Diskusi Cak Nur Urban Sufism
Pada hari Jum’at, 9 April 2021 tepat pukul 19.50 – 21.30 WIB, Cak Nur Urban Sufism mengadakan diskusi daring via Zoom Meeting yang dihadiri oleh kalangan terbatas. Diskusi ini juga ditayangkan secara langsung melalui kanal YouTube Cak Nurian Urban Sufism dengan judul “Adakah Makna dalam Teks Al-Qur’an?”.
Adapun narasumber dalam diskusi kali ini adalah Sukidi, Doktor Tafsir Al-Qur’an lulusan Harvard University. Host dari diskusi kali ini adalah Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, dan dimoderatori oleh Cri Sajjana Prajna Wekadigunawan, Ketua Senat FIKES Universitas Esa Unggul.
Sebelum masuk ke pembahasan inti, Sukidi pada mulanya merasa tercerahkan oleh pemikiran Cak Nur (Nurcholis Madjid).
“Saya rutin sekali mengunjungi acara-acara Cak Nur dan menulis apa yang disampaikan Oleh Cak Nur. Saya kira, Cak Nur sangat berjasa dalam perjalanan intelektual saya” ujar Sukidi.
Kemudian, Sukidi mulai masuk ke pembahasan inti dari topik diskusi kali ini.
Tesis utama yang ingin diajukan oleh Sukidi untuk memulai diskusi ini yaitu tentang makna yang ada di dalam Al-Qur’an.
Dua Tradisi dalam Memahami Al-Qur’an
Selama ini, sebagaimana kita ketahui, slogan yang berkembang dalam Islam adalah kembali pada Al-Qur’an. Ini adalah salah satu metode memahami Al-Qur’an. Menurut Sukidi, terdapat dua tradisi (metode) yang berkembang dalam dunia Islam untuk memahami Al-Qur’an.
Pertama, adalah kembali kepada Al-Qur’an. Yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab otoritatif, sumber makna, sumber pengetahuan, dan sumber otoritas. “Kembali kepada Al-Qur’an” ini menjadi tren umum yang dibawa oleh gerakan modernisme-Islam, Muhammadiyah salah satunya.
Sukidi kemudian mengajukan sebuah sebuah asumsi, “Ketika kita kembali kepada Al-Quran, dulu mengasumsikan bahwa Tuhan memberikan makna pada Al-Qur’an. Itu adalah tipikal dari gerakan modernisme. Mereka beranggapan bahwa Tuhan lah yang memproduksi makna dalam Al-Qur’an. Saya bertanya: apakah makna yang ditemukan dalam Al-Qur’an adalah makna yang benar-benar diwahyukan oleh Tuhan atau bukan? Adakah makna dalam teks Al-Qur’an itu sendiri?”
Sukidi: Topik ini yang Luput dari Pembahasan Cak Nur
Menurut Sukidi, topik ini luput dalam pembaruan dan pembicaraan Cak Nur selama ini. Karena Cak Nur merupakan salah satu pembaru Islam yang orientasinya kembali kepada Al-Qur’an.
“Sedikit sekali Cak Nur menggunakan tafsir dalam memahami Al-Qur’an. Saya menduga, orientasi Cak Nur untuk memahami Al-Qur’an kemunginan dipengaruhi oleh Fazlur Rahman. Karena Rahman nyaris tidak percaya dengan tafsir dan cukup skeptikal dengan tradisi tafsir. Cak Nur dan Buya Syafii adalah murid Fazlur Rahman. Namun saya berbeda dari keduanya dalam konteks cara memahami Al-Qur’an. Kalau keduanya mencari makna dalam teks Al-Qur’an, saya berbeda. Saya beranggapan bahwa kembali kepada Al-Qur’an itu justru membawa masalah tersendiri”.
Tidak Ada Makna dalam Teks Al-Qur’an itu Sendiri
Bagi Sukidi, masalah itu dikarenakan ada pada Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an itu banyak sekali kompleksitas. Banyak sekali hal-hal yang tidak dapat dipahami pada dirinya sendiri. Kemudian, Sukidi memaparkan satu contoh, “Contohnya, untuk mendukung tesis saya bahwa makna itu tidak inheren dengan teks Al-Qur’an, jika kita kembali kepada Al-Qur’an, maka kita tidak mendapat apa-apa kecuali dia menafsirkan sendiri Al-Qur’an sesuai dengan pikirannya sendiri. Itu ahistoris. Artinya, dia mengabaikan tradisi yang cukup panjang yang sudah dirintis oleh mufassirun yang memproduksi banyak tafsir” terang Sukidi.
