Dalam dunia tafsir Al-Qur’an, terdapat banyak ulama yang memberikan kontribusi besar melalui karya-karya mereka. Salah satunya adalah Mutawalli asy-Sya’rawi, seorang ulama besar yang dikenal dengan karya-karyanya yang kaya akan penjelasan dan pemahaman terhadap Al-Qur’an. Salah satu karyanya yang patut diperhatikan dan dipelajari adalah “Tafsir Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an” yang membahas tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam.
Tafsir Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an karya Mutawalli asy-Sya’rawi mengulas dengan mendalam dan kritis tentang pandangan-pandangan mengenai perempuan dalam Al-Qur’an.
Karya ini bukan sekadar sekumpulan ayat-ayat yang dijelaskan, tetapi juga menggambarkan keindahan pesan-pesan yang tersembunyi di dalamnya.
Biografi Singkat Mutawalli asy-Sya’rawi
Al-Sha’rawi mempunyai nama lengkap yaitu Muhammad bin Mutawalli asy-Sya’rawi al-Husayni. Beliau lahir pada 16 April 1911 M di desa Daqadus, desa kecil yang terdapat di kepulauan timur distrik Mith Ghamr, provinsi Dakhaliyah, Mesir. Saat itu berada di bawah kekuasaan Inggris dan pada masa Dinasti Fathimiyyah. Dan wafat pada hari Rabu, 17 Juni 1998 pada usia 87 tahun, dimakamkan di Daqadus tempat beliau dilahirkan.
Mutawalli asy-Sya’rawi berasal dari keluarga sederhana, namun memiliki nasab yang terhormat, bersambung hingga al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Perjalanan pendidikan asy-Sya’rawi, diawali semenjak beliau menghafalkan Al-Qur’an di umur 11 tahun, di bawah bimbingan Syekh Abdul Majid Pasha, dan bersekolah dasar di al-Azhar, Zaqaziq pada tahun 1942. Beliau melanjutkan sekolah menengah sampai tahun 1932, di tahun berikutnya terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Bahasa Arab, dan menyelesaikannya pada tahun 1941. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan A’lamiyyah hingga mendapatkan lisensi mengajar pada tahun 1943.
Asy-Sya’rawi tidak menulis buku-bukunya dengan tulisan sendiri. Beliau lebih memilih untuk menyampaikan secara langsung dan didengar secara langsung oleh murid-muridnya. Beliau berpendapat bahwa, apabila disampaikan dalam bentuk tulisan, tidak semua orang dapat membacanya. Sebab itulah, kitab-kitab beliau merupakan hasil kolaborasi kreasi para muridnya, yakni al-Sinrawi, Ahmad Umar Hasyim, Abd al-Waris al-Dasuqi, dan lain-lain.
Kitab Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an
Kitab al-Mar’ah fi Al-Qur’a n hanya memiliki satu jilid yang berisi tujuh bab dan masing-masing bab memiliki dua sampai tujuh sub bab. Pada bagian awal kitab Al-Mar’ah fi al-Qur’an ditangani oleh murid asy-Sya’rawi, yaitu al-Sinrawi. Hal ini ditunjukkan dari beberapa paragraf pengantar yang ditulis oleh al-Sinrawi. Metode kitab Tafsir al-Mar’ah fi Al-Qur’an karya asy-Sya’rawi adalah metode tafsir maudhu’iy. Sebab kitab ini hanya menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan tentang perempuan.
Adapun sumber yang digunakan imam asy-Sya’rawi dalam penulisan kitab ini yaitu mengaitkan atau menyinggung beberapa ayat pada suatu permasalahan. Beliau menjelaskan asbab al-nuzul ayat, menggunakan penafsiran hadis-hadis Nabi, dan pendapat-pendapat para ulama. Namun penafsiran ini lebih dominan dengan nuansa pengetahuan, sehingga kitab ini dapat dikategorikan menggunakan penafsiran bi al-ra’yi.
Keunikan dari kitab asy-Sya’rawi ini adalah pada pembahasannya sering diisi dengan pertanyaan. Misalnya saja pada bab‚ “Setengah Persaksian, Mengapa”, asy-Sya’rawi mengawali dengan pertanyaan, “Apakah wanita yang bergelar magister atau doktor persaksiannya sama dengan seorang satpam yang buta huruf serta tak bisa membaca?” Pertanyaan tersebut secara tanpa sadar menjadi satu fokus pada pikiran pembaca.
Keunikan lain yang digunakan dimiliki oleh asy-Sya’rawi dalam al-Mar’ah fi al-Qur’an adalah pengetahuan tambahan yang diberikannya di samping untuk memperjelas pembahasan. Misalnya saja untuk menyampaikan kebolehan wanita bekerja, asy-Sya’rawi menafsirkan ayat yang berkaitan dengan perempuan karier dengan lebih menekankan ke makna khusus.
Contoh Penafsiran
Salah satu contoh penafsiran asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Mar’ah fi Al-Qur’an mengenai kesaksian dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 282:
… وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ
“Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya”.
Al-Sya’rawi mengomentari ayat 282 dari surah al-Baqarah bahwa ayat tersebut memang memunculkan perdebatan yang besar. Perdebatan itu memunculkan sebuah pertanyaan bahwa apakah tetap dikatakan sama wanita yang telah berpendidikan setingkat magister atau doktor, dengan satpam penjaga pintu, dan bahkan dia buta huruf serta tak dapat menulis. Menurut asy-Sya’rawi, logika tersebut merupakan logika yang salah tersebar di masyarakat.
Asy-Sya’rawi melanjutkan bahwa seharusnya kembali kepada dasar dari persaksian tersebut dengan memahami makna kata shadah dahulu. Kata tersebut diambil dari kata mashhad yaitu sesuatu yang dilihat dengan mata seseorang dan seseorang itu melihat kejadian tepat di depannya. Hal ini tidak membutuhkan tingginya tingkat keilmuan dan tidak penting bahkan yang bergelar doktor, melainkan membutuhkan mata yang menyaksikan dan perkataan yang jujur.
Jadi, dari sini antara orang yang berpendidikan tinggi dan orang yang bahkan tidak dapat membaca adalah setara. Namun, permasalahan berikutnya bukanlah tentang unggulnya suatu ilmu, tetapi jujur dan amanah dalam menjelaskan. Asy-Sya’rawi melanjutkan pembahasannya bahwa semua orang sama mengetahui bahwa perempuan adalah makhluk yang tertutup. Kebanyakan dari mereka dilarang bercampur dengan pergaulan laki-laki.
Kesimpulan
Tafsir Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an karya Mutawalli asy-Sya’rawi memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran perempuan dalam Islam. Tafsir ini menekankan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan dalam Al-Qur’an.
Mutawalli asy-Sya’rawi mengajak umat Islam untuk membangun masyarakat inklusif, di mana perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Sehingga dengan memahami dan menerapkan ajaran-ajaran ini, dapat menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan menghormati hak dan martabat setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Editor: Soleh