Urusan penyingkatan maupun akronim memang semacam menjadi senjata para rezim. Soekarno telah sukses “menjual” akronim-akronim berdikari, ampera, ataupun dwikora sehingga setidaknya terekam dalam KBBI. Namun, penggantinya, Soeharto, tak kalah sukses merekayasa akronim untuk menjadi sebuah komoditas massal. Kendati frekuensinya tidak segencar Orde Lama, tetap saja Soeharto dan bahasa pembangunan memiliki hubungan yang sangat erat.
Soeharto dan Bahasa Pembangunan
Bahasa Orde Baru, menurut Dadang (2020), seakan-akan dibuat sebagai antitesis dari bahasa Orde Lama, tak terkecuali akronim (Sekadar diketahui lagi, pemilihan istilah “lama” dan “baru” diperdebatkan karena “lama” berkonotasi negatif dan “baru” lebih bernuansa positif). Litsus alias penelitian khusus, misalnya, merupakan tahapan yang mesti dilalui warga saat itu agar bisa menjadi pegawai negeri. Dalam konteks ini, mereka wajib terbebas dari berbagai tindakan radikal terhadap negara atau bukan keturunan keluarga yang pernah dianggap berkhianat terhadap negara.
Selain itu, ada tritura yang merupakan akronim dari tri (tiga) tuntutan rakyat. Isinya, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), rombak kabinet dwikora, dan turunkan harga. Ketiga-tiganya sangat berkelindan dengan era Soekarno. Di rezim Soeharto, istilah komunis paling dimusuhi. Rezim Soeharto selama 32 tahun itu pula yang kerap direkam untuk dijadikan materi dalam sebuah karya sastra. Leila S. Chudori bahkan mewujudkannya dalam dua novel: Pulang (2013) dan Laut Bercerita (2017).
Akronim berikutnya yang cukup populer, sebagaimana dicatat Dadang dalam buku Bahasa Rezim, antara lain repelita, inpres, siskamling, luber, jurdil, juklak, dan juknis. Satu akronim lagi yang menjadi “hantu” bagi masyarakat, yaitu petrus. Dalam KBBI, petrus alias penembak misterius dimaknai secara lebih positif: operasi rahasia pemerintah pada 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi dengan melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat. Sebuah klaim sepihak yang menunjukkan bahwa pemerintah telah merekayasa bahasa.
Namun, yang lebih menonjol di era Soeharto adalah bahasa ekonomi dan pembangunannya. Itu tak lain buntut dari slogan “ekonomi dan pembangunan adalah panglima”. Oh, ya, (kembali ke) Pancasila merupakan misi lain yang diusung rezim ini. Singkatan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) begitu masif dipasarkan kala itu.
Penjulukan
Jauh sebelum penjulukan atau labelisasi “receh” muncul dalam beberapa tahun belakangan ini, seperti “cebong”, “kampret”, “kadrun”, atau “Togog”, Orde Baru sudah sering mempergunakannya. Bahkan Orde Lama pun telah menerapkannya. Dua contohnya, sebagaimana ditulis Dadang, adalah antirevolusi dan nekolim (neokolonialisme imperialisme), pelabelan bagi mereka yang menentang atau beda pemahaman terkait revolusi.
Tujuan penjulukan/labelisasi (labelling) tak lain adalah membuat kategorisasi dan marginalisasi terhadap liyan. Di era Orde Baru, liyan itu bisa dilabeli “ekstrem kanan”, “ekstrem kiri”, “anti-Pancasila”, “subversif”, “anti-pembangunan”, “antek Orla”, “komunis”, dan “provokator”.
Istilah subversi, yang bermakna gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang, justru dijadikan serangan balik oleh Wiji Thukul dalam puisinya, Peringatan.
…Apabila usul ditolak tanpa ditimbang //Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan //Dituduh subversif dan mengganggu keamanan //Maka hanya ada satu kata: lawan!
