Rezimentasi Agama terjadi karena pemerintah terjebak pada cara berfikir homogenitas. Cara berfikir yang mendorong masyarakat harus menjadi seragam satu pola. Jika ada yang berbeda dianggap musuh, berbahaya dan menggangu kenyamanan.
Mereka tidak bisa menerima pluralitas pemahaman atau kepentingan politik keagamaan. Seolah-olah yang benar itu pemahaman pemerintah.
Pola pikir homogenitas itu seperti cara berfikir era Pemerintahan Orde Baru. Dan tampak pola kebijakan rezim Kemenag saat ini mirip-mirip Era Orba. Ini sangat berbahaya, karena berdampak pada susahnya menerima perbedaan dan berpotensi terjadi konflik dan gesekan antar kelompok masyarakat.
Rezimentasi Agama; Menyoal Sertifikasi Ulama atau Mubaligh
Munculnya program sertifikasi Ulama atau Mubaligh menjadi salah satu contoh adanya Rezimentasi Agama yang sedang dimainkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Pemerintah lewat Kemenag ingin menyatukan seluruh pemahaman keagamaan dan pola dakwah para Ulama dan Mubaligh dalam satu frame yang disepakati dan dikehendakinya.
Program ini berdampak pada terganggunya aspek demokrasi keagamaan, bahkan mengarah pada otoritarianisme pemerintah terhadap kehidupan beragama.
Program sertifikasi Ulama atau Mubaligh menunjukkan Negara terlalu masuk pada wilayah teknis keagamaan. Menurut saya, hal itu tidak baik dalam proses konsolidasi demokrasi.
Menurut saya, biarkan Ormas-Ormas saja yang melakukan sertifikasi terhadap Ulama dan Mubaligh. Jika Ormas itu sudah diakui sah oleh Undang-Undang maka harusnya pemerintah mengembalikan ke Ormas saja wewenang sertifikasinya. Sehingga menjadi penting untuk para Mubaligh didorong untuk terafiliasi dengan Ormas-Ormas keagamaan yang ada dan sah di Indonesia. Sehingga, kalau terjadi apa-apa dengan para Mubaligh maka ormasnya yang bertanggungjawab.
Mengapa begitu? Karena setiap Ormas memiliki paham keagamaan yang berbeda-beda. Jika dipaksakan sama dengan pemerintah, maka standart sertifikasi itu pakai standar apa? Apak standart Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi atau Imam Hambali, pasti sulit.
Pemerintah Tidak Perlu Repot
Sebenarnya pemerintah tidak perlu repot melakukan sertifikasi Mubaligh atau Ulama. Biarkan Ormas-ormas saja yang melakukan sertifikasi Ulama dan Mubaligh dengan standar paham keagamaanya masing-masing.
Jikalaupun pemerintah ingin melakukan sertifikasi, maka yang disertifikasi itu organisasinya bukan Ulama atau Mubaligh.
Jadi, standar sertifikasinya dapat dilihat pada status ormasnya. Apakah sudah sah sesuai dengan UU Ormas atau tidak? Sehingga pemerintah dalam bekerja memiliki payung hukum yang jelas.
Maka, jika sertifikasi Ulama atau Mubaligh tetap dipaksakan dalam satu frame menurut Pemerintah/Kemenag, pasti akan susah dan akan kembali pada hegemoni mayoritas keagamaan.
Kebijakan tersebut menunjukan seolah-olah Pemerintah/Kemenag ini pengusung moderasi dan toleransi, tetapi terjebak pada nilai-nilai yang tidak moderat dan tidak toleran. Terjebak pada kepentingan politik praktis.
Sembunyi dibalik gerakan moderasi dan toleransi, padahal sebenarnya praktik yang dilakukan jauh dari nilai-nilai moderasi dan toleransi.
Editor: Soleh