“Argumen utama saya adalah; is there meaning in Al-Qur’an? Posisi intelektual saya adalah tidak ada makna dalam teks Al-Qur’an itu sendiri” imbuh Sukidi.
Lalu, Sukidi memberikan bukti-bukti (evidences) yang mendukung tesisnya.
Pertama, makna dalam teks Al-Qur’an tidak diwahyukan oleh Tuhan. Tuhan hanya mewahyukan lafaz. Makna itu diproduksi dan dibentuk oleh mufassirun, yaitu kelompok penafsir yang menulis tafsir untuk memproduksi makna.
Sukidi ingin posisi ini jelas dahulu agar nanti tidak terdapat kesalahpahaman. Posisi itu adalah, makna itu tidak ada dalam teks Al-Qur’an, makna itu baru muncul ketika teks Al-Qur’an berinteraksi dengan reader dan mufassirun.
Mekanisme Reading dan Interpretasi: Dua Jalan Memproduksi Makna Al-Qur’an
Bagaimana Sukidi menjastifikasi semua ini? Sukidi menggunakan dua mekanisme. Pertama adalah mekanisme reading, dan yang kedua adalah mekanisme interpretasi.
“Pada mekanisme reading (qiro’ah) mufasir memberikan bacaan yang berbeda dalam Al-Qur’an. Misal pada surat Al-Isra’, “Qur’anan Faraqnaahu”. Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an, kita hanya memperoleh makna yang sudah disajikan oleh penerjemah Al-Qur’an. Tapi, apakah itu makna yang sudah ada dalam tradisi Islam?” ujar Sukidi.
Sukidi melanjutkan, “Misal di Tafsir Thabari. Ada dua model bacaan yang digunakan oleh mufassirun. Pembacaan pertama dengan “Quraanan Faraqnaahu (قرأناً فرقناه”) dengan arti “Al-Qur’an yang kami buat jelas, detail, dan pasti”. Pembacaan kedua adalah “Quraanan Farraqnaahu (قرآناً فرَّقناه) ” dengan tasydid, yaitu Al-Qur’an yang kami pecah jadi bagian-bagian kecil. Itu adalah dua makna. Dua makna ini produk siapa? Saya tak berani mengatakan, ini produk Tuhan. Saya hanya mengatakan, ini adalah produk al-Qurra’, produk pembaca”.
“Dan penafsir Al-Quran pada periode awal adalah pembaca sekaligus penafsir juga. Sebagai pembaca, dia tidak hanya mem-preserve Al-Qur’an dalam memorinya yaitu dengan menghafal, tapi juga pilihan terhadap bacaan Al-Qur’an itu sendiri berpengaruh kepada makna yang diproduksi. Buat mereka yang membaca Qur’anan Faraqnaahu, adalah Al-Qur’an yang kami buat secara jelas, detail, dan pasti. Tapi buat pembaca Qur’anan Farraqnaahu, itu maknanya lain. Al-Qur’an yang kami turunkan secara gradual. Itu salah satu metode pembacaan yang digunakan oleh para mufasir. Ini tandanya bahwa makna dalam fase Islam awal itu tidak stabil, tidak fiks, dan tidak tetap. Tapi cair (the fluidity of meaning). Cak Nur dan Buya Syafii tidak pernah berbicara tentang ini” Lanjut Sukidi.
Sukidi: Cak Nur Tak Pernah Menyinggung Tafsir Klasik
Dalam Buku Islam dan Peradaban, kata Sukidi, betapa banyak Cak Nur kembali kepada Al-Qur’an dan langsung beliau menafsirkannya. Ada tafsir yang seringkali dipakai oleh Cak Nur, yaitu Tafsirnya Abdullah Yusuf Ali, tafsir yang cukup kontemporer dan modern. Cak Nur tidak pernah menyinggung Muqatil bin Sulayman, At-Thabari, dan lain sebagainya.
***
Metode pembacaan Al-Qur’an yang kedua adalah melalui penafsiran itu sendiri. Menurut Sukidi, penafsir itu tugasnya tidak hanya mem-preserve Al-Qur’an, dalam karya-karya tafsir. Tapi yang lebih penting ialah ia memproduksi makna itu sendiri. Sukidi kemudia juga ingin menguji tesis mereka yang membaca Al-Qur’an yang memakai istilahnya sendiri.
