Tasawuf

Syariat dalam Tasawuf, Pentingkah?

3 Mins read

Pernahkah kamu mendengar kata tasawuf? Sudah tak asing lagi memang. Tasawuf berasal dari kata al-shuffah yang berarti orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Makkah ke Madinah.

Secara istilah, pengertian tasawuf adalah dari manusia yang memiliki keterbatasan diri yang berupaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia. Karena pada kenyataannya, makna tentang asal usul tasawuf itu tidak tunggal.

Mengutip dari ali sami’ al nasr dari karyanya Nas’atu al-fikr al-falsafi fi al-Islam, kata al-tashawwuf diambil dari kata al-shuff yang berarti keragaman definisi dari apa itu sufi. Ada juga yang berpendapat bahwa kata shuf berarti bulu domba atau kain wol, karena pakaian orang-orang saleh terbuat dari wol. Bagi kaum sufi, syariat adalah landasan tasawuf.

Terbukti juga menurut al-Kalabadzi dalam bukunya Atta’aruf li Madzhabi Ahli al-Tashawwuf, tasawuf berasal dari kata shuuf. Namun, terdapat definisi lain yaitu berasal dari kata shafaa yang berarti murni atau bersih. Karena ahli tasawuf merupakan orang yang tidak pernah menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya.

Selain itu, ada juga menurut al-Thusi dalam kitabnya Alluma’fi al-Tashawwuf, kata sufi sebenarnya tidak hanya diambil dari kata shafaa atau shuf. Karena, kata tersebut berasal dari kata julukan untuk orang saleh yang memperoleh julukan sufi pada masa pra Islam (merujuk pada keadaan Jazirah Arabia sebelum tersebarnya Islam pada tahun 630-an).

Junaid al-Baghdadi

Adapun tokoh yang mendapat julukan Syaikh al-Shufiyah dalam Syiar A’laam al-Nubala yakni bernama Junaid al-Baghdadi, yang mengatakan kalau tasawuf merupakan “membebaskan yang dahulu (Allah Swt.) dari yang baru (ciptaan), untuk berkelana, memutuskan yang ia cintai/sayangi dan meninggalkan yang dia tahu (dengan akal belaka) atau tidak. Seseorang yang bersifat zuhud (meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat, dan berharap apa yang didapat nanti di akhirat”.

Baca Juga  Ajaran Tasawuf dalam Filsafat Hidup Moh Limo Sunan Ampel

Karena Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan menganugerahkan kepada mereka akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan manusia kepada negeri akhirat”. (QS. Shad: 46)

Dari beberapa pemaparan diatas tentang asal-usul tasawuf, kita dapat menggambarkan bahwa tasawuf pada essensinya adalah termasuk pada ajaran-ajaran islam, yang mendorong seorang untuk menyembah dengan penuh keikhlasan kepada Allah Swt.

Seperti kata al-Thusi dalam karyanya, seorang sufi ketika terjadi perbedaan mengenai pendapat mengenai sebuah dalil atau pertentangan dalil, ia akan memilih untuk berhati-hati, dan memilih untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Syariat dalam Tasawuf

Syariat jika ditinjau dari bahasa berasal dari kata turunan شَرَعَ – يَشْرَعُ – شَرْعًا yang berarti membuat peraturan atau perundang-undangan.

Dalam dunia tasawuf, syariat adalah syarat mutlak bagi salik (penempuh jalan ruhani) menuju Allah. Tanpa adanya syariat, maka batallah apa yang diusahakannya. Dengan pemaknaan tersebut, maka syariat meliputi segala lini kehidupan.

Syariat bukan hanya tentang salat, zakat, puasa, dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati.

Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka, bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat, dan ketika sudah mencapai hakikat, maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Tetapi pandangan tersebut ditolak, Karena antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan.

Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bid’ah tersembunyi dan kemurtadan.

Baca Juga  Skeptisme Al-Ghazali untuk Menemukan Kebenaran yang Hakiki

Adapun ketika seseorang mencapai kasyf (penyingkapan), maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam artian kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya.

Namun, tidak sedikit pun perolehan kasyf ini memproduksi syariat baru. Jika dianalogikan, maka syariat adalah wujud ketaatan salik kepada agama Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Tanpa Syariat, Tak Akan Berhasil Meraih Hakikat

Menurut Syekh Ali bin al-Haitami, syariat adalah segala sesuatu yang ditanggungkan kepada seorang hamba. Syariat diperkuat dengan hakikat dan dibatasi dengan ketentuan hukum syariat. Sehingga, keberadaan syariat seharusnya mampu mendorong komunikasi langsung syuhud antara seorang hamba dan Khalik tanpa perantara apa pun.

Adapun orang yang mengatakan syariat yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah dan sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw. yang berkenaan dengan akidah, masalah hukum baik halal maupun haram, syarat atau rukun dsb, dari salah satu masalah yang konversial tentang tasawuf, ialah anggapan bahwa kaum sufi menyepelekan keharusan menaati kewajiban-kewajiban syariat.

Tetapi, kita dapat menilai apa yang ada di dalamnya. Jika pada masa Nabi dahulu tidak ada yang namanya tasawuf, karena dahulu beliau tidak pernah mengajarkan tasawuf secara terperinci.

Hal itu terjadi karena pada zaman tersebut belum ada disiplin ilmu sendiri untuk menyimpulkan hukum. Tentang syariat, pada zaman Nabi telah terdapat fakta bahwa adanya penyimpulan atau pendapat yang menunjukkan bahwa praktik istinbath al-ahkam dalam ushul fiqih telah ada, walaupun belum memiliki nama keilmuwan yang spesifik.

Baca Juga  Dualisme Tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Kitab Sirr al-Asrar

Tak ada satu pun tokoh tasawuf sepanjang sejarah yang pernah menyatakan sikap meremehkan syariat. Justru sebaliknya, itu merupakan suatu ciri menonjol dari tasawuf. Risalah Al-Qusyairi penulis kitab tasawuf terkenal, menyatakan bahwa tanpa syariat, tak akan ada seseorang pun yang berhasil meraih hakikat.

Ada sekelompok orang yang mengaku sufi, menampilkan diri sebagai orang yang tidak menjalankan perintah syariat. Dalam syariat, aturan sudah baku tidak dapat diubah, tidak seperti ilmu fikih dapat diubah. Dalam ilmu tasawuf, syariat adalah yang mengatur amal ibadah dan muamalah secara lahir.

Editor: Lely N

Dini Putri Wulandari
2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds