Dalam masa penjajahan, banyak pemikir dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang muncul menggelorakan hak-hak kebebasan bagi rakyat Indonesia dari tangan besi imperialisme. Salah satunya adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Ia adalah tokoh yang sangat populer, tokoh Islam, namun bukan ulama, dengan ciri khas yang memegang teguh prinsip-prinsip keislaman, bahkan hingga masuk dalam ruang-ruang politik.
Sejak dari Belanda, namanya telah masyhur sebagai sosok yang berkecimpung dalam gerakan dan perjuangan Islam. Dari sekian banyak sahabat seperjuangannya yang berada di Belanda, hanya ia satu-satunya yang meleburkan dirinya dalam partai politik Islam. Ia memperjuangkan suara kemanusiaan masyarakat Indonesia di hadapan para penjajah. Begitulah ideologi Islam berkobar dalam jiwanya.
Meskipun Dr. Sukiman Wirjosandjojo dikenal sebagai sosok pemimpin Nasional yang teguh menggenggam prinsip-prinsip Islam, namun ia dapat duduk dan berdialog serta dapat saling menghargai dengan pemimpin dari ideologi-ideologi lain. Ia adalah seorang dokter, yang tidak hanya mengobati tubuh orang yang sakit tapi juga mengobati pikiran dan ruhani yang tengah terbelenggu oleh kebodohan dan perbudakan.
Masa Kecil dan Pendidikan Dr. Sukiman Wirjosandjojo
Sukiman lahir tepat pada tanggal 19 Juni 1896 di Sewu, Solo. Keluarganya termasuk kalangan yang begitu taat dalam beragama, ia empat bersaudara, memiliki saudara yang aktif sebagai pemimpin Muhammadiyah semasa hidupnya yaitu Dr. Satiman. Demikianlah tidak mengherankan jika Dr. Sukiman memiliki ambisi yang kuat dalam memperjuangkan Islam dalam perjalanannya, sehingga tercermin dalam tekad, buah pikirannya juga langkah-langkah politik yang ia ambil dalam hidupnya.
Kehidupan Sukiman cukup berada, ayahnya memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, sedangkan ibunya adalah seorang pendakwah. Keadaan keluarganya yang terpandang itu tidaklah membuat Sukiman menjadi sosok yang sombong dan angkuh. Ia malah memiliki budi pekerti yang baik, dan memiliki banyak kawan dengan sikapnya yang rendah hati itu.
Sukiman Wirjosandjojo dikenal sebagai anak yang cerdas dan cemerlang sejak kecil. Ketika dewasa, Sukiman dimasukkan ke dalam sekolah Europese Lagere School, kemudian diteruskan di Stovia Jakarta, yaitu sekolah dokter jawa. Tidak mudah masuk ke dalam sekolah tersebut, kecuali para bangsawan dan pegawai pemerintahan. Beruntung, Sukiman memiliki orang tua yang menjadi pegawai pemerintah, sehingga ia dapat sekolah di tempat yang baik. Di Stovia inilah Sukiman bertemu dan bergaul dengan berbagai pemuda dari suku-suku di Indonesia. Kemudian dari sini jugalah lahir kesadaran Nasional yang dicetuskan oleh pemuda pembelajar. Di tempat inilah Budi Utomo pertama kali berdiri yang di prakarsai oleh pemuda Sutomo, yang kemudian menjadi embrio kebangsaan.
Di tempat itulah Sukiman tumbuh matang secara pikiran. Ia tidak hanya aktif sebagai pembelajar di kelas, tetapi juga di perkumpulan-perkumpulan pelajar. Ide-ide segar mulai bersemi di dalam pikiran Sukiman, yang mendapatkan tempat yang subur untuk tumbuh. Saat itu juga, berdiri sebuah perkumpulan yang dikenal dengan Tri Koro Darmo, yang dimotori oleh Pemuda Satiman, saudara tua Sukiman. Hingga pada tahun 1918, perkumpulan ini merubah Namanya menjadi Jong Java, setelah mendapat sambutan yang besar dari para pemuda Jawa.
