Tepat pada tanggal 16 Desember 1969, Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru pada usia 27 tahun. Kejadian tersebut diduga kuat disebabkan Gie menghirup gas beracun. Peristiwa kematiannya begitu menghebohkan masyarakat Indonesia pada saat itu. Mulai dari para akademisi, wartawan, aktivis, dan banyak pihak lainnya.
Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang menduga bahwa Gie, sapaan akrabnya, sebetulnya dibunuh oleh oknum Orde Baru pada masa itu. Hal ini lantaran ia dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah. Meskipun mangkat dalam usia yang relatif muda, buah pikiran dan karyanya cukup fenomenal. Bahkan, berbagai karyanya tersebut masih jadi perbincangan dan bahan diskusi sampai saat ini.
Lantas, sebetulnya apa yang istimewa dari Gie? Apa yang bisa dan telah diraih oleh seorang anak muda yang hanya hidup selama 27 tahun? Sampai-sampai namanya bak legenda yang terus terdengar dari setiap generasi ke generasi?
Soe Hok Gie
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942, tatkala perang dunia kedua sudah memuncak. Saat itu, Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang. Jika kita ingin bicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia, sedikit banyak kita juga harus memahami tentang latar belakang lingkungan pada saat Gie dibesarkan.
Bagi orang yang lahir di tahun 40-an, bisa dibayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia ibarat bayi. Yang baru belajar merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri. Saat itu Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga.
Gie kecil bersekolah di Sin Hwa School, kemudian masuk SMP Strada di daerah Gambir, lalu melanjutkan masa remaja di SMA Kanisius, Jakarta jurusan sastra. Masa mudanya dihabiskan di Jakarta, dimana dia bisa melihat potret ibukota Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial dan politik.
Jika anak remaja zaman sekarang tumbuh dengan sinetron dan “reality” show selebriti. Gie menghabiskan masa remajanya dengan bolak-balik perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta. Gie mengisi masa remajanya dengan membaca puluhan (atau mungkin ratusan) “dongeng” sastra klasik, filsafat, sejarah, dan biografi tokoh-tokoh yang mengubah dunia.
Pada saat berumur 15 tahun, Gie telah membaca tentang dinamika politik dari berbagai sudut belahan dunia. Tentang berbagai macam pergolakan sejarah pemikiran yang bermunculan dari zaman ke zaman. Dari mulai filsafat klasik Yunani, hingga ide-ide utopis sebuah masyarakat yang ideal seperti Marx, Paine, Hobbes, Hegel dan sebagainya.
Dia terbuai dengan banyak kisah sejarah jatuh-bangunnya peradaban. Tentang pemikiran-pemikiran progresif tokoh-tokoh dunia yang memerdekakan rakyatnya, seperti Gandhi, Martin Luther K Jr, Kartini, dan sebagainya. Gie juga mengapresiasi sastra kelas dunia yang menggambarkan romantisme emosi dan pemikiran setiap zaman, seperti Nietzsche, Tagore, A.Camus, G.Orwell, Steinbeck, Pramoedya, dan seterusnya.
Aktivis dan Intelektual Muda
Setelah lulus SMA, Gie memilih untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah di UI. Pemahamannya tentang sejarah, politik, dan ekonomi diuji di masa remaja, ketika Indonesia berada dalam masa paling kritis sepanjang sejarah.
Pada saat itul ia memenuhi panggilan sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi. Hal demikian dilakukannya agar setiap lapisan masyarakat Indonesia memahami masalah di negaranya. Sehingga masyarakat bisa terlibat dalam menentukan arah hidup bangsa ini.
Gie juga dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintah era Soekarno. Disamping itu, ia juga menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional. Sebelumnya, gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Lantas, kenapa Gie mengkritik Presiden Soekarno? Bukankah Soekarno itu dikenal sebagai Presiden yang baik?
Penduduk Indonesia saat ini mungkin memandang Soekarno adalah pahlawan Indonesia nomor wahid. Bapak proklamator yang memperjuangkan kemerdekaan RI secara intelektual, sekaligus sebagai Presiden pertama RI yang disegani dunia internasional. Tidak bisa dimungkiri, Soekarno telah berperan besar bagi bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Namun, sosok Soekarno juga bukan berarti seorang yang sempurna dan tanpa cacat. Ada masa dimana kebijakan politiknya begitu banyak dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya demi kepentingan pribadi atau golongan. Sehingga di masa akhir pemerintahan Soekarno, ada begitu banyak kesewenangan politik seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ditambah lagi dengan sistem demokrasi terpimpin yang mengarah pada otoritarianisme. Posisi Gie pada saat itu jelas menentang Soekarno sebagai seorang politikus, tapi bukan berarti Gie tidak menghormati Soekarno. Dalam salah satu catatan hariannya, Gie menulis: “Saya kira saya menyukai Soekarno sebagai seorang manusia, tapi sebagai seorang pemimpin, tidak!”.
Manusia Merdeka
Keberanian Gie pada saat itu, barangkali dinilai naif bagi sebagian orang, karena dianggap tidak sayang nyawa. Tapi bagi Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Seorang teman Gie dari Amerika menulis surat kepadanya yang menyatakan bahwa Gie akan selalu menjadi intelektual yang bebas tapi juga seorang pejuang yang sendirian. Gie menjawab dengan kata-kata ini: “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka”
Suatu ironi yang dialami Gie menjelang kematiannya adalah ketika semua orang lambat laun menjauhi dirinya karena takut dianggap terlibat dan berkawan dengan pembela PKI. Pada salah satu tulisan catatan hariannya, ia menulis bahwa dia selalu merasa dihargai oleh ayah dari gebetan-nya sebagai seorang pemuda yang cerdas, jujur, dan berani.
Namun demikian, dia (ayah si wanita) tetap tidak menyetujui hubungan Gie dengan putrinya karena dinilai terlalu berbahaya. Banyak orang-orang yang mengagumi dan membutuhkan dirinya, tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemaninya untuk berjuang bersama. Mungkin itulah tamparan sekaligus ujian terbesarnya sebagai orang yang memutuskan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam melawan kesewenang-wenangan.
salah satu impian Soe Hok Gie yang sempat ia tulis: “Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama, buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik”.
Editor: Nirwansyah/Nabhan