Ternyata, julukan di dunia olahraga juga dimulai pada era Orde Baru. Bonek, Jakmania, dan Viking merupakan penjulukan oleh masing-masing kesebelasan asal Persebaya (Persebaya), kesebelasan asal Jakarta (Persija), serta kesebelasan asal Bandung (Persib).
Eufemistis
Eufemisme merupakan persoalan laten. Tak selalu berarti negatif seharusnya. Sebab, menurut Gorys Keraf, kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari bahasa Yunani euphemizein yang berarti mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik.
Akan tetapi, di tangan penguasa, ia bisa menjadi alat untuk mengaburkan transparansi. Rezim Soeharto memanfaatkan penghalusan ini sebagai cara untuk mengaburkan fakta. Siapa pun yang tumbuh besar di era Orde Baru tentu masih bisa mengingat betapa menakutkannya buntut dari slogan ”atas nama stabilitas”. Yang tak sepaham disingkirkan. Sebab, hanya ada satu versi tunggal atas berbagai peristiwa.
Dalam buku Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa, Anang Santoso mewedarkan diksi-diksi eufemistis yang keap didayagunakan rezim Soeharto. Sebut saja penyesuaian harga (seharusnya kenaikan harga), keluarga prasejahtera (seharusnya keluarga miskin), bantuan asing (seharusnya pinjaman/utang), penggunaan fasilitas negara (seharusnya penyelewengan), dan daerah belum berkembang (seharusnya daerah tertinggal).
Sementara itu, Dadang menulis kata-kata penghalusan seperti rawan pangan untuk kondisi kelaparan. Sebab, dalam pikiran kita makna rawan pangan tidak menghadirkan bayangan antrean orang-orang yang kelaparan. Korupsi juga pernah berubah wajah menjadi salah prosedur, kesalahan administrasi, atau penyalahgunaan kewenangan.
Slogan dan Propaganda
Slogan dan propaganda nyatanya juga gencar dipakai oleh rezim Soeharto. Meskipun, gaya komunikasinya tidak sampai meledak-ledak seperti Soekarno. Ia, kalau boleh dibilang, merupakan pemimpin berdarah dingin.
Tujuan slogan dan propaganda itu tak lain untuk membikin masyarakat terpukau atau memercayai janji-janji pemerintah dalam menyejahterakan rakyat. Salah satu yang begitu deras dilontarkan adalah slogan “trilogi pembangunan”. Ada pula slogan “pemurnian Pancasila dan UUD 1945” serta “koreksi total” yang bertujuan untuk membedakan dengan pendahulunya, Soekarno. Karena itu pula, Soeharto memakai sistem pemerintahan demokrasi Pancasila.
Baik demokrasi Pancasila (Soeharto) dan demokrasi terpimpin (Soekarno), ”Kedua presiden Indonesia ini (Soekarno dan Soeharto) punya watak yang hampir sama: mabuk kekuasaan,” tulis Buya dalam buku Islam dan Politik. ”Soekarnoisme sama sekali bukan jawaban untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Orla dan Orba sama-sama berkesudahan dan malapetaka politik, ekonomi, dan moral. Risikonya hanya satu: kehancuran.”
Di samping empat sarana tadi (akronim, penjulukan, eufemistis, slogan-propaganda), sebetulnya masih ada sedikitnya dua cara lain yang digunakan Orde Baru dalam politisasi bahasa yang dicatat Dadang. Ada metafora dan personifikasi serta technical reasioning. Praktik politisasi bahasa Soeharto memang amat beragam. Hal itu menunjukkan bahwa rezim ini tahu betul faedah bahasa sebagai alat kekuasaan. Sampai-sampai Ariel Heryanto, Ben Anderson, hingga Goenawan Muhamad mendokumentasikannya dalam buku bertajuk Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Demikian paparan tentang Soeharto dan bahasa pembangunan ala Orde Baru.
Editor: Nabhan