IBTimes.ID – Pembaruan Islam bukan dengan cara kembali kepada Alquran dan sunnah, tetapi dengan cara kembali ke tradisi. Alquran tidak memiliki makna jika tidak dijelaskan oleh tradisi.
Hal tersebut disampaikan oleh Sukidi dalam acara Studium Generale yang digelar oleh Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam & Program Doktor Politik Islam – Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (19/1). Kegiatan tersebut digelar secara daring.
Menurut Sukidi, makna yang ada di dalam Alquran adalah produk dari penafsiran para mufassir. Komunitas mufassir adalah komunitas yang memproduksi makna dalam teks-teks Alquran. Tidak ada makna di dalam teks-teks Alquran itu sendiri.
“Makna baru muncul ketika teks berinteraksi dengan aktivitas penafsiran. Karena itu, slogan pembaharuan yang saya gelorakan adalah kembali kepada tradisi,” ujarnya.
Tradisi, belakangan, dipahami sebagai sesuatu hal yang monolitik, terbelakang, dan menjadi simbol dari kejumudan. Maka, Sukidi mengajak masyarakat untuk kembali menemukan tradisi. Tradisi merujuk pada teks, makna, orang, habit of thinking, peristiwa, dan metode yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dari satu masa ke masa berikutnya.
Sukidi menyebut bahwa tradisi mengandaikan suatu keberlangsungan. Tradisi juga bersifat esensial. Ia adalah kunci untuk memahami teks Alquran. Karena, sekali lagi, tanpa tradisi, Alquran tidak memiliki makna.
Di sisi lain, tradisi bersifat multivokal. Tradisi dalam maknanya yang sangat luas bisa merujuk kepada siroh, tafsir, hadis, dan lain-lain. Alquran perlu dijelaskan melalui kerangka tradisi karena beberapa hal.
Pertama, menurut intelektual muda Muhammadiyah tersebut, Alquran adalah teks yang penuh dengan ambiguitas. Meskipun teks diwahyukan dengan Bahasa Arab yang jelas, namun, banyak teks dalam Alquran yang bersifat ambigu. Maka, sangat sulit memahami Alquran hanya dengan kembali kepada Alquran.
Kedua, teks Alquran akan terlepas dari konteks setelah dibukukan menjadi mushaf. Jika hanya kembali kepada Alquran, maka umat Islam akan kehilangan konteks. Konteks pewahyuan tidak tertulis di dalam Alquran itu sendiri, melainkan bisa dipelajari melalui asbabun nuzul. Sedangkan, asbabun nuzul berada di luar Alquran.
Ketiga, banyak kata-kata asing yang tidak berasal dari Bahasa Arab. Ada yang berasal dari Suriah, Ethiopia, Ibrani, dan lain-lain. Keempat, teks Alquran yang merujuk pada satu kejadian atau peristiwa terkadang tidak dijelaskan di dalam Alquran itu sendiri.
Sukidi menyebut bahwa ia selalu mengutip tradisi tafsir awal untuk mencari makna dalam Alquran karena beberapa alasan. Pertama, tradisi awal adalah pondasi intelektual yang kokoh, orisinal, dan inovatif dalam menafsirkan Alquran. Tafsir periode pertengahan dan modern seringkali merujuk pada otoritas komunitas penafsir di periode awal. Tafsir periode awal selalu menjadi rujukan yang otoritatif.
“Komunitas penafsir awal adalah para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin yang relatif dekat dengan periode pewahyuan. Ini adalah privilege. Mereka lebih tahu tentang momen pewahyuan, tentang peristiwa kenabian, dan apa yang terjadi ketika Alquran turun,” imbuhnya.
Kedua, menurut peraih gelar Ph.D. dari Harvard tersebut, di dalam tradisi tafsir juga terdapat sanad. Sanad menjadi penting karena tradisi meniscayakan keterkaitan. Keterkaitan adalah bagian dari tradisi. Ia menjadi mata rantai tradisi.
“Yang unik dari tradisi tafsir adalah semangat untuk saling terkait itu sangat kuat sekali. Seorang penafsir, ketika menulis tafsir, tidak bisa mengabaikan tradisi yang berkembang di eranya maupun di era sebelumnya,” imbuh Sukidi.
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai figur pembaharu Islam. Ibnu Taimiyah memberikan apresiasi kepada salafus saleh dan kepada tafsir itu sendiri.
“Ibnu Taimiyah memberikan penghargaan yang luar biasa pada tradisi salafus saleh. Ibnu Taimiyah meyakini bahwa kata-kata maupun makna Alquran diwahyukan kepada Muhammad. Sementara, saya meyakini bahwa makna Alquran tidak diwahyukan kepada Muhammad. Makna baru muncul ketika teks berinteraksi dengan komunitas penafsir secara historis,” tegasnya.
Ibnu Taimiyah, imbuh Sukidi, tidak melihat bahwa makna-makna yang variatif bahkan kontradiktif itu adalah produk manusia. Hal tersebut karena lokus makna tidak berada pada teks, melainkan berapa pada pikiran komunitas penafsir.
Sukidi menyebut bahwa komunitas penafsir tidak menggali makna dari Alquran, karena tidak ada di dalam teks Alquran. Makna Alquran adalah produk dari pikiran penafsir. Maka tidak mungkin umat Islam hanya menemukan makna yang tunggal dan monolitik. Makna Alquran selalu bersifat multivokal dan variatif.
Reporter: Yusuf