Kita sering mendengar ungkapan “jangan bawa Muhammadiyah ke dalam politik (praktis)”, sehingga organisasi ini lebih sering menjaga jaraknya dengan partai politik. Meski banyak sekali kader-kader yang masuk ke berbagai partai, namun Muhammadiyah secara keorganisasian tidak pernah dukung-mendukung kepada partai tertentu. Di Jawa Timur sendiri, pernah ada suatu gerakan yang dinamakan jihad politik Muhammadiyah yang lebih dikenal dengan istilah “Jipolmu” di tahun 2019 lalu. Sebagai upaya ijtihad, Jipolmu terbilang sukses meski dengan berbagai macam dinamika yang ada.
Meski sejarah mencatat, Muhammadiyah pernah dekat dengan politik praktis di kisaran tahun 1945-1955 yakni dengan Partai Masyumi dengan menjadi anggota istimewa. Namun hasil keputusan Muktamar Ujung Pandang tahun 1971 yang memutuskan Muhammadiyah tidak terikat dengan partai politik mana pun. Sehingga membuat Muhammadiyah hingga kini sedikit ada jarak dengan politik praktis (partai).
Banyak Kader Muhammadiyah yang Masuk Partai
Di masa awal era reformasi, Muhammadiyah pernah diidentikan dengan sebuah partai. Bahkan kader-kadernya banyak berada di struktur partai. Tetapi seiring pola perpolitikan yang semakin dinamis, Muhammadiyah semakin banyak warna dengan banyaknya kader-kader yang mewarnai di berbagai partai politik. Dan ini menarik, sehingga Muhammadiyah tidak hanya diidentikan dengan partai tertentu saja. Kita bisa bilang “jaga jarak dengan partai”, namun banyak di struktural jadi pengurus partai. Tapi itu sah-sah saja, selama tidak menunggangi organisasi untuk ‘hawa nafsu’ politik pribadi. Namun harusnya saling kolaborasi, dengan menghormati prinsip masing-masing.
Kini, hawa politik dari Pemilu tahun 2024 sudah menyeruak ke permukaan. Berbagai baliho poster sudah banyak terpaku di pepohonan, serta berjejeran di tepian jalan. Bahkan di beberapa grup WhatsApp organisasi lebih banyak membahas copras-capres daripada merencanakan kapan pengajian. Hal ini menandakan bahwa hidup kita memang tidak terlepas dari soal politik, dan soal politik tidak terlepas dari soal kebijakan. Muhammadiyah sebagai kekuatan yang amat besar perlu untuk mempersiapkan cara dalam menghadapi tahun politik.
***
Karena Muhammadiyah adalah organisasi kelas dunia, maka sudah tentu ia tau bagaimana cara menghadapi tahun politik. Dan memang serta sudah seharusnya ada kader-kader di perhelatan pemilihan nanti, entah itu di legislatif, atau bahkan di eksekutif. Bisa jadi calon anggota DPRD, DPD, DPR RI, atau bahkan Capres atau Cawapres pun rasanya mampu dan Muhammadiyah punya banyak stok. Biar apa? Biar hanya tidak jadi penggembira saja, biar kita mampu menjadikan bagian dari mengawal cita-cita luhur bangsa ini.
Penulis sendiri sepakat dengan yang dikatakan Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, meski banyak kader Muhammadiyah di partai, jangan membawa misi partai masuk ke organisasi, tapi bawa dakwah Muhammadiyah dimanapun kader itu berada. Bukan pula memanfaatkan suara warga (Muhammadiyah) saat Pemilu tapi ketika sudah jadi tidak ada sumbangsih apapun kepada Persyarikatan. Jika ada pun tapi masih di persenin (potongan), maka itu sudah jelas hanya memanfaatkan suara untuk kepentingan dirinya atau partainya sendiri.
Muhammadiyah Tidak Boleh Menjauh dari Pemerintah
Maka, ketika banyak kader yang mengisi di pelbagai posisi strategis, mulai dari legislator, Menteri, Wamen, bahkan Presiden ataupun Wapres bisa menjadi ladang jihad dan amalnya dalam membantu masyarakat umum, khususnya warganya sendiri (Muhammadiyah). Itu semua dapat diperoleh ketika dekat dengan politik. Muhammadiyah sedari dahulu tidak pernah menjauh dari Pemerintah atau pun menjadi oposisi, Muhammadiyah selalu mendukung program yang baik, dan selalu mengingatkan ketika Pemerintah dinilai kurang baik.
Sikap inilah yang harusnya kita sebagai warga akar rumput miliki, bukan seakan menjadi oposisi, atau bahkan bersikap antipati. Karena politik itu dinamis, segalanya bisa berubah sesuai kesepakatan dan kepentingan, maka kita jangan sampai terlalu fanatis kepada salah satu calon, salah satu partai. Bukankan fanatik adalah ciri orang yang bodoh? Kata KH. Ahmad Dahlan begitu sih, ya! Maka, senada dengan yang disampaikan Prof. Abdul Mu’ti, jangan membawa misi partai ke Persyarikatan, namun bawalah dakwah Muhammadiyah melalui partai-partai yang ada.
Mari Saling Mendukung
Memilih adalah hak konstitusional sebagai warga negara, dan mendukung dengan santun adalah pilihan. Maka jangan sampai ketika kita mendukung A menjelekan yang B, ketika yang A buruk kita tetap anggap B yang lebih buruk. Ingat, jika nanti A dan B sudah satu kereta berjalan dijalan yang sama, kita masih tetap anti A dukung B ataupun sebaliknya, maka kita hanya akan jadi bahan tertawaan oleh keadaan. Politik haruslah di sikapi dengan kedewasaan, dewasa dalam menghadapi dinamika yang ada.
Oleh karenanya, mari kita dukung semua kader di partai apapun yang ia pilih selama dalam misi kebaikan. Yang terpenting, ketika Persyarikatan memanggil maka harus saling menguatkan. Kita hormati pilihan politik masing-masing pribadi, dan tidak mencampur-adukan ke dalam organisasi. Dan semoga para kader yang berjuang melalui partai apapun diberi kemudahan, dengan tidak lupa terhadap Persyarikatan, jika memberi juga tidak menarik persenan. Tidak datang ke rumah besar (Muhammadiyah) hanya untuk meraup dukungan, suara-suarakanlah Muhammadiyah, jangan cuma mencari suara di Muhammadiyah! Mari kita ciptakan suasana yang adem ayem di masa tahun politik, jangan malah kita jadi minyak tanah di tengah api yang membara.
Editor: Soleh