Malaysia ikut andil dalam perkembangan Khazanah keilmuan tafsir. Hal ini dibuktikan dengan ditulisnya tafsir kontemporer asal Malaysia yang ditulis oleh Haji Hadi Awang. Tafsir ini ditulis untuk menjadi jawaban bagi umat muslim terhadap permasalahan-permasalahan masa kini.
Sekilas tentang Haji Hadi Awang
Nama lengkapnya adalah Datuk Seri Tuan Guru Haji Abdul Hadi bin Haji Awang. Beliau lahir pada 5 Zulhijah 1366 H atau 20 Oktober 1947 M dan meninggal pada 10 Agustus 2024. Ia lahir di Kampung Rusila, pemukiman yang terletak di sepanjang pesisir pantai daerah Marang, Trengganu, Malaysia. Ia merupakan anak kelima dari kesembilan saudaranya.
Ayahnya bernama Haji Awang Mohammad bin Abd Rahman yang merupakan ulama dan sekaligus aktivis politik Trengganu, sedangkan Ibunya bernama Hajjah Aminah Yusuf. Pada saat dewasa tahun 1980, ia dinikahkan dengan Toh Puan Seri Hajjah Zainab binti Awang dan dikaruniai 11 anak. 14 tahun setelahnya pada 1991 ia menikah untuk kedua kalinya dengan Dr. Norzita binti Taat dan dikaruniai 3 anak.
Pendidikan pertamanya ia dapatkan langsung dari ayahnya pada tahun 1955. Kemudian pada 1961 ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Rendah Rusila. Setelahnya ia melanjutkan bersekolah di Sekolah Arab, Marang. Pendidikan menengahnya ia tempuh di Sekolah Menengah Agama Sultan Zainal Abidin (KUSZA), Kuala Trengganu.
Karena kepandaiaannya sejak di bangku sekolah, ia mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab Saudi untuk melanjutkan studi S1 di Universitas Madinah. Kemudian pada 1974 ia menempuh pendidikan S2-nya di Universitar Al-Azhar, Mesir pada bidang Siasah Syariah, dan lulus pada 1976. Haji Hadi Awang terkenal dengan budaya membacanya dan kecintaannya pada ilmu.
Selama hidupnya ia banyak menghasilkan karya sampai lebih dari 65 buah, diantaranya memberikan pengaruh besari di negara Arab. Berikut beberapa karyanya
- Fiqih al-Shalah: Bagi Memahami Ibadah Sembahyang, 2014
- Islam Satu-satunya, 2014
- Aqidah dan Perjuangan, 2012
- Islam dan Nasionalisme, 2012
- Dan masih banyak lagi
Karakteristik Tafsir Al-Tibyan
Al-Tibyan bermakna menjelas, menerang, dan menyatakan. Nama Sl-Tibyan dipilihkan oleh Ustadz Harun bin Taib yang merupakan sahabat baik Haji Hadi Awang. Makna Al-Tibyan juga sesuai dengan semangat penulisan tafsir ini. Latar belakang penulisan tafsir ini karena Haji Hadi Awang ingin menyadarkan umat islam masa kini melalui petunjuk al-Qur’an supaya tidak menyimpang dari ajaran agama Islam.
Tujuan penulisannya adalah untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan isu-isu masa kini. Karena al-Qur’an merupakan kitab petunjuk untuk sepanjang masa, bukan hanya pada masa Nabi Muhammad, melainkan petunjuk hingga hari kiamat.
Haji Hadi Awang sebenarnya telah menustakan Tafsir Al-Tibyan sebanyak tiga kali di Masjid Rusilan, sayangnya naskah tafsir ini berserakan, sehingga tidak ditemukan keseluruhan 30 juz al-Qur’an. Naskah yang sudah diterbitkan berjumlah 14 jilid, yang dikategorikan tiap surat, sehingga tafsir ini bermodelkan maudhu’i.
Tafsir Al-Tibyan dominan menggunakan pendekatan Tahlili dalam penafsirannya. Haji Hadi Awang menjelaskan bahwa ia lebih memilih pendekatan ini karena ia mengkaji ayat al-Qur’an dari segala aspek dan maknanya, selain mengaitkannya dengan isu-isu terkini. Tujuannya untuk menunjukkan kepada umat muslim bahwa kebenaran datangnya hanya dari Allah.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Haji Hadi Awang menggabungkan metode bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi dengan seimbang. Karena selain mengutip periwayatan, beliau juga mengaitkan makna ayat dengan kondisi dan permasalahan masa kini.
Meskipun demikian Tafsir Al-Tibyan lebih condong menggunakan metode bi al-ma’tsur. Sesuai dengan pernyataan Haji Hadi Awang sendiri. Ia mengungkapkan bahwa ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an, ia berpatokan pada ayat al-Qur’an, hadis Rasulullah, tafsir ulama salaf dan khalaf.
Haji Hadi Awang menjelaskan lebih memilih metode bi al-ma’tsur karena al-Qur’an adalah petunjuk umat yang dijaga oleh Allah SWT. hingga hari kiamat. Sehingga jika umat muslim mendapatkan masalah apapun hendaknya dikembalikan ke al-Qur’an dan hadis.
Corak yang digunakan lebih condong pada corak adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang cenderung pada masalah sosial kemasyarakatan. Karena memang tujuan tafsir ini adalah memaparkan petunjuk al-Qur’an yang berkaitan dengan kejadian masyarakat dan isu terkini. Corak ini juga dipengaruhi oleh kitab lain, contohnya Kitab Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha.
Hal ini diakui oleh Haji Hadi Awang sendiri, “dalam menafsirkan al-Qur’an, saya berpegang kepada ayat-ayat al-Qur’an yang menafsirkannya, hadis Rasul Saw, tafsir para ulama salaf dan khalaf disamping mengaitkannya dengan beberapa isu semasa dihadapi oleh umat islam zaman kini, supaya mereka peka dengan keadaan mereka dan peranan mereka sebagai umat yang mendapat petunjuk.
Kesimpulan dari tulisan ini bahwa tafsir kontemporer Al-Tibyan adalah karya Haji Hadi Awang asal Rusila, Trengganu, Malaysia. Tafsir Al-Tibyan bersumber pada bi al-ma’tsur dan menggunakan metode tahlili dan mengaitkannya dengan kondisi umat masa kini. Tafsir Al-Tibyan bercorak adab al-ijtima’i yang berfokus pada sosial masyarakat. Karena memang tujuan penulisannya untuk memberikan solusi terhadap permasalahan umat muslim masa kini.
Editor: Soleh