IBTimes-Jakarta- Islam adalah agama sempurna. Di dalamnya tertanam doktrin dan ajaran yang terkanonisasi secara sempurna dalam bentuk kitab suci Alquran dan hadis-hadis Nabi. Umat Islam sejati, selalu menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup. Muhammadiyah sebagai organisasi yang sangat erat memegang prinsip ar-ruju’ ila al-qur’an wa as-sunnah juga selalu berikhtiar untuk memberikan kontribusi dan karya nyata untuk umat Islam sejagad. Tentunya, ikhtiar tersebut selalu berpijak dan berlandaskan jargon yang hingga saat ini dipegang eratnya, ar-ruju’ ila al-qur’an wa as-sunnah.
Karya nyata Muhammadiyah bagi nusantara secara kasat mata sangat jamak kita temui di sekitaran kita. Mulai dari banyaknya rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, panti jompo, lembaga pengelolaan zakat, dan lain sebagainya. Nampaknya, Muhammadiyah belum cukup puas jika hanya memberikan manfaat dan kontribusi bagi nusantara semata. Muhammadiyah ingin melebarkan sayap lebih jauh hingga nilai dakwahnya bisa dirasakan manfaatnya dalam skala global.
Keinginan tersebut dapat dilihat dari ikhtiar Muhammadiyah untuk membuat kalender Islam global. Dalam acara Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Syamsul Anwar selaku Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah yang menjadi Narasumber pada pengajian tersebut, menjelaskan secara detail pentingnya penyatuan kalender Islam dalam skala global.
Pengajian dengan tema “Kalender Islam dan Pencerahan Peradaban” itu dilaksanakan pada hari Jum’at, 06 September 2019 yang bertempat di Auditorium KH. Ahmad Dahlan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jln. Menteng Raya No. 62 Jakarta Pusat. Para jamaah sangat antusias mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Syamsul Anwar di pengajian yang dimulai sejak pukul 20.00 hingga 22.00 WIB tersebut.
Maqashid Syari’ah dan Penyatuan Kalender Global
Di awal ceramahnya, Syamsul Anwar menjabarkan keterkaitan Maqashid Syari’ah dengan penyatuan kalender global.
“Maqashid Syari’ah itu ada lima Hifz ad-din (menjaga agama), hifz al-‘aql (menjaga intelektualitas/akal), hifz an-nafs (menjaga jiwa raga), hifz nasab (menjaga nasab/keluarga), dan hifz al-maal (menjaga harta)” kata Syamsul.
Ia menjelaskan bahwa maqashid syari’ah itu ialah seperangkat tujuan diberlakukannya syariat. Tujuan syariat itu ialah segenap hal kebaikan, keberkahan, dan kebermanfaatan dunyawi atau ukhrowi yang dapat dirasakan manusia atas kepatuhannya terhadap syariat Islam.
Maka, menurut Syamsul, sangat mustahil syariat Islam mendatangkan kemudharatan dan penyimpangan. Karena menyelisihi prinsip awal dirumuskannya syariat Islam.
“Apakah pembuatan kalender itu masuk dalam maqoshid Syari’ah? Apakah Syari’ah menghendaki itu? Apakah secara eksplisit Syari’ah menghendaki dibuatnya kalender global? Atau malah lokal?” tanya Syamsul kepada hadirin untuk memantik rasa ingin tahu mereka.
Kemudian, Syamsul menjelaskan korelasi Maqashid Syari’ah dengan pembuatan kalender global. Ia mengatakan bahwa secara khusus, tidak ada nash baik dalam Alquran ataupun hadis yang mengatur itu. Namun, ada beberapa nash yang mengarah kepada pembuatan kalender hijriah (kalender Islam-red) secara global.
Yaitu potongan ayat yang terdapat dalam surat Al-Anbiya dan Al-Mukminun. Di sana disebutkan bahwa umat Islam adalah umat yang satu (ummatan wahidah).
“Kalau umat Islam itu satu, berarti sistem tata waktunya juga harus satu. Sebagaimana Alquran dan Tuhan umat Islam, haruslah satu” ujar Syamsul.
Urgensinya Terhadap Ibadah Keagamaan
Ia mengatakan bahwa kalender global tunggal itu adalah kalender satu hari satu tanggal di seluruh dunia.
“Jadi kalau hari Sabtu menurut kalender global adalah 1 Muharram 1441 H, maka di seluruh dunia mestinya hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1441 H” imbuhnya.
