Perspektif

Tadbir Al-Mutawahhid: Pesimisme Ibn Bajjah Terhadap Negara

2 Mins read

Apakah kamu telah lama muak dengan lelaku oknum-oknum pemerintah di negara tempatmu tinggal? Lelaku yang kian hari kian membuatmu mempertanyakan (atau juga mungkin menyesalkan) mengapa kamu begitu bernasib sial terlempar ke negara yang sedemikian rupa pandirnya.

Sialnya lagi, kepandiran tersebut terjadi berulang-ulang, hingga mungkin kamu memerlukan setidaknya satu pekik makian untuk dikeluarkan dalam satu hari.

Kadang kamu putus harapan, merasa tidak memiliki daya yang cukup besar untuk menjungkir-balikkan keadaan yang menggeramkan itu. Namun ternyata adafilsuf yang kurang-lebih pernah berada dalam situasi yang tak jauh berbeda dari yang sudah dideskripsikan sebelumnya.

Dialah Ibn Bajjah, yang kemudian merumuskan seperangkat solusi, yang barangkali dapat menjadi solusi untukmu, untukku, atau untuk kita semua yang mungkin sudah muak dengan situasi sialan ini.

Berlainan dengan al-Farabi yang pemikiran politiknya cenderung memberi penekanan kepada kepala negara, dengan menganjurkan filsuf sebagai pemimpin, maka Ibn Bajjah cenderung menekankan kepada warga-masyarakatnya; jalan keluar yang mau tak mau mesti dilalui para filsuf—atau masyarakat lain yang telah sadar tengah tinggal di negara yang sudah ga bakal ketolong lagi—dengan membangun “rezim” baru yang lebih (mendekati) ideal di dalam dirinya, di dalam kepalanya. Memang terdengar separatis, tapi percayalah maksudnya bukan begitu.

Apa itu Tadbir al-Mutawahhid?

Jalan keluar itu dirumuskan oleh Ibn Bajjah di dalam kitabnya Tadbir al-Mutawahhid (Rule of the Solitary). Kitab yang mungkin tak akan pernah selesai dibaca, karena memang kitab itu sendiri masih belum utuh. Ketidakutuhan ini tidak hanya terjadi pada Rule of the Solitary. Karya-karyanya yang lain juga begitu, ditengarai ketidakutuhan ini akibat dari usia hidupannya yang tergolong singkat. Meski begitu, ketidakutuhan itu masih dapat kita sesuaikan.

Baca Juga  Rekam Jejak para Pemimpin Perempuan di Beberapa Bidang

Kita urai dulu satu per satu, pertama, apa itu al-Mutawahhid/The Solitary? Disebutkan bahwa al-Mutawahhid ialah “sosok (filsuf) yang sendirian dan menyendiri, yang tinggal di salah satu dari empat negara yang tak sempurna, di mana ia tidak bisa hidup dalam kehidupan normal. Dengan tinggal di negara yang tak sempurna, ia hidup dalam suasana yang tak alami dan dalam keadaan-keadaan yang tak menyenangkan.” (Ziyadah, 2018)

Lanjut yang kedua, apa itu Tadbir? Disebutkan bahwa Tadbir/Rule/Regime adalah “the organization of actions with references to ends proposed.” Artinya, tidak akan sah sesuatu disebut Tadbir bila hanya mengandung single action, malahan sesuatu mestilah berupa tindakan-tindakan (banyak tindakan). (Dunlop, 1945)

Nah, dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Tadbir Al-Mutawahhid sederhananya adalah bentuk pesimisme terhadap rezim pemerintahan (dan masyarakat) yang rusak, karena situasi rusak yang seperti itu, Ibn Bajjah menganjurkan untuk membangun dan mengelola sendiri Tadbir (Rule/Regime) yang lebih (mendekati) ideal di dalam diri, di dalam kepala sendiri melalui pemencilan diri, sekaligus melalui tindakan-tindakan insani. (Ziyadah, 2018)

Tidak tanpa alasan, muara dari penyendirian yang dianjurkan oleh Ibn Bajjah ialah supaya manusia dapat meraih kebahagiaan dengan tenang. Dimana bagi Ibn Bajjah (juga filsuf muslim lain) kebahagiaan ialah keterhubungan akal manusia dengan Akal Aktif, yang merupakan puncak dari pencapaian intelektual sekaligus spiritual. (Fakhry, 1997)

Sebelumnya telah disebutkan bahwa salah satu upaya yang mesti dilakukan oleh al-Mutawahhid/The Solitary adalah mengelola tindakan-tindakan insani. Nah, apa itu tindakan insani, sederhananya, tindakan insani ialah tindakan yang dikelola oleh pilihan (free will). Ibn Bajjah menganggap keistimewaan manusia salah satunya terletak pada tindakan-tindakannya yang didasarkan pada pilihan, dan yang dimaksud Ibn Bajjah dengan “pilihan,” ialah kehendak yang dihasilkan oleh pertimbangan akal (rasionalitas), itulah yang disebut tindakan insani/manusia. (Ziyadah, 2018)

Baca Juga  Tiga Tradisi Budaya yang Bisa Membentuk Sikap Etis

Lawan dari tindakan insani adalah tindakan hewani. Ibn Bajjah mengatakan tindakan hewani ini dilandaskan atau didahului oleh afeksi-afeksi psikologis dalam jiwa, seperti hasrat, marah, takut, dan sejenisnya. (Ziyadah, 2018)

Nah, tindakan-tindakan insani inilah yang bakal dikelola oleh sosok al-Mutawahhid, yang nanti akan menjadi salah satu fondasi dari “rezim”(Tadbir/Rule/Regime) yang hendak dibangunnya.  

Referensi

Dunlop, D. M. “Ibn Bajjah’s Tadbiru’l Mutawahhid (Rule of the Solitary).” Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. No. 1 (1945): 61-81.

Fakhry, M. Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism: A Short Introduction. Washington: Oneworld Publications, 1997.

Ziyadah, M. Kitab Tadbir al-Mutawahhid: Rezim Sang Failasuf,terj. Nanang Tahqiq. Jakarta: Turos, 2018.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds