Semenjak ungkapan “Islam yes, partai Islam no” yang pernah dilontarkan Cak Nur di tahun 70-an, banyak muncul tulisan yang terinspirasi dari ungkapan Cak Nur tersebut. Tentu saja dengan judul yang berbeda. Termasuk tulisan ini dengan judul Syukur Yes, Kufur No.
Tulisan ini juga terinspirasi dengan susunan ungkapan Cak Nur tapi materinya merujuk ke ayat Quran “La insyakartum la’azidannakum wala inkafartum inna adzabi lasyadiid“. Jika engkau bersyukur niscaya aku akan tambah, namun jika engkau kufur, azabku amat pedih.
Dalam ajaran agama ada dua ajaran yang memberikan keberuntungan. Ketika kita mendapatkan rezeki lalu kita bersyukur, kita akan mendapatkan pahala dan ketika kita kena musibah dan bersabar terhadap musibah itu, kita juga akan mendapatkan pahala. Bersyukur dan bersabar adalah dua kekuatan yang besar. Kalau kita mampu untuk melakukannya kita akan selamat menjalani kehidupan ini.
Syukur Yes, Kufur No
Namun demikian keberadaan dua kekuatan ini adalah sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan. Banyak sindiran sindiran dalam term keagamaan, bahwa banyak manusia yang tidak menyadari bahwa betapa banyaknya nikmat yang disediakan oleh Tuhan. Hal ini terjadi baik dalam konteks internal diri manusia maupun yang berada diluar dirinya.
Betapa banyak manusia ketika mendapatkan rezeki baik yang internal maupun yang eksternal menjadi lupa diri. justru ketika mendapat musibah lalu mengeluh bahwa Tuhan itu tidak adil.
Ketika Tuhan akan memberikan amanah kepada langit, bumi, dan gunung, mereka semua menolak mungkin karena beratnya amanah itu, maka manusia memikul amanah tersebut. Di akhir ayat dikatakan bahwa manusia itu dzaluman jahula. Artinya bahwa kebanyakan manusia itu dzalim dan bodoh. Memang cuma manusia yang mampu memikul amanah tersebut karena manusia punya kekuatan, namun kebanyakan manusia menyia-nyiakan kekuatannya.
Dalam kajian kebahasaan, ada perbedaan penggunaan kata, lau, idza, dan in. Penggunaan kata lau digunakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti firman Tuhan “Lau anna ahla al qura amanu wattaqau (seandainya penduduk bumi beriman dan bertakwa)”. Tidak mungkin seluruh penduduk bumi beriman dan bertakwa.
Kata idza digunakan sesuatu yang pasti terjadi, idza matabnu adam (apabila adam mati), pasti manusia akan mengalami kematian. Dan in digunakan untuk sesuatu yang bisa terjadi dan sesuatu yang tidak bisa terjadi, Lain syakartum la’azidannakum, wa la’inkafartum inna adzabi lasyadiid.
Kajian Kebahasaan
Menarik kalau kita mengkaji ayat ini dari segi bunyi kalimatnya. Kalau dalam versi kajian kebahasaan akan berbunyi, jika engkau bersyukur, saya akan tambah nikmatku dan jika engkau kufur, saya akan kurangi nikmatku. Karena lawan tambah adalah kurang, itu pemahaman kebahasaan kita.
Bersyukur akan bertambah nikmat, kufur dijawab bahwa adzabnya sangat berat. Dalam pemahaman kita sebagai orang awam dalam menterjemahkan kehendak Tuhan, bahwa Tuhan sangat ingin manusia itu bisa menikmati nikmat Tuhan yang berlimpah, kasih sayang terhadap manusia sangat luar biasa. Kenapa Tuhan dalam ayat ini menggunakan kata “adzabi lasyadiid“, supaya manusia enggang untuk kufur. Karena beratnya siksa Tuhan, supaya ada rasa takut dalam diri untuk tetap bersyukur terhadap nikmat Tuhan.
Betapa tingginya kasih sayang Tuhan terhadap hambanya. Seandainya Tuhan menggunakan kata saya kurangi kenikmatanku, mungkin manusia tidak akan mempermasalahkan, yang penting tetap merasakan nikmat Tuhan. Tapi Tuhan menonjolkan sifat jalaliahnya, untuk kepentingan hambahnya juga. Didalam sifat jalaliahnya terdapat kasih sayang yang sangat besar.
Pada prinsipnya baik dalam sifat jamaliah maupun jalaliah Tuhan, akan mengantar manusia untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Namun, sifat jamaliahnya lebih menonjol dari pada sifat jalaliahnya. Sifat ar-rahman dan ar-rahim inilah yang banyak di sebut dalam Al-Qur’an, manusia harus punya kepekaan terhadap kedua sifat Tuhan itu.
Jalur Rahman dan Rahim
Tuhan itu mendekati manusia melalui jalur rahman dan rahimnya. Bisa juga mendekati lewat sifat sifat kerasnya seperti pada ayat di atas, kalau kita kufur dari nikmatnya bahwa sesungguhnya dia amat keras adzabnya. Syukur nikmat dan kufur nikmat atau dalam bahasa ayat, syakartum dan kafartum, dua hal yang sangat kontras.
Tuhan memberikan perbedaan penyikapan terhadap manusia. Ketika manusia bersyukur terhadap nikmatnya, Tuhan akan memberikan suntikan kekuatannya berupa kemudahan kemudahan dalam mengatasi berbagai problem-problem kemanusiaan, dan akan memandang, apa yang datang dari Tuhan adalah merupakan rencana Tuhan yang baik untuknya.
Sekalipun yang datang itu berupa musibah, dia akan selalu memandang bahwa di balik itu semua ada nilai-nilai kebaikan baginya. Dalam perspektif kebahasaan kata syakura itu lebih tinggi daripada kata syukura.
Nabi pernah ditanya oleh Aisyah, karena ibadah Nabi yang sangat luar biasa, jawaban Nabi, tidaklah bolehkah aku menjadi “abdan syakura”, disini menggunakan kata syakura, artinya dalam keadaan bagaimanapun, apakah mendapat rezeki ataukah musibah, ibadah nabi mangalami suatu peningkatan. Tidak pernah surut bagaimanapun keadaannya. Itulah yang dimaksud dengan abdan syakura.
Mungkin karena banyaknya nikmat yang dinuzulkan Tuhan buat manusia, sehingga manusia luput untuk merasakan nikmat tersebut. Manusia menjadi rabun dalam memandang nikmat nikmat Tuhan tersebut. Kepekaan nuraninya tidak berfungsi untuk merasakan kenikmatan anugerah dari Tuhan.
Padahal dalam ayat yang sangat populer dan sering disampaikan oleh mubaligh adalah, “Jika kamu menghitung hitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim lagi amat kafir.” (Q.14.34).
Di sini Tuhan menantang bahwa kita tidak mungkin dapat mengkalkulasi kebaikan kebaikan Tuhan terhadap manusia. Seandainya manusia betul betul mengedepankan potensi kemanusiannya, mereka akan dapat merasakan betapa nikmat Tuhan itu akan dirasakannya dimanapun dia berada.
Bersyukur itu adalah merupakan kewajiban dan kufur itu adalah merupakan larangan. “Dan bersyukurlah kepadaku dan jangan kamu mengkafiri (nikmatKu)” (Q.S: 2:152). Syukur Yes, Kufur No.
Editor: Nabhan