Perspektif

Tambang Bukan Sekedar Soal Uang, Tapi Kemaslahatan

4 Mins read

Tawaran pengelolaan tambang menjadi polemik yang cukup panas. Pemicunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara pemerintah, tepatnya pada pasal 8A yang memberi hak ormas untuk mengelola tambang, meskipun sifatnya sekedar tawaran.

Panasnya tensi polemik ormas pasca pengesahan nyatanya lebih banyak dilakukan oleh mereka yang bukan aktivis ormas. Sementara para aktivis ormas lebih memilih berhati-hati dalam bersikap dan menyampaikan pendapat, kritik, dan masukan ke jajaran pengurus ormas sendiri. Sayangnya, polemik khususnya di media sosial, secara umum kelihatan kurang didasarkan pada kajian ilmiah mendalam.

Kelompok ormas penerima konsesi tambang menganggap itu sebagai kemurahan pemerintah yang seharusnya dilakukan sejak lama. Ibarat mendapat janji durian runtuh. Sementara yang menolak secara ekstrim, kelihatan lebih banyak prejudice/suudzon, jebakan, pelemahan ormas dan alasan lainnya. Namun sikap traumatik ini bisa dipahami, mengingat rekam jejak dunia pertambangan selama ini.

***

Muhammadiyah merupakan salah satu ormas yang memilih tidak gegabah; menerima atau menolak, namun mengkaji secara seksama agar tidak menambah masalah bangsa dan umat. Mungkin juga mengukur diri akan kemampuannya, meneliti aspek-aspek hukum, dan kajian komprehensif terhadap pertambangan, supaya keterlibatannya memberi solusi bagi problem pertambangan yang selama ini dikonotasi negatif.

Bahkan Prof Haedar Nashir pada Liputan6.com dan dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa: “Masyarakat tidak perlu memiliki persepsi negatif kepada yang menerima atau menolak konsesi tambang, tidak perlu “nyinyir” berlebihan, biarlah masing-masing mengambil sikap dan kebijakan secara otonom masing-masing ormas, harus saling menghargai”. Dunia digital memang dipenuhi oleh komunitas “asbun” (asal bunyi), “waton suloyo” (yang penting menyerang, meghantam), bicara dulu baru mikir, bahkan tanpa berpikir.

Ulil Abshar-Abdalla, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama misalnya, pada harian kompas 20 Juni 2024 menulis dengan cantik, “Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih”. Soal lingkungan, bagi para kiai, bukan soal ideologi, melainkan soal kalkulasi maslahat yang terbuka pandangan berbeda. Diakui atau tidak, kelompok ideologis politis dan fikih normatif tampaknya tetap bergelut secara sosiologis.

Baca Juga  Beragama di Era Digital dan Covid-19

Kelihatannya para penentang konsesi tambang dari kelompok ideologis adalah orang-orang yang secara politik berseberangan dengan pemerintah imbas kontestasi pemilu, maka semua kebijakan yang muncul langsung dihantam tanpa meneliti lebih dahulu. NU tampaknya menilai tambang bukan soal ideologis, tetapi persoalan fikih semata yang sangat bisa dilaksanakan.

Tampaknya umat Islam belum beranjak dari kenikmatan perdebatan paradigmatik; menyoal epistemologi, pendekatan normatif historis, kajian fikih dengan berbagai variannya. Padahal yang sedang dihadapi adalah dunia pertambangan yang penuh mafia, penguasa-penguasa sesungguhnya yang mengendalikan kuasa kebijakan politik. Jangan-jangan memang pension ormas pada wilayah akademik semata, bahkan juga tulisan ini.

***

Ormas Islam yang sejak kerlahirannya memang lebih banyak menjaga nilai, maka wajar jika kelihatan gagap ketika berhadapan dengan dunia baru. Apalagi pertambangan yang selama ini menjadi obyek kritik, bahkan fatwa hukum karena kecenderungan destruktifnya. Naluri alamiahnya memang menjadi penjaga gawang nilai, menjadi polisi moral yang menilang segala bentuk pelanggaran, menjadi begawan yang disegani.

Sesungguhnya pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan ini adalah tantangan sekaligus pembuktian apakah teori-teori canggih fikih ekologis yang manis bisa diterapkan, apakah maqoshid al shariah yang selama ini digembar-gemborkan sebagai tawaran peradaban dunia yang rahmatan lil alamin dapat diwujudkan, apakah nilai-nilai dan prinsip-prinsip fikih muamalah yang sudah dikaji berabad-abad lamanya bisa dimplementasikan.

Sebagaimana tambang-tambang lainnya, pemerintah sebagai pemilik tentu menginginkan profit dari usaha pertambangan. Target tentu ditetapkan agar kinerja perusahaan berjalan lebih optimal. Di sinilah sering kali nilai-nilai dilanggar dalam rangka memenuhi target laba yang ditetapkan.