Perkumpulan ini pun semakin besar dan terorganisir, hingga yang mulanya hanya menghimpun pembelajar Jawa kini menjadi pergerakan nasional. Dan disinilah Sukiman seringkali tampil, mengemukakan buah pikirannya, mendorong ke arah persatuan dan kebangkitan nasional. Dari dedikasi dan perhatiannya, pada Kongres Jong Java di Solo tanggal 21-27 mei 1922, Sukiman ditawarkan sebagai anggota kehormatan.
Pada tahun 1922, Sukiman selesai dalam studinya dan mendapatkan gelar Indische Art (Dokter Jawa). Karena kecerdasannya, disayangkan jika Sukiman hanya mengenyam pendidikan di tanah Jawa, karena itu ia melanjutkan pendidikannya di tanah Belanda. Pada tahun 1925, ia berangkat ke belanda dan masuk sekolah kesehatan di Universiteit Amsterdam.
Di sana ia tidak hanya bersekolah, belajar di ruang-ruang universitas, tetapi ia terus mengikuti perkembangan iklim politik dan kebudayaan, baik itu lokal, internasional bahkan juga perkembangan politik di negaranya. Ia teringat bagaimana keadaan rakyat di negaranya yang begitu tertinggal dalam urusan politik, sehingga di dalam darahnya mengalir tekad politik untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan. Belenggu penjajahan yang telah lama mencengkeram bangsa Indonesia membuat tekad apinya semakin membara, ditambah dengan kekuatan Islam yang terpendam di dalam dirinya membuatnya semakin kokoh memperjuangkan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan Islam.
Pada saat itu juga Majalah yang bernama “Hindia Poetra” berubah menjadi “Indonesia Merdeka”. Di sinilah para mahasiswa menelurkan ide dan gagasannya tentang persoalan bangsa dan menyeru seluruh intelektual dan mahasiswa untuk sama-sama bergerak memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Inilah panggilan yang ada dalam majalah tersebut:
Terhadap organisasi harus kita hadapkan organisasi, terhadap kekuasaan, kekuatan kita. Orang Indonesia yang lulus dari sekolah tinggi harus bergabung pada massa yang berjuang. Sudah terlalu lama kaum intelek menjauhkan diri dari massa rakyat, dan makin keras terdengar cercaan dari Tanah Air bahwa kebanyakan dari para sarjana yang pulang tidak memperdulikan nasib massa yang menderita. “Satu Parlemen Hindia Belanda mungkin terbentuk karena parlemen adalah kehendak rakyat yang dilembagakan, dan hal itu tidak ada di Hindia Belanda karena penduduknya tidak matang politik, demikian jawaban pemerintah menurut laporan sidang Afdeling Dewan Rakyat mengenai revisi “Staats-Inrichting van Nederland Indie (Kerangka Pemerintah Hindia Belanda). Nah, kita akan memperhatikan ajakan itu, membentuk kehendak rakyat yang tersusun baik. Pasal dari program prinsip yang sekarang, berkaitan dengan itu, …… suatu persiapan menuju kemerdekaan (Indonesia Mer-4.eka no. 3 Th 1924 hal. 38).
Itulah kegiatan yang dilakukan di periode kepemimpinan Sukiman 1924-1925, terutama pada penetapan asas-asas perjuangan pemuda Indonesia di belanda serta penggunaan Bahasa Indonesia dalam mengkampanyekan ide-ide perjuangan. Garis-garis perjuangan pada periode Sukiman begitu jelas dan tegas daripada sebelumnya, sehingga dapat dilanjutkan oleh generasi seterusnya.
Sebelumnya masa jabatannya berakhir, dan Sukiman kembali ke Indonesia, Sukiman mengusulkan dalam siding perhimpunan Indonesia supaya mengangkat Ahmad Subardjo sebagai penggantinya, dengan alasan pikiran dan loyalitasnya yang sangat baik. Namun dengan bijaksana Subardjo menolak dengan alasan memberikan ruang bagi generasi muda, sehingga pemimpin selanjutnya diberikan kepada Moh. Hatta.
Editor: Soleh