Arti Kata Takwa
Bersamaan dengan datangnya perintah puasa, maka ada tujuan dari puasa itu sendiri “la’allakum tattaqun“.
At-taqwa berasal dari kata al–wiqayah, yakni isim masdar dari waqa– yaqi –wiqayatan, yang dapat diartikan sebagai al-himaayah (penjagaan).
Asal at-taqwa secara lughat adalah qillatul kalam (sedikit berbicara) menurut Ibnu Faris dalam Tafsir Al-Qurthubi.
Abdullah Yusuf Ali dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, bertakwa maknanya adalah “taat kepada Allah”. Kata itu juga memiliki pengertian sama dengan mencintai dan takut melanggar perintah dan larangan-Nya yang dapat menyebabkan kehilangan rida-Nya. Lalu bagaimanakah cara kita bertakwa?
Bertakwa dengan Sebenar-Benarnya
Perintah dalam bertakwa ini setidaknya terdapat dalam Ali Imran: 102. Sebagaimana yang sering disampaikan khatib dalam pembuka khutbah Jumatnya. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya…” (QS. Ali Imran: 102).
Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menjelaskan bahwasanya bertakwa di sini artinya seorang hamba mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang-Nya.
Maka, sanggupkah kita untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya? Karena hakikat takwa adalah selalu ingat tidak pernah lupa, selalu taat tidak pernah maksiat, dan selalu syukur tidak pernah kufur.
Imam Al-Qurthubi meriwayatkan bahwasanya ketika turun ayat ini, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Siapakah yang kuat dalam hal ini?”.
Mereka pun merasa hal itu terlalu berat untuk dapat dilakukan. Tentu hanya Nabi saja yang mampu melakukannya, karena beliau selalu dibimbing oleh Allah SWT.
Maka, turunlah ayat yang bertujuan untuk menjawab permasalahan ini:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..”(QS. At-Taghabun: 16).
Imam Ibnu Abi Hatim meriwayatkan sebuah hadis dari Sa’id Ibnu Jubair yang telah menceritakan bahwa setelah ayat 102 dari QS. Ali Imran diturunkan, hal ini dirasa sangat berat untuk dijalankan oleh para sahabat.
Sampai-sampai mereka tiada henti-hentinya shalat sehingga kaki mereka bengkak-bengkak dan dahi mereka luka karena banyaknya shalat yang mereka kerjakan.
Lalu, turunlah QS. At-Taghabun:16 di atas. Jika para sahabat saja merasa itu berat, lalu bagaimana dengan kita?
Karena dapat diketahui periode turunnya ayat melalui riwayat di atas, maka dapat disimpulkan telah terjadi nasakh dalam hal ini.
Nasakh adalah penghapusan atau pembatalan pelaksanaan dari suatu hukum. Beberapa ahli tafsir menjelaskan bahwa dengan turunnya QS. At-Taghabun: 6, telah menjadi nasikh (penghapus),dan QS. Ali Imran: 102 merupakan mansukh (dihapus).
Hal ini menunjukkan betapa besarnya ampunan dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
Bertakwa dengan Sesuai Kesanggupan
Maka, apakah yang dimaksud dengan bertakwa sesuai dengan kesanggupan? Apakah ini berarti kita dapat dengan bebasnya meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan?
Bertakwa sesuai kesanggupan kita artinya sesuai dengan kemampuan dan potensi kita dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Kita tetap mesti melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan dan mengerahkan potensi maksimal dari kemampuan yang kita miliki. Perlu untuk diingat bahwa Allah tidak membebani hambanya melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Batas kesanggupan tiap orang dalam menjalankan ibadah tentu berbeda-beda. Namun bukan berarti kita bisa sesukanya dalam bertakwa.
Kisah tentang Takwa
Ada sebuah kisah yang menarik dalam menggambarkan apa itu mastatho’tum (semampunya).
Suatu ketika, Syekh Abdullah Yusuf ‘Azzam yang dikenal dengan Syekh Azzam, seorang figur pergerakan dunia Islam di Afganistan, pernah ditanya oleh muridnya dalam hal ini.
“Hai Syekh, apa itu mastatho’tum (semampunya)?” lantas Syekh Azzam mengajak muridnya ke lapangan dan menyuruh mereka untuk lari mengelilingi lapangan dengan semampu mereka.
Lalu, semua murid itu berlari mengelilingi lapangan hingga letih dan pergi menepi ke pinggir lapangan.
Melihat muridnya telah letih dan beristirahat di pinggir lapangan, kemudian Syeikh Azzam berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan hingga beliau pingsan. Ketika melihat gurunya pingsan, para murid pun berlari untuk menandu dan menunggu sampai syeikh sadar.
Setelah itu, Syeikh Azzam akhirnya bangun dan berkata, “Inilah yang di maksud dengan mastatho’tum (semampunya atau sesuai dengan kesanggupan). Kita berusaha atau ber-iktihar semaksimal mungkin sampai Allah yang mengakhiri usaha kita”.
Hakikatnya mastatho’tum ialah memotivasi diri seseorang untuk berusaha atau berikhtiar dengan segala kesanggupannya sampai Allah mengakhiri usaha mereka sesuai dengan kesanggupan yang seseorang miliki.
Dengan tujuan agar seseorang tidak menyerah di tengah jalan atau malas dalam berusaha apalagi sampai berputus asa dari kasih sayang Allah.
Oleh karena itu, makna mastatho’tum harus diterapkan dalam ketakwaan secara menyeluruh dalam aspek ibadah, dakwah, jihad, maupun segala yang berkaitan dengan urusan mencari nafkah dan lain-lain.
Wallahu’alam bis shawab.
Editor: Yahya FR