IBTimes.ID – Rosyid Ridha menyebut bahwa bacaan ‘maliki’ dengan mim dibaca pendek dalam surat Al-Fatihah tersebut lebih tepat karena memiliki makna bahwa Allah adalah Raja bagi manusia. Allah adalah ‘Malik an-nas’ (Raja manusia), bukan ‘Malik al-asya” (Raja dari segala sesuatu).
“Yang repot itu kan menguasai manusia. Karna manusia punya pemikiran, kesadaran, dan independen. Meskipun Alquran juga menyebut bahwa manusia suka rewel. Kalau ada kebaikan tidak bersyukur, kalau ada keburukan dia mengeluh. Karna repotnya manusia ini, maka dia harus dipimpin,” ujar Kang Boy dalam Ngaji Kitab Bareng Kang Boy di kanal YouTube IBTimes.
‘Maliki yaumi ad-din’ (Yang Menguasai atau Pemilik hari pembalasan) berarti yang menentukan segala hal pada hari kiamat adalah Allah. Pemahaman seperti ini, menurut Kang Boy mengutip Tafsir Al-Manar, lebih mendekati kebenaran. Setiap manusia yang sudah baligh akan mendapatkan balasan atas perbuatannya di hari kiamat.
Kang Boy menyebut bahwa dalam shalat, membaca ‘maliki yaumiddin’ lebih memberikan efek khusyu’ daripada membaca dengan ‘maaliki yaumiddin’. Hal tersebut disertai syarat harus memahami makna dari ayat-ayat tersebut. Berawal dari pemahaman yang menghasilkan penghayatan, penghayatan melahirkan refleksi, dan refleksi menghasilkan rasa khusyu’ dalam shalat.
“Ada bacaan-bacaan tertentu yang kebaikannya atau nilainya lebih baik dari 100 kebaikan lain,” ujar Kang Boy mengutip Tafsir Al-Manar.
‘Diin’ dalam ayat tersebut bermakna al-jaza’ (balasan) atau al-hisab (penghitungan). Hari dimana seluruh perbuatan manusia akan mendapatkan balasannya. Di sisi lain, ‘diin’ juga memiliki makna agama. Jaza’ maknanya dekat dengan kecukupan, ketaatan, ketundukan, dan pengurusan.
‘Dayyanathu fulaanan’ biasa diartikan dengan si fulan berhutang. Namun, dalam hal ini ‘diin’ diartikan dengan dia menyerahkan segala urusannya. Itu bermakna ketundukan. Maka ada istilah diinul qoyyim (agama yang lurus).
Makna Ibadah Menurut Tafsir Al-Manar
Dalam menafsirkan ayat kelima dalam surat Al-Fatihah, Tafsir Al Manar menyebut bahwa jumhur ulama mengatakan ibadah adalah ketaatan atau kepatuhan dengan tujuan menundukkan diri. Maka, dalam hal ini terdapat dua unsur, yaitu ketaatan dan ketundukan.
“Makna ibadah itu sebenarnya cukup beragam. Ada yang memahami secara haqiqi, ada yang lafdzi. Kecenderungan manusia dalam memahami makna ibadah juga beragam,” imbuh Kang Boy.
Kata ‘abada’ yang berarti ibadah, dalam Bahasa Arab senada dengan ‘khudu”, ‘khona’un’, ‘athou’un’, dan‘dzallun’. Semua kata itu bermakna kerendahan hati dan kepasrahan. Namun, menurut Tafsir Al-Manar, kata-kata tersebut tidak bisa menyamai makna ‘abada’. Posisi kata-kata tersebut tidak sama. Kata ‘ibadah, menurut sebagian ulama, tidak bisa disandarkan selain kepada Allah. Ibadah hanya bisa disandarkan kepada Allah.
Dalam kitab tafsir tersebut juga dijelaskan perbedaan kata hawa dan nafsu. Di dalam Alquran, kata ‘nafsun’ bermakna netral. Kualitas ‘nafsu’ bergantung pada kata dibelakangnya, seperti nafsul muthmainnah dan nafsul lawwamah. Namun, di Indonesia, kata ‘nafsu’ menjadi negatif. Padahal, yang negatif sejatinya adalah ‘hawa’.
“Kalau diteliti, ‘ibaad berarti orang-orang yang menyembah Allah. Tapi, ketika menyembah dalam arti kepada selain Allah, digunakan istilah ‘abiid. Contohnya, orang yang mencintai, entah mencintai benda atau manusia, takdzim terhadap penguasa, dan lain-lain, itu bukan ibadah,” tegas Kang Boy.
Reporter: Yusuf
Tonton video Selengkapnya di sini: