Pendahuluan: Ketika Sejarah Menuntut Keadilan
Setiap bangsa memiliki kenangan yang tak selalu mudah untuk dihadapi. Ada bab sejarah yang harum dengan kejayaan, namun juga getir oleh luka yang belum sepenuhnya sembuh. Presiden Suharto adalah salah satu figur yang berdiri di tengah dua wajah sejarah itu—dipuja sebagai Bapak Pembangunan, namun juga dikritik sebagai simbol otoritarianisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kembali wacana mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Suharto. Reaksi publik pun terbelah: sebagian menilai jasa beliau terlalu besar untuk diabaikan, sebagian lain merasa luka masa lalu belum mendapat penyelesaian. Namun, diskursus ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sedang mencari cara baru untuk memahami masa lalunya—bukan dengan dendam, melainkan dengan hikmah.
Jejak Sejarah dan Kontradiksi Sosok
Suharto bukan sekadar figur politik; beliau adalah simbol fase panjang perjalanan bangsa. Lahir dari keluarga sederhana di Kemusuk, Yogyakarta, beliau meniti karier militer dengan ketekunan dan kecerdikan yang menonjol. Julukan The Smiling General yang diberikan majalah Times mencerminkan citra kepemimpinan yang tenang, tersenyum, namun penuh perhitungan strategis.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami transformasi besar-besaran. Dari negara dengan inflasi lebih dari 600% pada pertengahan 1960-an, Suharto membawa Indonesia menuju stabilitas ekonomi. Beliau memelopori pembangunan infrastruktur, swasembada pangan, dan kebijakan luar negeri yang pragmatis-strategis. Banyak yang menyebut masa Orde Baru sebagai era “tinggal landas” Indonesia menuju setara dengan negara maju.
Namun di balik capaian itu, sejarah juga mencatat sisi gelap kekuasaan: pembatasan kebebasan sipil, maraknya praktik KKN, serta sejumlah tragedi kemanusiaan yang menyisakan luka kolektif. Dalam konteks inilah, menimbang kepahlawanan Suharto menjadi lebih dari sekadar soal penghargaan individu; ia menjadi soal moral sejarah dan tanggung jawab bangsa.
Kepahlawanan dan Memori Kolektif
Pertanyaan mendasar yang harus diajukan adalah: apa makna kepahlawanan dalam konteks bangsa yang sedang membangun kesadaran sejarahnya?
Kepahlawanan bukan sekadar tentang siapa yang berjasa, tetapi bagaimana jasa itu dipahami dalam bingkai nilai moral dan kemanusiaan. Ia bukan penghargaan yang diberikan karena tanpa cela, melainkan karena kontribusi seseorang membawa dampak besar bagi kemajuan bangsanya.
Dalam perspektif ini, Suharto mewakili paradoks kepahlawanan modern. Di satu sisi, ia menjadi simbol ketertiban, pembangunan, dan nasionalisme pragmatis-strategis. Di sisi lain, ia menjadi representasi dari bahaya kekuasaan yang tak terkendali. Mengakui jasa Suharto tidak berarti menutup mata terhadap kesalahannya; sebaliknya, ia menuntut bangsa ini untuk bersikap dewasa—mampu menilai sejarah secara utuh dan tidak dikungkung oleh emosi politik sesaat.
Seperti dikatakan oleh sejarawan Benedict Anderson, bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, tetapi bangsa yang mampu “mengolah kenangan” menjadi kebijaksanaan. Diskursus kepahlawanan Suharto dengan demikian bukan soal memberi atau menolak gelar, melainkan bagaimana bangsa ini membangun kesadaran sejarah yang jernih dan adil.
Dimensi Rekonsiliasi dan Etika Mengingat
Bangsa yang terus memusuhi masa lalunya akan terjebak dalam lingkaran dendam dan kecurigaan. Di sisi lain, bangsa yang melupakan masa lalunya akan kehilangan arah moral dan identitas. Rekonsiliasi adalah jalan tengah—bukan penghapusan kesalahan, melainkan pengakuan yang tulus atas jasa dan dosa, serta komitmen untuk belajar darinya.
Dalam konteks Suharto, rekonsiliasi berarti menempatkan beliau sebagai bagian dari narasi kebangsaan, bukan di luar atau di atasnya. Generasi muda perlu mengenal Suharto sebagai manusia sejarah—pemimpin yang bekerja keras membangun, tetapi juga manusia yang tidak lepas dari kekhilafan kekuasaan.
Pendidikan sejarah di sekolah dan ruang publik perlu bergerak dari glorifikasi menuju refleksi. Mengajarkan sejarah Suharto dengan jujur adalah bagian dari proses nation healing—penyembuhan bangsa dari luka politik masa lalu. Karena sejatinya, bangsa yang besar tidak menafikan sejarahnya, tetapi menatapnya dengan keberanian moral.
Refleksi: Antara Kritik dan Penghargaan
Kritik terhadap Suharto tidak boleh menjadi kebencian. Penghargaan terhadap Suharto tidak boleh menjadi pemutihan. Keduanya harus berangkat dari niat yang sama: mencari kebenaran dan keadilan.
Sejarah Indonesia terlalu berharga untuk direduksi menjadi hitam-putih. Suharto adalah bagian dari mozaik itu—dengan warna, guratan, dan bayangannya sendiri.
Diskursus kepahlawanan harus diarahkan pada pertanyaan yang lebih dalam: apa arti jasa dalam sejarah yang kompleks? Apakah bangsa yang sedang beranjak dewasa mampu menghargai kebaikan tanpa menafikan luka, dan mengingat kesalahan tanpa menafikan jasa?
Jika bangsa ini ingin tumbuh matang, maka keadilan sejarah harus menjadi pijakan. Memberi tempat yang proporsional bagi setiap tokoh—termasuk Suharto—adalah wujud kedewasaan intelektual sekaligus kebijaksanaan moral.
Penutup: Dari Dendam ke Hikmah Sejarah
Presiden Suharto telah wafat. Namun jejak dan perdebatan tentangnya tidak akan pernah benar-benar usai. Beliau meninggalkan warisan yang besar: pembangunan ekonomi, ketertiban nasional, dan kebanggaan sebagai bangsa. Beliau juga meninggalkan pelajaran pahit tentang kekuasaan, otoritarianisme, dan kesunyian moral dalam sistem yang absolut.
Kini, tugas kita bukan menimbang kebaikan dan keburukan Suharto dalam timbangan politik, melainkan menilai maknanya dalam timbangan kebangsaan. Apakah kita mampu belajar dari sejarah–bukan untuk membenci atau memuja, tetapi untuk bijak dan adil?
Rekonsiliasi bangsa tidak dimulai dari pidato, tetapi dari kesediaan hati untuk memahami sejarah secara utuh. Ketika bangsa ini telah mampu berdamai dengan masa lalunya, maka di sanalah kedewasaan sejati tumbuh—kedewasaan yang tak lagi menilai sejarah dengan amarah, melainkan dengan kasih yang berkeadilan.
Dalam konteks inilah, saya berada dalam barisan yang setuju bahwa Presiden Suharto layak mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional, demi mendidik bangsa ini menghargai tokoh bangsanya dengan bijak, tanpa dendam.