***

Pengelolaan tambang tentu membutuhkan sumber daya manusia yang handal, menguasai manajemen, teknik, dan seluk beluk pertambangan. Modal fikih ekologis hanya sebagian kecil dari dunia pertambangan. Semua SDM harus memahami lahan perjuangan baru ini, supaya tidak hanya menjadi kelompok justifikasi kebobrokan sistem. Mulai direktur, komisaris, manager, tenaga ahli, tenaga teknis, pengawas, bahkan clining service dan security, idealnya dipegang para kader sendiri yang memiliki komitmen keislaman yang kuat.

Baca Juga  Berbeda Dengan yang Lain, Ini Model Aswaja ala NU

Modal finansial, intelektual, dan sosial sangat dibutuhkan agar memiliki networking yang kuat dan luas, memahami setiap fase proses bussines, dan kepemilikan saham mayoritas supaya bisa mengendalikan management. Mengelola tambang tidaklah semudah membuka kitab kuning. Selain menguasai bussines, proses dari hulu ke hilir juga harus menguasai pasar global. Apalagi sebagai pendatang baru atau sekedar melanjutkan yang sudah ada.

Persaingan usaha pertambangan membutuhkan keteguhan dalam menjaga nilai; memilih kompromi dalam persaingan dengan mengorbankan nilai atau bersaing secara jantan dengan berhadapan dengan para mafia dengan konsekwensi binasa. Rumor penenggelaman kapal-kapal tanker pengekspor minyak yang tidak mau tunduk pada penguasa lama memang belum terbukti secara empiris akademis, namun dibicarakan banyak orang sebagai bukti kerasnya persaingan dalam pertambangan.

Selain SDM yang handal, juga penting memahami teknologi yang digunakan dalam tambang. Pengelola yang tidak memahami teknologi rawan dibohongi oleh operator lapangan terkait kualitas dan kuantitas kerja. Mungkin masih bisa meminjam teknologi dari luar dengan memanfaatkan outsourcing, namun sekali lagi ketidaktahuan akan teknologi hanya membuka pintu kecurangan, kecuali seluruh SDM kunci  adalah orang sendiri.

Lebih penting lagi yang ditunggu banyak kalangan, apakah problem kerusakan ekologis yang menjadi isu permanen dunia pertambangan akan selesai ketika dikelola oleh ormas keagamaan. Isu kerusakan ekologis bukan saja menjadi keresahan dunia, namun juga secara eksplisit dibahas dalam landasan normatif yang tersebar dalam tafsir, fikih, dan kitab para ulama.

***

Tantangan dan tanggungjawab ormas keagamaan akan lebih berat, selain memenuhi target laba juga harus memberi contoh bagaimana pengelolaan tambang yang ramah lingkungan. Isu penggusuran, nir kompensasi, kerusakan ekologis yang merugikan rakyat sekitar tambang bahkan sering memicu demonstrasi penolakan eksplorasi tambang di banyak wilayah. Akankah ormas keagamaan akan berhadapan dengan umatnya demi memperoleh cuan?

Baca Juga  "Quo Vadis Ulil?" (1): Kritik Pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang Lingkungan

Semua pilihan memang ada konsekwensinya. Menolak konsesi tambang memang lebih ringan hisabnya di dunia, namun berat di akhirat. Bagaimana mungkin pemahaman keagamaan yang tinggi hanya diam melihat kerusakan alam akibat pertambangan. Bagaimana mungkin membiarkan dhoharol fasadu fil barri wal bahri, padahal ada tawaran untuk mengelolanya. Jangan-jangan masuk pada kategori kaburo maktan inndallohi an takulu mala tafalun, dosa itu ketika hanya menguasai teori yang indah, namun mengelak ketika kesempatan implementasi terbuka lebar. Langsung menolak memang minim resiko, namun kurang bertanggungjawab secara akademis.

Kelompok penerima konsesi belum tentu lepas dari tuntutan moral ketika hanya bonex semata (bondo nekat), yang penting menerima dulu urusan lain belakangan adalah sikap nekat yang berpotensi terjerumus dan menjerumuskan banyak orang. Mengelola tambang bukan hanya dengan niat ikhlas beribadah, mensejahterakan umat, mendapatkan sumber pendanaan perjuangan yang luas namun juga kompetensi yang memadahi.

Menerima namun menpelajari dulu dengan cermat agar bisa bermanfaat menjadi pilihan paling rasional, namun juga harus jelas durasinya. Mengkaji dan mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan, modal finansial, intelektual, dan sosial akan menempatkan kita menjadi pemain. Karena jika semua diserahkan pada outsourcing, bermitra lagi dengan yang lain, meminta bantuan pada yang lain, lalu dimana bedanya dengan yang sudah ada. Daripada mengelola tambang kan lebih baik membeli secara berkala sahamnya, sehingga menjadi pemilik yang berdaya. Tambang, bagi ormas bukan sekedar uang, tapi kemaslahatan.

Editor: Soleh

Avatar
13 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds