Sutan Sjahrir | Ketika berbicara era perjuangan kemerdekaan, ingatan kita secara otomatis langsung reflek terkoneksi pada kisah para pahlawan yang mengangkat senjata untuk mengusir para penjajah.
Menjadi kurang lengkap jika perbincangan suksesnya Indonesia merdeka tidak melibatkan pertarungan di bidang diplomasi. Realitas sejarah tak bisa di bohongi jika negeri ini pernah punya para tokoh luar biasa dalam melakukan lobi-lobi politik untuk menegaskan kepada dunia bahwa Indonesia telah merdeka.
Ialah Sutan Syahrir, salah satu arsitek di balik kemerdekaan yang sudah berpengalaman dalam bidang sosial politik sejak usia muda. “The Smiling Diplomat” menjadi julukan yang diberikan ketika ia berhasil membawa dampak bagus dari hasil diplomasi yang ia wakili (Anwar, 2011).
Sebagai salah satu perintis kemerdekaan, ia juga dikenal sebagai “Bung Kecil” yang memiliki peran besar. Bung kecil yang berusia muda memiliki kualitas intelektual jauh di atas orang yang seumurannya, bahkan bisa melebihi pendahulunya. Beberapa organisasi ia tekuni sejak usia muda menjadi tungku pemanas intelektualya dalam melahirkan buah pikir yang cemerlang.
Sutan Sjahrir
Dalam beberapa catatan biografi, Sutan Sjahrir dilahirkan di Kota Padang Panjang pada tanggal 5 Maret 1909. Ia dilahirkan dari seorang ibu bernama Puti Siti Rabiah dan ayah yang bernama Mohammad Rasad.
Ayahnya yang menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan juga seorang jaksa pada masa kolonial membuat ia besar dalam lingkup keluarga yang terpandang. Berasal dari keluarga terpandang, lantas tak membuatnya angkuh dan berbuat semena-mena. Keadaan tersebut justru ia manfaatkan untuk menempuh jalur pendidikan yang berkualitas di masa itu (Santoso, 2014).
Masa pendidikan pertama kali dimulai ketika ia masuk sekolah dasar Europeesche Lagere School (ELS) tingkat sekolah dasar yang terbaik di masanya. Bangku SMP ia tamatkan di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau pada zamannya disebut dengan nama MULO.
Sejak lulus sekolah dasar, Sutan Sjahrir sudah gemar dalam membaca buku-buku terbitan Eropa. Sebuah kebiasaan yang jarang sekali dilakukan teman-teman seumurannya. Hingga hal tersebut menjadi awal dari tokoh diplomat muda tersebut piawai dalam membaca kondisi sosial politik dunia (Santoso, 2014).
Bung kecil sapaan akrabnya, mulai bergeliat dalam organisasi ketika masuk Algemeene Middelbare School (AMS) yang saat itu setara dengan SMA. Kalau hari ini kita sempat dengar pelajar/mahasiswa yang aktif organisasi biasanya nilai pelajarannya cenderung rendah. Namun pernyataan itu justru tidak berlaku bagi Syahrir, keaktifannya dalam berorganisasi tak sedikitpun mengurangi semangatnya untuk tetap belajar. Terbukti ia pernah menjadi siswa terbaik di sekolahnya.
Aktivis Sosial
Tamat dari SMA, ia terpukau oleh jurusan Hukum Universitas Amsterdam Belanda. Tekat serta dorongan motivasi yang kuat mengantarkan Syahrir menjadi mahasiswa fakultas hukum di universitas bergengsi di negeri kincir angin tersebut.
Kesukaannya pada buku-buku terbitan Eropa tampaknya semakin menjadi-jadi ketika ia berkuliah di sana. Fasilitas serta lingkungan yang mendukung membuat Syahrir semakin rakus dalam membaca buku-buku tersebut. Bahkan ia lebih senang pergi ke perpustakaan ketimbang masuk ke dalam kelas.
