Oleh: Basrowi*
“Sentuhlah Aku dari Hatiku” itulah pengakuan seorang mantan narapidana teroris dalam acara Dialog Deradikalisasi & Peluncuran Aplikasi dengan tema Pemberdayaan Ekonomi Mantan Narapidana Terorisme Melalui Aplikasi LOCALOV. Agenda ini dilaksanakan pada tanggal 13 November 2019 oleh Program Studi Terorisme di sekolah kajian stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia di Salemba yang juga dihadiri oleh Menteri Agama Jend TNI (Purn) Fakhrul Razi.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, deradikalisasi telah gagal dengan berbagai data dan argumentasinya. Banyak juga yang mengatakan bahwa, deradikalisasi sedang mencari bentuknya. Lepas dari semua itu, program tersebut perlu dievaluasi dan disertai perbaikan secara terus menurus, sehingga mampu menghasilkan dampak yang positif.
Sulitnya Deradikalisasi
Proses deradikalisasi merupakan usaha yang sangat sulit untuk dilakukan, kalau tidak boleh dikatakan mustahil. Karena ketika seseorang sudah terpapar paham radikal, proses untuk menyembuhkannya (menghapus dari memori mind nya) sangatlah sulit. Upaya itu membutuhkan waktu yang sangat lama bahkan hingga seumur hidupnya. Berbanding terbalik dengan proses mempengaruhinya yang menurut ahli hanya membutuhkan waktu 2 hingga 4 minggu.
Mengingat upaya deradikalisasi sangat sulit untuk dilakukan, maka perlu melihat proses dan penyebabnya, karena banyak pelaku terorisme yang dilatarbelakangi oleh masalah ideologi, ekonomi, dan lainnya. Proses deradikalisasi yang dilakukan selama proses hukuman banyak dilakukan melalui counter ideology dan metode tauhid lainnya, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak pasca mereka keluar dari hukuman, juga masih tanda tanya besar efektivitasnya.
Sebagaimana diketahui, banyak sekali lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang telah melakukan upaya deradikalisasi melalui berbagai cara, dari yang bersifat pembinaan, pendekatan ideologi, hingga pendekatan ekonomi. Namun alih-alih berhasil, banyak di antara mereka yang ditolak oleh para narapidana dan mantan narapidana teroris, lantaran salah dalam pendekatan.
Penulis sendiri bersama Ketua Program Studi terorisme UI, sedang menulis tentang pengembangan model deradikalisasi dengan pendekatan ekonomi syariah. Hasilnya, lebih mengarah para semangat para mantan napiter untuk melaksanakan dan mengembangkan ekonomi syariah yang diniliai bebas dari maitsir, ghoror, haram, dan riba.
Lepas dari semua itu, berdasarkan hasil wawancara dengan mantan napiter, sebut saja JKI, mengatakan, “Kalau mau melakukan pembinaan kepadaku, para mantan Napiter, sentuhkan aku dengan hati.” Proses ini menurut dia, merupakan cara yang paling ampuh dan menyentuh sehingga tidak mendapatkan penolakan atau perlawanan.
Upaya ini kelihatannya mudah, akan tetapi sangat sulit untuk diterapkan, karena untuk menyentuh hati mereka sangatlah sulit. Hati mereka sangat bervariasi, baik dilihat dari latar belakang maupun dari tingkat keparahan paparan.
Soft Deradikalisasi
Bagi mereka yang belum tinggi tingkat paparannya, mungkin lebih mudah, akan tetapi bila tingkat paparannya sudah sangat tinggi (akut), maka akan sangat sulit karena mereka tidak mau mendengarkan. Jangankan untuk menyentuh hatinya, diajak berbicara saja sangat sulit. Strategi mendekati dalam bentuk familierisasi muncul manakala mereka telah mempunyai rasa trust. Trust tersebut baru dapat dicapai manakala dapat melakukan deradikalisasi secara soft.
Para narapidana dan mantan napiter membutuhkan pendekatan yang paling pas dengan situasi dan kondisi psikologis mereka. Oleh sebab itu, perlu ketulusan hati yang tinggi dalam membangun kepercayaan dan keterbukaan hati para napiter dan mantan napiter. Laksana Pintu yang terkunci, sangat sulit untuk membuka pintu tersebut manakala belum ditemukan kunci yang benar-benar pas dan cocok. Apabila telah ditemukan kunci yang pas dan pintu hati mereka telah terbuka maka berbagai upaya internalisasi deradikalisasi termasuk yang soft deradikalisasi akan sangat mudah untuk dilakukan.
Ekonomi syariah sebagai upaya dalam proses soft deradikalisasi diyakini akan lebih berhasil daripada pendekatan ekonomi konfensional. Pemahaman agama para mantan Napiter dalam aqidah dan muamalah sudah tidak diragukan lagi, Oleh karena itu, manakala pendekatan yang digunakan untuk soft deradikalisasi yaitu dengan pendekatan ekonomi syariah diharapkan lebih mudah diterima oleh mereka.
Kebijakan negara dalam proses deradikalisasi baik yang bersifat prefentif maupn kuratif, perlu dievaluasi terus menerus sehingga ke depan bisa lebih baik. Kebijakan negara dalam proses membatasi penggunaan celana cingkrang dan cadar, perlu dilakukan secara arif dan bijaksana. Penanganan deradikalisasi dengan menggunakan metode soft deradikalisasi, akan lebih mudah dilakukan karena para petugas dalam melaksanakan proses tersebut diharapkan selalu menggunakan pendekatan dengan hati.
Upaya Selanjutnya
Gerakan mereka yang saat ini lebih bersifat individu dalam melakukan aksi teroris membutuhkan penangangan yang lebih halus lagi, termasuk kepada mereka yang belum terpapar. Perkembangan kecanggihan technology digital yang sangat cepat yang bisa dipelajari dan diakses oleh siapapun merupakan hal yang sangat bahaya bagi keutuhan bangsa dan negara, sehingga semua pihak yang terkait dalam proses deradikalisasi perlu penguatan sumber daya manusia di bidang tersebut.
Kemampuan SDM di kepolisian, Kemenkominfo, intelijen, dan lembaga lain yang terkait dalam men-counter konten-konten yang berbau radikal sangat dibutuhkan. Upaya yang terus-menerus yang tidak mengenal kata jemu, perlu terus dilakukan. Mengingat gerakan mereka sangat cepat, dan menyebar laksana virus.
Akhir kata, metode soft deradikalisasi patut untuk dipertimbangkan dalam pelaksanaan deradikalisasi, manakala menghendaki hasil yang lebih maksimal.
*) Pengamat Sosial. Alumnus S3 Ilmu Sosial UNAIR Surabaya dan S3 MSDM UPI YAI Jakarta.