Report

Syafiq Hasyim: Larangan Kata ‘Kafir’ itu untuk Hilangkan Diskriminasi

1 Mins read

IBTimes.ID – Dr. Phil. Syafiq Hasyim, intelektual Nahdlatul Ulama menyebut bahwa pelarangan penggunaan kata ‘kafir’ dari PBNU bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi terhadap umat non Islam.

“NU sejak dari awal sudah mempunyai komitmen serupa dengan negara dalam bentuk pelarangan penggunaan kata ‘kafir’ dalam merujuk orang non-Islam dalam konteks kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Hal tersebut ia sampaikan dalam kegiatan Online International Seminar “Building International Cooperation to Reinforce Commitments and Practices of Islam as Rahmatan Lil ‘Alamin”, Selasa (25/1). Kegiatan tersebut digelar oleh INFID, PP Muhammadiyah, dan PBNU.

Syafiq Hasyim mengingatkan bahwa meskipun Indonesia sudah berkomitmen terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan lewat berbagai kebijakan dan undang-undangnya, pada kenyataannya penistaan dan diskriminasi terhadap umat minoritas seperti Ahmadiyah, para penghayat agama lokal, dan umat minoritas lainnya masih saja terjadi.

Menurut Syafiq, secara historis, Indonesia merupakan basis keberagaman di dunia, mulai dari agama, ras, bahasa, dan suku. Di sinilah letak urgensi dan relevansi mengapa Indonesia harus mempunyai komitmen terhadap toleransi antar agama. Praktik toleransi di Indonesia tidak hanya kepada agama selain Islam saja, melainkan kepada berbagai aliran yang muncul dalam Islam.

“Islam sendiri tidaklah heterogen. Banyak aliran-aliran muncul dalam Islam. Untuk menyikapinya, sikap toleransi sangat dibutuhkan,” ungap Syafiq.

Menurutnya, NU sangat mendukung adanya diskusi antar kelompok agama di Indonesia. Dalam prinsipnya, NU lebih mengutamakan maslahat bersama daripada kepentingan kelompok sendiri.

Ia juga berpesan agar negara selalu hadir dengan prinsip kesetaraan dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Tidak ada tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun yang mengacu pada latar belakang agama seseorang. Semuanya sama di mata hukum.

Indonesia, imbuh Syafiq, menggunakan konsep demokrasi dan kesetaraan hak serta inklusivitas universal. Maka, semua warga harus dipandang sama di mata hukum. Tidak ada konsep mayoritas dan minoritas konsep dalam bernegara.

Baca Juga  Tafsir Al-Manar: Takdzim Kepada Penguasa Bukan Ibadah

Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama tersebut menyebut bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Konsekuensinya, Indonesia mempertimbangkan aspek agama namun tidak menjadikan agama sebagai regulasi negara.

“Negara memfasilitasi orang-orang beragama untuk mengamalkan atau mempraktekkan agamanya. Jadi tidak perlu memasukkan nilai-nilai syariah dalam konstitusi,” imbuhnya.

Reporter: Yusuf

Related posts
Report

Muktamar JIMM 2023: Mendorong Pembaharuan Pemikiran, Pengetahuan, dan Gerakan Muhammadiyah

7 Mins read
IBTimes.ID – Para kader Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) kembali menyelenggarakan sebuah agenda yang bernama Muktamar Pemikiran Islam…
Report

Haedar Nashir: Moderasi adalah Solusi Menangani Radikalisme dan Ekstremisme

1 Mins read
IBTimes.ID – Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, bahwa pendekatan moderasi adalah solusi dalam menangani radikalisme dan ekstremisme. Hal ini…
Report

Riset: Pesantren, Politik Dinasti, dan Oligarki Kekuasaan

5 Mins read
IBTimes.ID – Oligarki kekuasaan dan politik dinasti adalah dua fenomena pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif secara langsung yang terjadi pasca…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *