Mendengar kata Lingsir Wengi pasti yang akan terlintas dalam benak pikiran masyarakat adalah sebuah hal-hal berbau horor dan mistis. Awal mula kesalahpahaman mengenai makna tembang Lingsir Wengi ini didasari pada film Kuntilanak. Dalam film tersebut tembang Lingsir Wengi dilantunkan dengan pelan dan dengan nada yang membuat siapa saja yang mendengarkannya akan merinding bulukuduk dan bergidik membatu ketika mendengarnya.
Tembang Lingsir Wengi dan Sunan Kalijaga
Lingsir Wengi (Saat menjelang tengah malam) merupakan salah satu lagu gending jawa yang menggunakan tembang macapat. Tembang macapat terdiri dari 11 pakem yang salah satunya adalah pakem durma yang dipakai dalam tembang macapat ini. Pakem durma yang dipakai membuat tembang Lingsir Wengi dilantunkan dengan tempo yang pelan, masuk melalui perasaan yang lembut dan dengan pembawaannya yang menyayat hati pendengarnya.
Lingsir Wengi dilantunkan oleh Sunan Kalijaga setelah melaksanakan sholat malam sebagai ganti wirid sebagai sebuah ungkapan rasa cinta seorang hamba kepada Sang Pencipta. Dalam tembang ini menggambarkan rasa rindu seorang pecinta yang sedang jatuh cinta hingga tidak bisa tidur karena merindukan kekasih yang diridukannya. Tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga ini, memiliki makna tersirat tentang ajaran makrifat dalam tasawuf agama Islam.
Sunan Kalijaga merupakan pencipta dari tembang Lingsir Wengi. Raden Said atau nama kecil dari Sunan Kalijaga, lahir sekitar tahun 1450 dan wafat pada sekitar tahun 1590 dengan usia 140 tahun. Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan secara kultural melalui Budaya Jawa.
Lingsir Wengi berbasis komunikasi budaya dengan sifat persuasif kepada masyarakat untuk menelaah makna cinta kepada Sang Pencipta secara lebih mendalam melalui dimensi spiritual.
Hubungan antara Sunan Kalijaga dengan masyarakat Jawa sangat erat. Sunan Kalijaga mendapat julukan Guru Suci ing Tanah Jawi (guru suci di Tanah Jawa). Dalam menyebarkan agama Islam, sebagaimana dakwah para Wali Sanga yang mengedepankan dakwah dengan penuh hikmah dan bijaksana. Sunan Kalijaga merealisasikan prinsip dakwah melalui prinsip jawa, yakni momong, momor, momot (mengasuh, bergaul dan melebur).
Dalam menyampaikan ajaran Islam, Sunan Kalijaga senantiasa mengarahkan dan membimbing umat, namun tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang lebih tinggi daripada umat. Melainkan dengan bergaul dan nyawiji, yaknimelebur dan menyatu dengan umat.
Peyorasi Makna Lingsir Wengi dalam Masyarakat
Tembang Lingsir Wengi memiliki versi lain ataupun nama lain yakni “Kidung Rumekso ing wengi” (ikhlas tengah malam).
Berikut lampiran syair dalam tembang Lingsir Wengi beserta Artinya:
Lingsir Wengi
Lingsir wengi
Saat menjelang tengah malam
Sepi durung biso nendro
Sepi tidak bisa tidur
Kagodho mring wewayang
Tergoda bayanganmu
Kang ngreridhu ati
Di dalam hatiku
Kawitane
Permulaannya
Mung sembrono njur kulino
Hanya bercanda kemudian biasa
Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno
Tidak mengira akan jadi cinta
Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi
Kalau sudah saatnya akan terjadi pada diriku
Nandang bronto
Menderita kasmaran/jatuh cinta
Kadung loro
Telanjur sakit
Sambat-sambat sopo
Aku harus mengeluh kepada siapa
Rino wengi
Siang dan malam
Sing tak puji ojo lali
Yang kupuja jangan lupakan
Janjine mugo biso tak ugemi
Janjinya kuharap tak diingkari
Lingsir Wengi Wujud Cinta pada Pencipta
Dengan mengacu kepada artinya saja tanpa perlu penafsiran yang lebih mendalam, syair dalam tembang Lingsir Wengi tidak ada yang mengarah kepada konotasi yang negatif, malah syair dalam tembang Lingsir Wengi karya Sunan Kalijaga menyiratkan doa dan wirid untuk menjaga diri dari hal yang negatif.
Persepsi negatif seolah tak terlepas dari tembang Lingsir Wengi. Stigmaseperti ini sudah melekat pada masyarakat. Hal ini memberikan suatu pemahaman minor bahwa tembang Lingsir Wengi adalah tembang untuk memanggil mahluk astral.
Pemikiran ini berkembang tidak lepas dari peran masyarakat yang mengkonformitaskan Lingsir Wengi sebagai sebuah metode pemanggilan mahluk astral. Pandangan seperti ini tidak didasari dengan pemahaman dan analisa mendalam karena hanya bersifat apriori semata.
Masyarakat yang beranggapan bahwa tembang Lingsir Wengi adalah sarana dalam prosesi pemanggilan mahluk astral karena terframing ketika tembang ini muncul dalam film horror Kuntilanak dan menjadi backsound dalam film tersebut. Film Kuntilanak menjadikan persepsi tentang tembang Lingsir Wengi ini semakin negatif sehingga keluar dari makna sesungguhnya pada awal penciptaan tembang oleh Sunan Kalijaga.
Namun lambat laun seiring berkembangnya zaman terdapat perubahan fungsi dan makna dari tembang Lingsir Wengi. Perubahan ini sangat bertolak belakang dengan pemaknaan yang dibuat Sunan Kalijaga bila dikontekstualkan pada masa sekarang.
Seakan bila mendengar penyebutan ataupun tembang Lingsir Wengi bukan lagi sebagai sarana ungkapan rasa cinta dari seorang hamba kepada sang pencipta melainkan menjadi sebagai sarana pemanggilan makhluk astral yang kental dengan unsur mistisnya.