Tapi kenyataannya, kata Syamsul, tidaklah seperti itu. Ternyata untuk Muharram tahun ini (2019) ada dua tanggal (dua hari berbeda untuk tanggal 1 Muharram). Yaitu hari Sabtu dan hari Ahad. Yang lebih mengherankan adalah saat bulan Syawwal tahun lalu.
Pada bulan tersebut terdapat empat hari dalam satu tanggal. Pertama, tanggal 1 Syawwal itu jatuh pada hari Senin, 3 Juni 2019. Kedua, jatuh pada hari Selasa tanggal 4 Juni 2019. Ketiga, pada hari Rabu tanggal 5 Juni 2019. Yang terakhir, pada hari Kamis tanggal 6 Juni 2019.
Dari problem tersebut, maka penyatuan kalender global menjadi suatu agenda yang urgent untuk segera ditindaklanjuti. Penyatuan tersebut juga selaras dengan spirit at-tauhid (penyatuan/pengesaan-red) ajaran Islam.
Dalam surat Saba’ ayat 28 dan terdapat ayat “wa maa arsalnaaka illa kaafatan linnasi basyiron wa nazhiiron” (tiadalah kami mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan). Di bagian lain, juga terdapat ayat “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamin” (tiadalah kami mengutusmu [Muhammad] sebagai rahmat bagi alam semesta).
Kata Syamsul, ayat ini menjelaskan bahwa risalah Islam itu berlaku untuk seluruh alam. Karena risalah berlaku bagi seluruh alam, maka untuk mengendalikan seluruh umat di seluruh alam, perlu mempunyai satu kalender tunggal yang sama. Di situlah titik temu antara penyatuan kalender Islam global dengan maqashid syari’ah.
Lebih lanjut, Syamsul menganggap penyatuan ini penting karena bersangkutan dengan urusan agama. Misalnya dalam pelaksanaan ibadah Arofah saat Haji.
“Arofah itu ialah ibadah yang penting. Karena terdapat Ibadah di tempat lain (misalnya di Indonesia) yang waktu pelaksanaannya itu mengacu kepada waktu dilaksanakannya ibadah Arofah saat Haji di Arab (puasa Arofah dan Idul Adha-red). Maka, model ibadah umat Islam itu saling terkait lintas kawasan maka kalender pun juga harus lintas kawasan” kata Syamsul.
Prinsip , Syarat, dan Kriteria Penyatuan Penyatuan Kalender Islam
Sebelum menyatukan kalender Islam, Syamsul mengatakan bahwa terdapat prinsip, syarat, dan kriteria yang harus dipahami. Kelima prinsip itu ialah:
- Transfer imkanu rukyat yaitu imkanu rukyat suatu wilayah ditransfer ke wilayah lain. arti ditransfer itu sendiri adalah, orang yang diam di suatu wilayah (misal wilayah D dan E) dianggap sudah me-rukyat diberlakukan di daerah yang lain (misal daerah A, B dan C)
- Penerimaan Hisab, yaitu menerima hisab sebagai suatu metode penanggalan.
- Kesatuan mathla’, yaitu seluruh dunia ini harus satu mathla’
- Keselarasan hari dan tanggal di seluruh dunia
- Kita harus menerima garis tanggal internasional
Sementara syaratnya terdapat dua macam. Yaitu:
- Sudah imkanu rukyat di suatu tempat di muka bumi.
- Tidak boleh menahan suatu kawasan untuk memasuki bulan baru ketika di tempat itu sudah terjadi rukyat.
Pada konteks kriteria kalender global, salah satunya ialah Bulan baru dimulai sebelum terjadi konjungsi pukul 12 waktu universal.
“Intinya bahwa Muhammadiyah sudah memutuskan menerima dan mengupayakan berlakunya kalender Hijriyah global dan oleh karena itulah kita perlu mensosialisasikan serta menginformasikan kepada masyarakat untuk bisa mengapresiasi. Jadi logikanya bukan ‘di Indonesia saja belum bisa menyatukan apalagi skalanya global” bukan begitu. Tapi cara melihatnya “Kalau kita terima yang ini (penyatuan kalender global) kita sepakat, maka ada hal yang belum selesai. Kalau kita terima yang satu lagi, kita sepakati semua maka kita mempunyai peluang-peluang” tutup Syamsul.