Pergaulan daratan Eropa yang lebih egaliter kian memperluas pergaulan Syahrir, ia lebih sering ngelencer ke tempat-tempat tongkrongan daripada hanya berdiam di kamar. Luasnya pergaulan membuat syahrir mengenal tokoh-tokoh sosialis yang sangat getol dalam membela kaum buruh. Alur pikirannya bermuara pada sosialis yang cenderung ke “kiri” dan bersikap radikal pada hal-hal yang berbau kapitalisme.
Dari beberapa aktor intelektual di balik kemerdekaan, Syahrir dikenal memiliki garis ideologis yang bernuansa sosialis. Ia menaruh perhatiannya pada buruh serta perlindungan hak-hak individu dari tirani negara pada masa itu. Ia memandang bahwa berjalannya negara merupakan bentuk daripada representasi sosial, artinya negara harus berperan maksimal dalam menjaga kaum miskin.
Perdana Menteri Termuda
Pasca proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno dan Hatta, Syahrir ditunjuk presiden menjadi perdana menteri pertama Indonesia. Usianya yang kala itu masih menginjak 36 tahun tak membuatnya ragu untuk menjalankan amanah tersebut.
Menjadi perdana menteri perintis, banyak sekali peran yang dilakukan Syahrir. Salah satunya yang hingga kita rasakan saat ini adalah adanya passport sebagai administrasi untuk berkunjung ke luar negeri.
Selama kepemimpinan Syahrir, ia telah melakukan rombakan kabinet sebanyak 3 kali yaitu Syahrir 1, 2, dan 3. Ia dikenal sebagai perdana menteri yang konsisten memperjuangkan kedaulatan Indonesia lewat jalan diplomasi di kancah internasional.
Ahli Diplomasi
Perjanjian Linggarjati adalah salah satu dari sekian perjuangan diplomasi berliku yang dilakukan Syahrir. Saat pembelajaran di sekolah, kita diajarkan bahwa perjanjian tersebut terlalu menguntungkan Belanda, hasilnya dinilai terlalu komporomi terhadap penjajah. Isi perjanjiannya wilayah Indonesia hanya terdiri dari Jawa, Sumatra, dan Indonesia kemudian menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda.
Namun, kecerdikan Syahrir dalam hal ini terlihat pasca perjanjian ia berhasil membuka mata dunia untuk melihat Indonesia memberikan bantuan beras kepada India meskipun sedang dilanda krisis pangan. Secara otomatis beberapa negara memberikan simpati kepada Indonesia untuk memenangkan sidang keamanan PBB atas penjajahan yang dilakukan Belanda.
14 Agustus 1947 Syahrir menjadi delegasi Indonesia ke sidang dewan keamanan PBB di Lake Succes Amerika. Pidato tersebut terkait dengan kelanjutan hasil daripada perundingan Linggarjati. Pada momen tersebut nama Indonesia bergema dalam kancah Internasional dan itulah efek dari perjanjian Linggarjati yang dilakukan oleh Syahrir (Anwar, 2011).
Cerdik Bernegosiasi
Meskipun jabatan sebagai perdana menteri telah usai, Sutan Sjahrir adalah tokoh yang masih konsisten dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum internasional. Ketika Indonesia digempur oleh agresi militer, Bung Kecil berpidato di hadapan dunia Internasional mengenai kedaulatan Indonesia dan perjuangan rakyat Indonesia.
Daniel (2005) dalam tulisannya berjudul Sjahrir dalam Renungan 2 Jilid menjelaskan, pidato yang disampaikan Sjahrir dengan lugas berhasil mematahkan argumen perwakilan Belanda sehingga kedaulatan Indonesia tetap berdiri tegak di dunia Internasional.
Diplomasi yang diwakili oleh Syahrir membuat PBB untuk turun tangan dalam masalah Indonesia-Belanda sehingga PBB mendesak Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Hal tersebut tak lepas dari kecerdikan Syahrir dalam bernegosiasi untuk menggaet dukungan dari negara-negara lain.
Menjadi The Smiling Diplomat sejak usia muda ia seperti menjadi pengecualian di zamannya, ia menjadi orang yang berpikiran terlalu depan pada masanya. Di masa kekinian seperti hari ini, mungkin beliau cocok menjadi figur panutan kaum muda dalam hal intelektualnya, pergaulannya dan pola diplomasinya.
Editor: Yahya FR