepada UAH dan Din Syamsuddin. Karena realitasnya, UAH menjadi Dai, tidak atas dasar mandat (penugasan) dari Muhammadiyah sebagai organisasi. Begitupun Din Syamsudin menjadi kader Muhammadiyah tidak atas dasar mandat NU sebagai organisasi.
Pilihan Hidup UAH dan Din Syamsuddin
UAH dan Din Syamsuddin adalah manusia-manusia hebat yang mencerahkan umat dan bangsa. Keduanya memiliki keutamaan sebagai seorang yang alim. Baik UAH dan Din Syamsuddin tentunya memiliki komitmen pribadi untuk memajukan umat dan bangsa. Bedanya, UAH memilih dakwah dari luar oganisasi, sedangkan Din Syamsuddin lebih memilih dakwah lewat organisasi Muhammadiyah.
Kalaupun UAH pernah aktif dalam organisasi Muhammadiyah atau Ortom Muhammadiyah dan Din Syamsuddin aktif dalam NU atau Banom NU, itu merupakan realitas kehidupan keduanya. Dalam pemaknaannya, saya mengartikan hal tersebut sebagai pilihan hidup UAH dan Din Syamsuddin.
UAH lebih memilih berdakwah tanpa identitas organisasi Islam, sedangkan Din Syamsuddin lebih memilih melanjutkan proses berorganisasi lewat Muhammadiyah daripada NU. Oleh karenanya, saya beranggapan terlalu naif jika kita menyematkan predikat “hadiah” kepada dua tokoh Islam ini.
Selain dari itu saya juga ingin mengingatkan, bahwa dikotomi antara Muhammadiyah dan umat Islam ataupun Muhammadiyah dan NU adalah hal yang tidak begitu baik diperdebatkan. Sejatinya, Muhammadiyah dan NU adalah bagian dari umat Islam yang ada di Indonesia.
Akhir kata, semoga UAH dan Ayahanda Din Syamsuddin tetap berada pada koridor dakwah, dan selalu memproduksi narasi yang mencerahkan demi kemajuan umat dan bangsa Indonesia. Saya berharap dengan adanya tulisan saya ini, para pengamat, peneliti, atau penggemar UAH dan Ayahanda Din Syamsuddin bisa mengikuti jejak mereka dalam memajukan Islam dan bangsa Indonesia. Bukan mempersoalkan status mereka di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.