“Misal kita sering sekali mendengar kata kafaruu (كفروا). Kata kafaruu sering sekali dipakai oleh mereka yang kembali pada Al-Qur’an dan menggunakan kata itu secara tidak benar. Misalnya surat Al-Furqon ayat 32 Qoolalladziina Kafaruu (قال الذين كفروا). Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an, kita kemungkinan hanya ada dua pilihan. Buat mereka yang bisa berbahasa Arab, lebih bisa menerjemahkannya dengan istilah “mereka yang menyangkal atau tidak percaya pada kenabian Muhammad” terang Sukidi.
“Tapi kita tidak pernah tau, mereka yang tidak percaya (kafaruu) itu merujuk kepada siapa. Siapa yang berbicara sebenarnya pada teks ini? Kalau kita lihat terjemahannya, “orang-orang kafir itu berkata”. Tapi kan kembali pada Al-Qur’an itu kita tidak memperoleh satu makna yang membawa kita satu pemahaman yang lebih proper dan insightful. Sebenarnya, siapa yang berbicara pada passage ini?” lanjut Sukidi.
Solusi dari Sukidi: Memahami Makna Al-Qur’an Melalui Tafsir
Kemudian, solusi yang ditawarkan Sukidi adalah Tafsir.
“Kita membaca Al-Qur’an dengan lensa tafsir atau tradisi. Saya adalah kader Muhammadiyah yang mementingkan tradisi dalam memahami Al-Qur’an. Karena dengan tradisi, kita memperoleh satu pemahaman bahwa makna qolalladzina kafaruu, itu tidak bisa dipahami dengan dirinya sendiri. Tapi jika memakai tradisi tafsir, kita bisa memperoleh many meanings (makna-makna yang plural) yang kadang kontradiktif satu sama lain” ucap Sukidi.
Karena itu, lanjut Sukidi, misal kalau kita kembali membuka tafsir yang diatributkan kepada Ibnu Abbas, kita memperoleh identitas dari kafaruu ini. Satu identitas yang diatributkan kepada pendapat Ibnu Abbas terhadap kafaaruu adalah orang-orang Yahudi.
Maka, menurut Sukidi, dalam konteks ini, arti kafaruu merujuk kepada Yahudi.
“Kalau ini merujuk kepada Yahudi, maka yang berbicara dalam Al-Qur’an ini kepada Muhammad adalah orang-orang Yahudi. Orang Yahudi ini, kemudian bertanya kepada Muhammad. Lau Laa Nuzzila ‘alaihil Qur’an Jumlatan Wahidatan (Muhammad, kenapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepadamu sekaligus)?”
“Kalau kita membuka tafsir Al-Farra, Tafsir Ma’anil Quran, sebenarnya yang berbicara ini siapa? Kalau kita meyakini Al-Quran sepenuhnya kata-kata Tuhan, tetapi dalam passage ini, kita memperoleh satu statemen di mana orang-orang yang disebut kafaruu itu berkata dan bertanya kepada Muhammad kenapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan sekaligus? Ini mengandaikan bahwa jumlatan wahidatan itu merujuk ke mana? Kalau kita kembali ke Al-Qur’an, kita tidak mendapatkan clue dan indikasi awal sebenarnya makna jumlatan wahidatan merujuk kepada konteks apa. Maknanya akan jelas ketika kita berkonsultasi kepada Tafsir. Dan tafsir yang diatributkan kepada Ibnu Abbas, salah satunya, adalah orang-orang Yahudi. Maka yang berkata ini adalah orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad” tutur Sukidi.
Kita memperoleh pemahaman seperti ini, setelah berkonsultasi kepada para mufasir. Kalau kita memahami Al-Qur’an itu sendiri, kita tidak memperoleh konteks pewahyuan ini. Dan lebih dari itu, kita tidak sadar bahwa metode pewahyuan itu terjadi karena ada pertanyaan dari orang yang meragukan Al-Qur’an dan pewahyuan Muhammad. Al-Qur’an tidak langsung turun dalam satu konteks tertentu, tapi turun di berangsur-angsur salah satunya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti ini.
Reporter & Editor: Yahya FR