Nama Suhrawardi (1155-1191 M) tentunya dikenal oleh banyak orang. Bukan hanya oleh mereka yang mempelajari filsafat, tetapi juga oleh mereka yang tertarik dengan tasawuf. Hal ini dikarenakan Suhrawardi sendiri dikenal sebagai seorang sufi besar.
Suhrawardi memiliki nama lengkap Syihab al-Din Yahya bin al-Habasy. Ia bergelar al-Maqtul (yang dieksekusi), sebuah gelar dengan cerita yang melambungkan namanya di dunia Islam. Suhrawardi hidup di masa ketika logika peripatetik menguasai landasan dan cara berpikir, bahkan terhadap para cendikiawan muslim.
Terjadi perdebatan yang tak sederhana di kalangan peneliti mengenai apakah Suhrawardi muncul sebagai penganut dan penerus peripatetik atau justru sebagai kritikus logika tersebut. Perdebatan tersebut didasarkan pada karyanya yang berjudul al-Talwihat.
Sebagai karya yang ditulis dengan logika peripatetik, karya tersebut memunculkan dua pandangan. Pertama, Suhrawardi adalah penganut peripatetik. Dan kedua, dengan karya tersebut, menurut Ziai, yang dikutip oleh Muslih, tujuan Suhrawardi menulis karya tersebut adalah untuk mengenalkan filsafat iluminasi secara sistematis (Muslih 2016, 246).
Kritik Kepada Logika Paripatetik
Yang dapat kita pastikan di sini adalah kenyataan bahwa Suhrawardi mengkritik logika peripatetik yang pada masa itu dianggap sebagai satu-satunya cara berpikir yang benar.
Terhadap logika peripatetik, Suhrawardi memandang bahwa pengetahuan hanya sampai pada tahap ‘pencarian’, dan belum dapat ‘diperoleh’. Pengetahuan, menurut Suhrawardi, hanya dapat diperoleh melalui peleburan diri sebagai subjek dengan objek yang hendak diketahui.
Satu syarat penting dalam peleburan antara subjek-objek tersebut adalah adanya cahaya. Konsep cahaya Suhrawardi dilandaskan pada Al-Qur’an surah al-Nur: 35 yang menyatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Dengan cahaya Tuhan yang meliputi bumi, termasuk manusia, maka sebenarnya telah ada pengetahuan di dalam diri manusia.
Langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah cara menyingkap pengetahuan tersebut. Penyingkapan pengetahuan tersebut tidak dapat dilakukan dengan logika peripatetik, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak pemikir sebelumnya
Pengetahuan hanya dapat disingkap dengan pencahayaan (maka kemudian filsafatnya disebut dengan ‘iluminasi’) langsung dari Sang Pemilik Pengetahuan. Untuk itu, maka perlu dilakukan riyadhah, mukasyafah, dan sebagainya.
Bagi Suhrawardi, pengetahun yang diperoleh dari penyingkapan merupakan pengetahuan yang valid. Setelah pengetahuan yang valid tersebut diperoleh, barulah logika peripatetik memainkan fungsi dan perannya, yaitu untuk menjelaskan keluar pengetahuan tersebut (Muslih 2016, 249).
Namun, pengetahuan ini tidak ‘harus’ dapat dijelaskan keluar, yang kemudian menjadi pembeda antara filsafat Suhrawardi dengan filsafat Mulla Shadra.
Tanggapan kepada Filsafat Suhrawardi
Menanggapi filsafat iluminasi Suhrawardi, dan sebagai seorang muslim, penulis mengafirmasi validitas pengetahuan (ilmu) yang dihasilkan dari metode penyingkapan atau pencahayaan Suhrawardi, atau dalam istilah lain disebut juga sebagai ilmu hudhuri atau ilmu laduni.
Bagi mayoritas umat muslim, ilmu hudhuri merupakan ilmu dengan derajat paling tinggi karena diyakini berasal dari Sang Maha Pemilik ilmu. Yang sangat penting untuk diperhatikan, dan selanjutnya diapresiasi, adalah bagaimana kemudian Suhrawardi mencoba menjelaskan ilmu hudhuri tersebut ‘keluar’ atau kepada orang lain, sehingga kebenaran ilmu tersebut juga diterima dan diyakini oleh orang lain.
Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting. Mengingat, ilmu yang didapat dari intuisi atau ilahi tersebut, dalam sejarahnya, dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya. Sebab, hanya dipahami oleh si penerima ilham.
***
Akan tetapi, ketika dengan logika parepatetik saja, di mana banyak orang dapat menggunakan akal sehatnya, masih banyak yang belum mampu mencari dan mencapai pengetahuan apa adanya (ilmu), maka akan lebih banyak orang yang tidak dapat mencapai pengetahuan/ilmu hudhuri. Untuk mencapai atau mendapatkan ilmu tersebut, diperlukan perjalanan spiritual dan pengolahan batin yang panjang dan serius.
Tahapan demi tahapan, sebagaimana yang terdapat dan dilakukan dalam dunia tasawuf atau tarekat, harus dijalani agar Tuhan berkenan memberikan pengetahuannya. Dan seandainya seseorang telah mendapat ilmu hudhuri, problem selanjutnya adalah bagaimana agar ilmu tersebut dapat disampaikan kepada orang lain, dalam hal ini berarti menggunakan logika peripatetik, yang tidak semua orang dapat melakukannya.
Namun, tak dapat disangkal lagi bahwa cara Suhrawardi yang menggabungkan ilmu-ilmu intuitif dan logika peripatetik sebagai langkah filosofis merupakan sebuah upaya yang patut mendapatkan perhatian dan apresiasi tinggi, serta memberikan banyak sumbangan dalam khazanah filsafat Islam.
Editor: Yahya FR